Chapter 8

1.3K 251 173
                                    

King Naru telah siap dengan perlengkapan perang khusus sebagaimana biasa, tiga hari lagi jadwal keberangkatan dirinya berikut tim ke kota Seoul. Karena itu ia berencana membersihkan seluruh mansion, meskipun mustahil baginya dapat membereskan ruangan raksasa pula diisi perabotan mewah nan rumit dipenuhi ukiran tajam.


Masker, sarung tangan, kaus kaki berikut sepatu bot karet, kostum lengkap yang ia kenakan sebagai pelindung tubuh. Naru juga telah lebih dahulu menyiapkan peralatan bersih-bersih. Aktivitasnya bermula setelah ia mengambil kemoceng lalu mulai mengelap satu persatu perabotan kaca dan keramik. Guci, vas bunga, figura pula hiasan dinding lainnya takkan terlewatkan oleh tangan cekatan pria itu.

Mysophobia menjadikan Naru seorang pria yang gila kebersihan. Dalam hidupnya, kebersihan adalah yang terutama dari apa pun juga. Wajah tampan di atas rata-rata, penampilan sempurna, terang saja banyak orang tak menduga bahwa si aktor tampan menderita mysophobia.

Memilih profesi sebagai aktor demi bisa keluar dari cengkeraman penyakit tersebut, ia berpikir interaksi langsung di muka umum berangsur-angsur dapat membantunya menyesuaikan diri. Namun, mengubahnya pula bukanlah perkara mudah. Naru malah semakin gila dengan kebersihan hingga sangat membatasi ruang geraknya. Karena mysophobia tersebut pula hubungan Naru dengan keluarga tidak begitu dekat, meskipun dia sangat menyayangi ayah ibunya. Belum lagi dia kerap gagal dalam urusan asmara.

Ruangan terlampau besar itu menyebabkan keheningan nyaris bagai suasana tetap di setiap harinya. Entah karena kelewat serius, hingga tak menyadari kedatangan Hinata, Naru tetap asyik mengelap guci besar berukiran rubah merah ekor sembilan, salah satu benda kesayangan yang ia peroleh dari mendiang kakeknya.

Berulang kali berdeham, tapi Naru tak menanggapi, Hinata mengetuk-ngetuk lantai dengan kakinya sembari bersedekap, tak lama ia mendengus. "Apa gucimu itu sangat menarik?" ia mengimbuhkan sambil melangkah mendekati posisi Naru. "Naru...! Kau ini mendengar atau tidak sih? Sengaja, ya?"

"Kau, untuk apa ke sini?" sahutnya tenang setelah mendongak, ia melepas earphone yang menutupi kedua telinga dan dibiarkan tersampir di leher.

"Astaga... pantas saja dia diam." Hinata memijat-mijat pelipisnya.

"Kau mau apa? Jangan mengganggu! Tidak lihat pekerjaanku masih banyak?" imbuh Naru dengan geram.

Bibir Hinata berdecak kesal, "Aku hanya ingin membantu, memangnya kau bisa menyelesaikan ini semua?" Hinata mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan.

"Tidak usah, aku bisa sendiri."

"Tapi ruangannya sangat luas, barang-barangmu juga banyak, kalau seorang diri... dua hari juga tidak akan selesai." sikap dingin yang ditunjukkan Naru menyebabkan Hinata bersikeras pada keinginannya.
Gadis itu langsung mengenakan sarung tangan yang semula ia simpan di saku training. "Itachi bilang aku harus selalu membantumu. Aku juga tidak mau menerima gaji buta."

"Cerewet sekali," Naru mendelik, kemudian menyodorkan desinfektan pada Hinata. "Semprotkan itu saat kau berada dekat denganku."

"Iya, aku sudah tahu. Berkali-kali kau mengatakannya."

"Ini baru yang kedua. Kau itu keras kepala, berulang diingatkan belum tentu mengerti. Kuharap kau tidak lupa, kali pertama kau di sini. Keributan gara-gara ulahmu malam itu, aku sungguh kesal padamu. Seorang gadis masuk diam-diam ke kamar laki-laki, bersembunyi dalam lemari lalu berpura-pura kesasar. Entah apa tujuanmu sebenarnya datang ke kota ini, yang pasti aku tidak pernah suka pembohong."

Beberapa langkah Hinata menghampiri, lalu berjinjit hingga wajahnya berada sangat dekat dengan wajah Naru. Pria itu mundur perlahan, "Tiga meter, menjauh dariku."

"Aku tidak mau... pokoknya aku tidak mau. Kenapa memangnya? Kau takut?" seraya berkacak pinggang, Hinata menantangnya. Gadis itu mengabaikan semua penolakan Naru, tanpa peduli ia gencar menyudutkan si Rubah Seksi itu. Hinata nekat mendorong maskernya ke bawah hingga membuat mata Naru terbelalak kaget. Berlanjut gadis itu menepis jarak, menyisakan lima sentimeter dan hidung mereka kini nyaris bergesekan. Tampan, dia memang tampan. "Kau mencangkok bulu matamu, ya?"

"Apa?" kernyitan di dahi Naru muncul.

"Kau pernah operasi plastik? Hidungmu, matamu juga rahang, apa semuanya asli?" Hinata terpukau dengan wajah pria itu, tak ada yang kurang, dia terlalu elok untuk dipandang. Segalanya simetris, apa yang ada diwajahnya menegaskan betapa dia patut dipuja-puja hingga detik ini. "Aku jadi iri, bulu matamu panjang dan lentik. Dari mana kau mendapatkannya?" Hinata mengulur tangan perlahan bermaksud membuktikan keaslian bulu matanya. Naru terkesiap, ia menjorokkan wajahnya bertambah ke belakang. "Sedikit saja, biarkan sku menyentuhnya." Naru hilang keseimbangan, ia sontak menarik kuat tangan Hinata lalu mereka berdua jatuh ke atas permadani bulu bersama Hinata di atas tubuhnya.

Naru terdiam, matanya terus mengerjap. Tak lama ia melirik ke bawah dan kelopak matanya langsung melebar. "Kau?!" suaranya terdengar keras, begitu marah. Sorot iris safir menatap penuh intimidasi hingga Hinata sedikit gentar, gadis itu terburu-buru bangkit lalu menunduk. Ia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, demi mengurangi rasa gugupnya. Kali ini ia menyadari ulahnya sudah diambang batas, si Rubah Seksi mengamuk. Hinata bahkan tidak cukup berani melihat wajah Naru.

"Maaf... aku tidak sengaja." Hinata berucap lirih masih dengan wajah tertunduk.

"Sial! Naru membuang napas kasar dua tiga kali dan menggaruk pelipisnya. "Brengsek!" ia memekik marah, suaranya mendominasi, lantang terdengar sampai mengejutkan Hinata. "Aku sedang berusaha untuk nyaman dengan keberadaanmu, aku coba menyesuaikan diri walaupun aku tak suka ini. Kupikir kau mau memahami, tapi aku salah. Aku salah karena memberi kesempatan, harusnya tidak. Kau mempermainkanku, aku sadari itu... sedari awal kau anggap yang kulakukan cuma lelucon." Naru menghela napas berat, ia menarik kasar kaus lengan pendek yang dikenakan dan menghempas kuat ke lantai. "Perjanjian batal, aku tak bisa melanjutkannya." ia mengambil langkah lebar meninggalkan ruangan, di anak tangga Naru berlari kecil menuju kamar.

Hinata menangis seketika, air matanya mengalir tanpa suara. Tak menyangka lelucon yang sering dia perbuat menyebabkan Naru kecewa terlalu dalam. Saat ini Hinata sangat paham bahwa Naru pun merasa terbebani dengan kelainan yang ada pada dirinya. Memangnya siapa yang mau menderita penyakit aneh seperti itu.

Menyesali, Hinata teramat bingung berpikir apa yang mesti dilakukan untuk memperbaiki hubungannya dengan Naru. Baru saja ia merasa semua cukup mudah ditangani olehnya, namun terlalu asyik dalam permainan membuat Hinata tersingkir akibat ulahnya sendiri.

Ia menghapus air mata sebelum dengan tergesa berjalan ke pintu depan. Suara bel mengumpulkan kesadarannya dalam hitungan detik. Sampai di depan, ia memutar knop dan menarik pintunya. "Apa kabar, Nako. Di mana Naruto?" Itachi menyapa dengan senyuman, wanita di sebelahnya turut membungkuk sopan sebagai sambutan perkenalan, dibalas hal serupa oleh Hinata. "Dia Saara, kakak sepupu Naruto juga istriku." Hinata mengangguk, mempersilakan masuk pasangan suami istri tersebut kemudian kembali menutup pintunya. "Bagaimana kabarmu? Maaf, kemarin-kemarin aku tak bisa mendampingi selagi kau membiasakan diri dengan anak itu. Tapi percayalah, di balik sikapnya yang dingin, dia merasa sangat kesepian."

Saara menghela napas pelan, "Aku mewakili Naruto meminta maaf padamu, barangkali prilakunya ada yang menyinggung." Saara membuka suara, di wajahnya tergambar raut kecewa, ia menggulir pandangan ke Itachi, lalu pria itu mengusap-usap punggung istrinya untuk menenangkan.

"Kalaupun ada yang harus minta maaf di sini, akulah orangnya, aku baru saja membuat Naru sangat marah."

Bersambung...

Loving with OCD Guy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang