Fact

328 57 6
                                    

Satu hari sebelumnya ...

Di sore hari yang mendung, langit berwarna abu dan awan hitam bergumul, menggelayut seakan satu sentuhan dapat segera menumpahkan air membasahi nusantara. Tapi tidak peduli seburuk apa cuaca di luar jendela, keramaian di dalam sebuah Cafe menjadi suatu pemandangan yang tak pernah surut, ramai, gaduh, oleh berbagai percakapan serta tawa dari segelintir di antaranya.

Berbeda dengan di sudut ruangnya, kedua lelaki nyari seusia tengah duduk berhadapan dengan secangkir teh hijau di masing-masing sisi.

"Maaf banget udah ganggu waktu lo, pasti di kantor lagi sibuk banget yah, Ray?" Tanya sesosok lelaki bongsor di hadapannya.

"Ini udah jam pulang dan ga ada meeting penting, so, its okay," ucap Rayen dengan senyum yang hangat seperti biasa, "oh iyah, gimana band lo? Kalian kayanya makin ngehits aja."

"Yaa, gitulah, ada regenerasi dan banyak bamd yang lebih muda jadi gue sama Enam Hari bersyukur aja kalo masih ada job manggung," Bijar tertawa setelahnya. Memang keadaan Enam Hari dan jadwal manggung tidak sepadat dulu akan tetapi ia masih aktif merilis lagu demi memanjakan telinga para Hariku yang masih setia mendengarkan lagu mereka, "masing-masing dari kita juga udah punya kerjaan lain di luar band," lanjut Bijar yang mendapat anggukan mantap dari Rayen.

"Tapi kenapa lo ngajak gue ketemu, tumben," jelas saja Rayen heran, Bijar dan Rayen hanya pernah bertemu beberapa kali karna Wendy. Misal saat Rayen menjemput Wendy, mengantarnya atau hal lainnya. Di luar itu bisa di bilang tidak pernah ada interaksi secara personal.

Bijar menatap segelas cangkir teh hijau miliknya yang masih utuh, sebenarnya ada setitik keraguan dalam hatinya, apakah ia harus ikut campur lagi atau tidak, atau ia sudahi saja aksi yang lebih seperti merusak rumah tangga orang ini.

"Kenapa? Lo liatin tehnya ga akan abis sendiri," celetuk Rayen yang mendapati Bijar seperti tengah melakukan lomba adu tatap dengan secangkir teh hijau, benar-benar konyol.

Entah kenapa Bijar jadi ingin tertawa dengan apa yang ia lakukan, "Man, saat gue bilang apapun itu, lo harus percaya kalo ini semua demi kebaikan lo dan masa depan lo, juga demi J," lagi, kata-kata membingungkan terucap begitu saja dari bibir Bijar.

"Lo bikin gue takut, lo bilang aja ada apa, c'mon," Rayen menyesap secangkir teh hijaunya sembari memasang telinga bersiap mendengarkan kata-kata Bijar.

"Lo pasti belom tau soal Jevan, yang sebenernya Ayah Biologis dari J."

"Uhukk ... Uhukkk ..." Sontak Rayen terbatuk karna Bijar bicara saat teh hijau baru saja masuk ke dalam kerongkongannya, "w-wait, what?"

"Jevan cowo yang ngehamilin Wendy dan ninggalin dia," ulang Bijar membuat Rayen semakin bingung, mencoba mencerna perkataan lelaki bongsor itu.

"Lo pasti salah, gue temennya Jevan gue tau dia orang kaya gimana," Rayen terkekeh lucu mendengar perkataan Bijar sambil mengelap sudut bibirnya menggunakan ibu jari.

"J Evanders Tan, kedengeran kaya apa di telinga lo?" Tanya Bijar lagi, "bahkan ga ada Darmawan di belakang nama anak lo. Pasti Wendy nolak, kan?"

Rayen terdiam beberapa saat memikirkan kata-Kata Bijar yang kelewat masuk akal itu, hingga tanpa sadar ia tersulut emosi oleh pikirannya sendiri, "lo jaga ucapan lo, ga baik ngomong ngelantur di tempat umum kaya gini," ucap Rayen datar dengan tatapan dingin ke arah Bijar.

"Gue gamau ikut campur awalnya, tapi gue rasa orang yang salah emang harus bertanggung jawab dan itu bukan lo," Bijar bicara tak kalah dingin.





Brakk ...






Rayen menggebrak meja di hadapannya hingga seluruh atensi terarah kepada keduanya, "JADI APA MAKSUD LO? LO MAU GUE PISAH DARI WENDY? LO UDAH GILA!" Bentakan Rayen dapat terdengar di seluruh cafe.

Lemonade (Jae x Wendy) CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang