Restart

312 58 4
                                    






Suasana di ruang rawat nomor 105 begitu hening, tidak ada seorangpun yang mengangkat suara di antara kedua orang yang salah satu dari mereka terbaring dengan selang medis yang menusuk hidungnya, sedangkan yang lain duduk termenung di samping ranjangnya.

Beberapa saat yang lalu, Olivia telah berpamitan untuk pulang karna khawatir kepada sang cucu yang di titipkan kepada oranglain, walaupun terburu-buru ia sempat bicara beberapa lama dengan Jevan yang telah siuman dari ketidak sadarannya. Sementara Wendy sedari Olivia pergi masih enggan menyapa duluan walaupun ia tidak dapat menyembunyikan mata bengkaknya.

"Lo sering nangis, yah, Dy," suara lemah Jevan membuat Wendy menoleh lalu mengedarkan pandangannya ke arah lain lagi, "maafin gue," lanjut Jevan.

"Buat apa lo minta maaf, toh semua udah terjadi," jawaban sinis dari Wendy bukan lagi hal yang mengejutkan. Ia tau wanita itu tidak akan dengan mudah memaafkannya, jadi ia harus bersabar.

"Gue tau, mungkin gue udah keterlaluan. Tapi-"

"Iyah, lo main-main sama nyawa lo, lo main-main sama hidup lo, lo pasti punya nyawa sembilan sampe bisa-bisanya ngebiarin oranglain mukulin lo sampe begini. Lo udah ga waras!" Omelan Wendy yang panjang lebar malah membuat senyum terlukis di bibir lelaki yang mendapatkan banyak balutan kain kasa di beberapa area wajahnya, "kenapa? Kenapa lo senyum, cari mati?"

"Kalo lo khawatir ... Ga usah sambil ngegas juga bisa kali Dy."

"Ngapain gue khawatir sama cowo bajingan kaya lo," tanpansadar Wendy berhasil memaki Jevan. Menurut Jevan ini jadi salah satu ciri khas wanita itu, memakinya. Tidak berubah ternyata.

"Hey, jangan kasar, lo sekarang adalah seorang ibu okay," Jevan bicara dengan lembut sembari menatap ke arah Wendy.

Tapi yang di tatap malah semakin sinis memandangnya, "seenggaknya, gue lebih baik dari seorang ayah yang bahkan ga tau anaknya terlahir ke dunia ini."

Skak mat, sungguh tepat sasaran perkataan ibu dari putranya itu. Itu adalah kesalahan terbesarnya, tidak mengetahui benih yang ia tanam tumbuh dan lahir ke dunia. Sialnya jika mengingat itu membuat Jevan merasa akan gila.

"Gue tau lo ga bakalan maafin gue secepat itu. Tapi lo harus tau ... kalo gue bakalan bertanggung jawab sama apa yang udah gue lakuin."

"Stop it, lo udah terlanjur bersalah di sini, jadi berhenti ucapin omong kosong kaya gitu atau gue yang cabut selang itu dari lo," tunjuk Wendy kepada selang yang menempel pada hidungnya.

Sungguh apa yang Wendy katakan sama sekali tidak membuatnya takut. Bagaimana tidak, gadis itu sekarang bahkan terlihat sangat khawatir dengan keadaannya. Bisa di pastikan Wendy hanya sedang merasa kesal, itu alasan mengapa kata-kata kasar selalu terlontar dari bibirnya.

"Berhenti senyum, lo beneran cari mati?"









****


"Kondisi Pasien sudah jauh membaik, sepertinya opname selama satu minggu sudah cukup. Kami akan menjadwalkan kepulangan Pasien dalam dua hari kedepan," ujar Dokter Renold setelah mengevaluasi keadaan Jevan. Sementara Wendy hanya menggangguk mengiyakan, syukurlah ia sudah sangat merindukan putranya. Selama beberapa hari di rumah sakit ia hanya dapat melihat wajah J lewat panggilan vidio yang selalu Olivia lakukan.

"Terimakasih, Dok," tutur Wendy sebelum Dokter itu pergi dari dalam ruangan.

"Pulang aja, lo pasti kangen J kan? Kasian juga dia pasti kangen sama lo," ucap Jevan. Ya dia telah lebih baik, suaranya telah normal dan tidak terdengar lemas, selang medis juga telah terlepas dari hidungnya.

Lemonade (Jae x Wendy) CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang