Tangis

377 78 4
                                    

Cermin di hadapannya terlihat suram, tidak ada aura positif di sana tentu saja cermin tidak dapat mengendalikan apa yang ia pantulkan kecuali sosok yang tengah duduk di sana, tidak berniat bercermin hanya saja seperti seharusnya jika ada sosok tengah berdiam di depannya sang cermin akan menggambarkannya.

Lesu, begitulah gambaran Wendy di dalam cermin itu. Tidak ada sedikitpun gairah untuk melakukan kegiatan seperti biasanya, gadis itu terus teringat akan apa yang ia lihat pagi itu, hatinya tidak tenang pikirannya tidak fokus padahal ia masih harus bekerja hingga sore nanti.

Sedang asik termangu sebuah tangan menyentuh pundaknya membuat si empunya menoleh, "makan siang ga?" Tanya si gadis sipit sambil tersenyum.

Karna berlarutpun tidak ada gunanya Wendy mengiyakan ajakan sahabat sepekerjaan dan serumahnya itu dengan menganggukkan kepala. Lagipula sedari pagi perutnya belum terisi, terlalu sibuk memikirkan lelaki yang entah sejak kapan mengisi setiap bagian kepalanya itu.



Sepiring nasi dan sup iga sapi telah tersaji di atas meja, ya menu makan siang kali ini adalah menu yang akan mengisi tenaga, begitu kata Elgi, dia khawatir sahabatnya akan pingsan karna kekurangan tenaga melihat raut wajahnya seperti kekurangan darah.

Tapi gadis itu malah melamun lagi, makanan dengan aroma yang menggoda di hidung itupun dia abaykan.

"Mikirin apa si lo, tuh sup iganya keburu dingin," ucap Elgi yang sudah memulai acara makan siangnya.

"Eh sorry," ucap Wendy yang sekarang tengah mengambil sendoknya bersiap menyendok kuah sup yang sedari tadi memperhatikannya.

Rasanya memang enak, lagipula rumah makan itu termasuk yang teramai di kawasan perusahaannya. Tapi kenapa berbeda, rasanya jadi sedikit hambar dan entah bagaimana menyebutnya yang jelas Wendy kehilangan nafsu makan.

"Makan yang banyak, lo ada kerjaan sampe sore kan?" Elgi bersuara. Jelas gadis sipit itu menyadari ada yang berbeda dengan sikap sahabatnya itu.

"Kenapa? Ada yang lagi lo pikirin?" Tanya Elgi dengan hati-hati.

Tapi sahabatnya itu hanya diam sambil menyesap kuah sup yang ada di sendoknya. Kepalanya tertunduk membuat Elgi mengernyitkan dahi. Tidak pernah sekalipun selama hampir sepuluh tahun mengenalnya Elgi melihat Wendy bertingkah aneh begitu.

"Wen, lo bisa cerita ke gue ada apa?" Tanya Elgi lagi, namun yang terdengar hanyalah isakan dan bahu gadis itu yang naik turun, Wendy menangis tersedu tanpa melihat ke arahnya membuat Elgi kebingungan.

Elgi yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa mengelus bahu sahabatnya tanpa bertanya lagi. Ia takut jika terus bertanya akan membuat gadis blasteran itu merasa tidak nyaman.

"Gue bilang ke Kakang aja yah, bilang kalo lo lagi ga enak badan, terus lo pulang, okay?"

"Gue ga apa-apa kok, gue cuma tiba-tiba keinget Papa, gue kangen ...." Ucap Wendy mencoba berbohong. Gadis itu tidak ingin di cap berlebihan tentang alasan ia menangis dan ia tidak ingin masalah pribadinya mengganggu pekerjaannya. Jadi lebih baik ia segera menyadarkan diri tanggung jawab terhadap pekerjaan agaknya lebih penting daripada terus menerus memikirkan Jevan. Lagipula ia juga sudah tahu dimana keberadaan lelaki jangkungnya itu tetapi tetap saja perasaan Wendy tidak enak.




*****


Waktu telah berjalan tanpa menunggu, sore akhirnya tiba Wendy telah merampungkan segala kegiatannya dan sekarang ia tengah berjalan ke area luar perusahaan.

Ia menghembuskan napas berkali-kali, memainkan kuku di jarinya sesekali, melihat ke kanan dan kekiri entah mencari apa, rasa mengganjal di hatinya karna seharian ini tidak bisa melihat Jevan di perusahaan seperti ada yang hilang, apakah dia sudah tidak waras?

Lemonade (Jae x Wendy) CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang