Regret(Satomi x Colon)(2)

189 30 8
                                    

Satomi PoV
.
.
.
Sejak Papa menikah dengan Ibu, keluarga kecil kami pun lengkap dengan kehadiran Ibu dan Colon sebagai adikku. Aku tidak lagi merasakan yang namanya kesepian.

Mama sudah meninggal dikarenakan kecelakaan pesawat saat aku menginjak usia lima tahun. Dan sejak saat itu, aku pun kehilangan sosok Ibu.

Papa juga sangat sibuk dengan pekerjaannya hingga meninggalkanku sendirian di rumah ini.

Hingga saat aku menginjak usia delapan tahun, ada seorang wanita yang melamar menjadi pembantu disini. Papa mengizinkan wanita itu dan aku pun kembali menemukan sosok Ibu walaupun saat itu Ibu masih menjadi pembantu di rumahku.

Aku pun sering bercerita tentang pembantu itu saat aku bertemu dengan Papa. Aku ingin Papa membuka hatinya lagi dan menjadikan wanita itu sebagai Ibuku.

Keinginanku terkabul. Dua tahun setelahnya, Papa mendatangi rumah wanita itu untuk melamarnya.

Dan disaat itulah aku bertemu dengannya. Anak laki-laki bersurai biru langit yang nampak beberapa tahun lebih muda dariku.

Aku masih ingat, saat awal-awal kami bertemu dia terlihat pendiam dan cukup pemalu. Aku pun berinisiatif untuk mendekatinya terlebih dahulu.

Tapi setelah kami sering bermain bersama, ternyata dia anak yang periang dan cukup berisik. Semangatnya juga selalu tinggi dan dia juga sedikit tidak sabaran.

Perkataannya memang terkadang tidak bisa dijaga, tapi dia selalu jujur dan terus terang. Dia juga ceroboh dan tidak suka belajar. Tapi jika aku memberinya pisang sebagai hadiah, maka dia akan lebih mudah untuk ku tangani.

Aku jadi heran, kenapa dia suka sekali dengan pisang seperti monyet walaupun suaranya seperti kambing? Sebenarnya dia monyet atau kambing sih?

Oke, lupakan. Aku salah fokus.

Tapi sayangnya, sifatnya yang terlalu terus terang justru mengundang masalah untuk dirinya sendiri. Kebenaran yang dikatakannya membuat sebagian orang tak menyukainya. Dan dia berurusan dengan pembully di sekolah karena mengungkapkan kebenaran yang tak seharusnya dia ungkapkan.

Dia juga sering terlibat masalah karena sok jagoan ingin membela orang yang dibully padahal dirinya sendiri tidak pandai bela diri.

Semakin aku mengenalnya, semakin aku ingin melindunginya.

Namun sayangnya kebahagiaan di keluarga kecil kami harus berakhir dengan meninggalnya Ibu.

Untuk yang kedua kalinya, Papa kehilangan orang yang sangat dicintainya. Sejak kepergian Ibu, Papa berubah menjadi sosok yang sama sekali tak ku kenal.

Papa jadi pemabuk, kasar, dan tak jarang juga Papa meluapkan emosinya padaku. Tapi anehnya Papa tetap bersikap lembut pada Colon.

Apa karena Colon anak Ibu? Tapi aku anak kandung Papa, tidak seharusnya Papa pilih kasih seperti ini.

Seiring berjalannya waktu aku pun mulai membenci Colon. Aku membencinya yang dengan mudahnya merebut seluruh kasih sayang dan perhatian Papa hanya karena dia anak dari wanita yang sangat dicintai Papa.

Saat di sekolah juga aku menjauhinya dan tidak lagi mempedulikannya. Aku sering melihatnya dipukuli oleh para pembully itu, tapi aku melewatinya begitu saja seolah aku tidak melihatnya. Sempat terbesit rasa bersalah dalam benakku karena membiarkannya dipukuli oleh mereka. Tapi aku juga sering dipukuli Ayah di rumah, jadi anggap saja dengan begini kita impas.

Tapi walaupun aku sudah bersikap dingin padanya, dia tetap tidak berubah. Dia tetap sama seperti biasanya dan merasa bersalah saat tidak bisa membelaku ketika Papa mulai meluapkan emosinya padaku.

Our Stories [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang