Divorce

352 57 4
                                    







Sudah sekitar satu jam Wendy dan Jevan saling menatap datar satu sama lain dan sudah dua hari Jevan pulang dari rumah sakit dan tinggal di sebuah flat miliknya yang masih berada di kawasan ibu kota. Tentu saja Jevan tengah merebahkan diri di kamarnya.

"Sampe kapan kita diem-dieman kaya anak kecil gini?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Wendy, pasalnya lelaki dewasa di hadapannya masih terdiam pasca perdebatan tentang Jevan yang meminta, ah bukan meminta lebih tepatnya memaksa Wendy membawa J ke flat miliknya, ya, Jevan ingin bertemu dengan putranya. Ia tengah di landa rindu berat, "Gue ga bisa, di luar lagi banyak virus, lo masih ga bisa ngerti juga?" Lanjut Wendy, namun Jevan masih terdiam tidak mau bicara, tidak mau makan, tidak mau minum obat, persis seperti bocah yang tengah merajuk meminta mainan.

"Tapi kan gue udah setuju, gue udah setuju buat relain lo sama Rayen seandainya Rayen ga mengajukan gugatan cerai dan lo juga setuju buat ijinin gue ketemu sama J kapanpun gue mau!" Kali itu Jevan yang bertingkah kekanak-kanakan sangat amat menyebalkan.

Memang sejak semalam keduanya bicara serius prihal hak asuh anak dan nasib rumah tangga Wendy dan Rayen. Jevan yang telah memikirkan dengan proses yang cukup menyakitkan akhirnya memutuskan untuk membiarkan Wendy bersama Rayen karna ia rasa Rayen telah menjaga putranya dan Wendy dengan baik. Tapi ia hanya bisa merelakan seandainya Rayen memang tidak menceraikan Wendy akan beda cerita jika Rayen menggugat wanita itu. Dan satu lagi, Jevan meminta untuk Wendy tidak melarangnya bertemu dengan J tidak ada batasan waktu ataupun syarat tertentu dan wanita itu menyetujuinya.

Lalu kenapa mereka berpelukan seolah akan kembali bersama ketika di rumah sakit tempo hari? Jawabannya karna terbawa suasana. Tentu saja Wendy belum segila itu, perceraiannya dan Rayenpun belum tentu terjadi karna hingga kini baik dirinya dan Rayen belum melakukan komunikasi. Alasannya karna Rayen yang ingin menenangkan diri sejenak dan Wendy yang ingin bertanggung jawab merawat Jevan. Apakah itu suatu kewajiban? Tentu saja bukan. Entah kenapa juga ia merasa harus melakukannya.

Jadi tidak mungkin keduanya terburu-buru memutuskan untuk kembali. Mereka bukanlah abg labil yang akan menyatakan perasaan satu sama lain lalu berselingkuh sebelum proses resmi berlangsung.

"Lo pelit!" Protes Jevan.

"Terserah," jawab Wendy tak kalah keras kepala.

"Gue ga bakal makan, ga bakal minum obat, ga bakal-"

"Jevan Ardianto, lo tuh bener-bener yah!" Wendy berdecak lalu mengambil ponselnya dari atas nakas ia memutuskan untuk menelpon Olivia dan meminta wanita itu membawa putranya ke lokasi Flat yang telah ia kirimkan, "puas, lo?" Ujar Wendy sementara Jevan hanya tersenyum penuh kemenangan.

"Thankyou," Jevan mengulas senyum menyebalkan dari bibirnya. Lalu kembali menatap layar ponselnya. Tidak lupa membuka mulut karna Wendy yang tengah menyuapi bubur dengan berbagai toping.






****




Makan telah selesai begitu pula dengan minum obat, di iming-imingi kedatangan putranya lelaki itu seperti menemukan semangat untuk melakukan kegiatannya.

Namun itu terjadi beberapa saat yang lalu, sekarang tebak apa yang tengah Jevan lakukan? Dia tengah mengganggu Wendy yang sedang fokus mengecek jadwal pekerjaan yang ia lewatkan sejak mengambil cuti.

"Lo bohong yah? Tadi lo nelpon siapa? Lo ga nelpon Tante Olivia kan? Ngaku lo, dasar cewe licik, harusnya gue ga usah makan sama minum obat dulu sebelum J dateng. Tega lo bohongin gue."

Ya, Jevan terus bicara, menggerutu, membawelinya, bahkan hingga memakinya. Hal itu sangat mengganggu ketentraman Wendy.

"Bisa sabar ga?"

"Ngga."

Ingin rasanya Wendy melempar Ipadnya ke arah kepala Jevan andai saja ia tega. Namun Wendy terlalu trauma jika harus melihat ayah dari putranya itu terbaring tidak berdaya di rumah sakit lagi.

Ketika tengah berdebat suara bel dari arah pintu membuat mereka menghentikan hal kekanak-kenakan itu.

"Tuh, pasti J yang dateng. Buka sana," titah Jevan yang sukses mendapat delikan horror dari Wendy. Namun wanita itu tetap melakukannya.

Ia berjalan ke arah pintu sambil bersiap membuka pintu dengan senyum yang ia pasang semanis-manisnya untuk menyambut putra yang sangat ia rindukan.

Ctakk ..

Wendy sukses membuka pintu, namun senyumannya sama sekali tidak dapat ia kembangkan, Wendy terlalu tertegun melihat siapa yang berada di depan pintu. Lelaki yang sama sekali tidak asing tengah berdiri di sana sembari memasang ekspresi datarnya. Jauh dari perkiraannya.

"Mas ... " Gumam Wendy namun Rayen tidak dapat mendengarnya.

"Bisa aku masuk?" Tanyanya dengan nada suara yang dingin membuat Wendy merasakan aura kecanggungan kepada lelaki yang masih berstatus suami sahnya itu.

"I-iya, silahkan," oh sial Wendy merasa seperti seorang wanita yang tengah kepergok selingkuh.

Rayenpun segera masuk ke dalam ruangan, lelaki itu bahkan masih menggunakan pakaian formal yang Wendy tau itu pakaian biasanya untuk pergi bekerja.

"Dimana Jevan?" Tanyanya lagi.

"Di kamar, Mas."

Tanpa ragu Rayen segera melangkah ke dalam kamar dimana Jevan berada. Tingkah dan sikapnya sama sekali berbeda, Rayen yang hangat dan manis, kemana sosok itu pergi, pikir Wendy.

Jevan yang tengah asik memainkan ponselnya sontak menoleh, melihat siapa yang datang membuatnya memasang ekspresi datar, padahal ia merasa sangat excited beberapa detik yang lalu, "gue kira J," ujar Jevan.

"Whats up," sapa Rayen kepada Jevan yang masih setia dengan tampang datarnya.

"Lo beneran datang juga," Jevan berucap sembari menegakkan tubuhnya, "duduk situ," pinta Jevan yang langsung di turuti.

Beneran datang? Apa Jevan sengaja menyuruhnya kesini? Pikir Wendy yang sekarang tengah berdiri di ambang pintu.

"Sweetheart, come in," Pinta Rayen yang membuat Wendy masuk dengan canggung ke dalam kamar berisi dua pria yang sama-sama mencintainya itu, walaupun dengan cara yang jauh berbeda.


Wendy segera duduk di tepi ranjang karna kursi yang ia biasa gunakan telah di huni oleh suaminya, "let's make it easy for us," ujar Rayen membuat Wendy mengernyitkan dahinya.

"Ada apa, Mas?" Tanya Wendy gusar.

Tidak menjawab, Rayen malah mengeluarkan sesuatu dari dalam tas jinjing yang ia bawa, mengeluarkan sebuah map coklat dan kertas putih berada di dalamnya.

Jevan yang menyimak berhasil menerka apa yang akan terjadi selanjutnya, tanpa sadar ia mengulaskan senyuman di bibirnya.

"Ini, surat perceraian, Sweetheart, tolong tanda tangani."


"Mas ... "









Bersambung ...


Vote dan komentari!!








Lemonade (Jae x Wendy) CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang