JW Marriot Hotel Seoul, jam menunjukkan pukul sepuluh malam lewat kini. Naru dan Hinata sudah tiba di salah satu hotel bintang lima terbaik di negeri ginseng tersebut.
Ambassador Penthouse, Executive lounge access, one King. Sebuah kamar berukuran 278 meter persegi. Dibantu Itachi, lelaki berambut panjang itu telah lebih dahulu mereservasi kamar tersebut tiga hari sebelumnya. Memudahkan Naru sehingga ia dapat langsung Check-in dan beristirahat.
Hotel ini terletak di, 176 Sinbanpo-ro, Seocho-gu, Gangnam, Seoul, Kota Istimewa Seoul, Korea Selatan, 06546. Dalam satu menit orang-orang dapat berjalan kaki dari stasiun metro. Hotel mewah bertingkat tinggi di Distrik Gangnam ini juga berjarak 5 kilometer dari Distrik Yongsan yang ramai. Menampilkan pemandangan kota atau sungai. Nuansa kamar yang terang dilengkapi kamar mandi berbahan marmer. Hotel ini pula menyediakan Wi-Fi gratis, TV layar datar, area tempat duduk juga minibar beserta alat pembuat teh dan kopi.
Di kelas yang lebih tinggi, sebuah kamar akan memiliki akses lounge pribadi dengan layanan tambahan untuk sarapan dan minuman. Layanan kamar yang ditawarkan, sepanjang waktu dalam setiap hari. Fasilitas yang ada meliputi restoran kelas atas dan dua mini bar yang indah. Ada pula spa, gym dan kolam renang di dalam ruangan. Tak ketinggalan sebuah ruangan berukuran luas yang biasa digunakan sebagai pusat bisnis dan fasilitas pertemuan.
▪▪▪
Naru meneliti seluruh ruangan pula perlengkapan maupun benda-benda yang terdapat di dalam kamar. Mengecek apakah segalanya sudah sesuai dengan standar kebersihan yang ia mau. Naru mengusap pinggiran wastafel marmer itu dengan ujung telunjuk dan mengamati hasilnya dalam jarak dekat. Belum puas, ia pun menggesekkan telunjuknya dengan ibu jari. Setelah hal itu, barulah terlihat kelegaan di wajahnya. Berlanjut ia berpindah ke ruang menonton TV.
Naru menyalakan TV, menyandarkan tubuhnya di punggung sofa yang empuk. Lelaki itu menoleh ketika pergerakan Hinata mencuri atensinya. "Kau tidak lelah? Dari tadi mondar-mandir melulu. Ini sudah malam, harusnya kau langsung beristirahat. Besok banyak kegiatan yang harus kita lakukan," ujar Naru seraya memperhatikan Hinata yang kelihatan bingung. "Kau ini kenapa, sih? Memikirkan apa?"
Bagaimana mengatakannya? Kamar ini memang luas, tapi ranjangnya hanya satu, aku mau tidur di mana? Apa di sofa itu saja? Ah, ya sudahlah. Sofanya juga tidak buruk, kok. "Aku hanya menunggu kabar dari Sakura. Mereka di hotel ini juga 'kan? Tapi kenapa dia belum menghubungiku?" dalih Hinata.
"Mungkin saja temanmu sudah tidur, besok juga pasti bertemu."
Perempuan itu mendengkus lalu berkata, "Mau kubuatkan kopi?" ia menawarkan.
"Aku tidak suka kopi, tapi kalau teh aku mau," jawab Naru santai. Lalu kembali mengalihkan pandangannya ke TV layar datar. Sementara Hinata berpindah pada mini bar untuk kemudian menyeduh teh di sana.
Dalam beberapa menit Hinata kembali bersama dua mug di genggamannya. Teh untuk Naru, sedangkan kopi untuknya. Ia menaruhnya secara hati-hati ke atas meja, "Ini tehmu. Kenapa kau tidak suka kopi?" tanya Hinata begitu ia mendaratkan bokongnya di sofa.
"Kafein bisa menempel di gigi, hingga menyebabkan gigi menguning," Naru menjawab seadanya, ia mengambil mug lalu menyesap perlahan teh yang masih panas.
"Teh juga seperti itu 'kan?"
"Kopi yang lebih parah. Kau tahu perbedannya? Kopi memiliki kadar kafein lima kali lebih banyak daripada teh," jawab Naru lagi.
"Teliti sekali. Kau sampai menghitungnya seperti itu?" seraya menyesap kopi dengan tenang, Hinata menikmati obrolan ringan di antara mereka.
"Omong-omong, kau tidur di mana?" ucap Naru tiba-tiba, sebuah ungkapan yang membuat Hinata nyaris menyemburkan kopi dari mulutnya, ia kaget.
"Ah, anu... aku di sofa saja," jawab Hinata terbata-bata. Kemudian mengangkat lagi mug kopi dan meneguk agak kasar isinya. Ia melirik sembunyi-sembunyi wajah Naru dari ujung matanya.
"Kau tidur saja di ranjang, biar aku yang di sofa." Naru menuturkan, raut wajah lelaki itu tampak biasa-biasa saja. Nada suaranya juga tenang. Jelas hal tersebut menyebabkan Hinata melongo diam. Bahkan tak bisa menjawab seolah ada sesuatu yang menghalangi di kerongkongannya.
"Lalu kau? Entah bagaimana denganmu, tapi kalau aku tidak masalah tidur di sofa. Tidak akan terjadi apa-apa, yang kucemaskan justru dirimu," kondisi kelainan Naru membuat Hinata merasa tidak tega. Apa mungkin ia bisa tidur nyenyak di atas sofa? Sedangkan semua kebiasaan lelaki itu, sepanjang Hinata mengingat, dapat dipahami Naru bukanlah lelaki sembarangan. Ia memiliki standarnya sendiri dalam segi apa pun di hidupnya, meskipun hanya tempat untuk tidur.
"Sudah kubilang kau yang tidur di ranjang," tegas Naru, kali ini lebih mengintimidasi agar Hinata tak lagi membantah dirinya.
"Ya sudah. Kalau begitu... aku tidur, ya? Tak apa 'kan kutinggal? Maksudku, takutnya ada lagi yang kau butuhkan." perempuan itu beranjak, mengamati Naru dengan ragu-ragu.
"Pergilah tidur." Naru menatapnya datar, nyali Hinata menciut. Ia sontak menunduk lalu berkata, "Selamat malam." ia pun berbalik dan meninggalkan Naru.
Sementara lelaki itu mendesah pelan dan bergumam, "Dasar induk kuman! Aku ini pria, mana mungkin berebut tempat tidur bersama seorang gadis, memalukan sekali. Aku tetap tidur di sofa ini walaupun besok akan pingsan."
▪▪▪
Kicau burung menyambut pagi mereka dengan penuh keceriaan. Cuaca cerah pula menemani di hari ini. Hinata bangun bersama wajah berbinar-binar. Ia menyingkap tirai, berjalan ke balkon untuk menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Merenggangkan otot-ototnya sejenak, kemudian ia memperhatikan pemandangan kota, menikmati keindahan sungai Yangjae yang mengalir di sepanjang Seocho-gu. Karena berdekatan dengan Gangnam, berikut keindahan sungai dan pegununangan menyebabkan masyarakat menjadikan Seocho-gu sebagai tempat yang menyenangkan bagi publik.
Di tengah-tengah antusias ia mereguk betapa nyaman suasana pagi. Hinata teringat akan satu hal, belum memastikan keadaan Naru. Apakah dia tetap baik-baik saja. Walaupun Hinata sempat menyelimuti tubuh lelaki itu, saat tersentak hingga ia beranjak sebentar dari tempat tidur kemudian melihatnya. Hinata tersenyum lega, mendapati Naru tertidur pulas. Ia mengambil selimut bulu dan menutupi tubuh lelaki itu agar tetap hangat.
Di sofa, belum terlihat tanda-tanda bahwa Naru akan segera bangun. Hinata menghampiri lalu berjongkok di sampingnya. Dengan pelan ia menepuk-nepuk lengan lelaki itu sambil berkata, "Naru, hari sudah siang. Kau harus bangun." ucapannya terdengar lembut.
Naru mengerang, mencoba membuka kelopak mata yang masih terasa berat. Iris safirnya perlahan terlihat, memancarkan cahaya indah memesona. Ia bangun, lantas mendudukkan dirinya di punggung sofa. Wajah lesunya memandang Hinata sebelum ia bertanya, "Sudah jam berapa sekarang?"
Masih berjongkok, Hinata menghadiahinya dengan senyum cantik. "Tidurmu nyenyak tidak?"
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving with OCD Guy ✓
RomanceSiapa yang bisa menolak jika harus dihadapkan pada suatu kelainan aneh. Mengidap misofobia bukanlah keinginan Naruto. Tentu saja hal ini sangat mengganggu dan bertolak belakang dengan pekerjaan yang tengah dirinya geluti. Berkutat dengan kamera, lam...