Setelah peristiwa buruk di sore itu terjadi, Hinata menyadari ada perasaan berbeda yang kini ia yakini telah bersemayam di dalam hatinya. Sementara Naru, begitu diberi obat penenang, ia pun terlelap di atas ranjang hotel. Berkat anjuran dari Itachi, melalui telepon laki-laki berambut panjang tersebut menegaskan kembali kenyataan bahwa Naru tidak akan suka berada di tempat asing bersama orang-orang asing, termasuk rumah sakit. Ia lebih terbiasa dikunjungi oleh dokter pribadinya kala memang diperlukan. ia juga tak bisa bertahan bila berhadapan dengan keramaian, riuh pula kacau. Hingga pada akhirnya mereka menghubungi dokter agar memberi penanganan darurat dan tepat bagi pasien dengan kondisi khusus seperti dirinya.
Hinata duduk di samping ranjang. Seraya menggenggam telapak tangannya, ia masih menatap cemas pada Naru yang sekarang tampak lelap. Tangannya terulur membelai helai rambut yang menutupi dahi laki-laki itu, lalu terdengar lirih ia berucap, "Aku janji tidak akan pernah meninggalkanmu lagi."
Dari balik pintu, Kiba dan Lee sedang mengintai. Tak seorangpun dari mereka berani bersuara, keduanya hanya mengamati dalam diam. "Semua ini gara-gara kau, Lee!" Kiba menghardik dengan suara tertahan, "Kalau kau tidak mengajakku pergi dari tempat itu, si bos pasti masih baik-baik saja sekarang."
"Kau yang salah, kenapa malah menuduhku? Bukankah kau sendiri yang memaksa agar kita cepat-cepat pergi dari sana."
"Pelankan suaramu, nanti si bos bangun. Kita tunggu di sana saja." Kiba menuturkan tegas, kemudian keduanya menepikan diri ke ruang lain.
-----
Perempuan bertubuh mungil itu kini menjadi penawar baginya. Sudah dalam beberapa hari belakangan bayang-bayang wajah Hinata tak mampu ia tepis dari pikirannya. Naru tanpa sengaja lalai, hingga terpesona dengan sosoknya. Tidak memiliki alasan spesial yang dapat menjelaskan, Naru barangkali telah menemukan rasa nyaman untuknya. Apakah ini merupakan pembuktian pepatah, kalau cinta hadir karena terbiasa? Tidak ada yang tahu. Bagi Naru yang kerap menyendiri, belum pernah bertemankan seorang kekasih, jelas ia pula kurang memahami segala perihal berhubungan dengan cinta. Meskipun kadang kala sedikit dapat ia ketahui dari sebuah artikel.
Tak pula mahir melukiskan keindahan seorang gadis. Ditambah lagi sejak sekian lama perempuan tak singgah di hatinya. Terlalu cepat jika menuduh yang bukan-bukan, apa lagi berasumsi jika tak ada yang tertarik pada dirinya. Kenyataan dia adalah seorang publik figur digilai dan dipuja banyak hawa. Kesendiriannya karena suatu alasan. Pernah ada seorang gadis yang mendiami tempat di hati lelaki itu, namun akibat terhalang situasi dan waktu yamg tidak tepat, maka semuanya berangsur-angsur pun lenyap menghilang.
Sang mentari telah di pengujung pagi. Bersedia menyebar kilau cahayanya ke semua penjuru langit. Butir-butir embun pun turut menyapa, menghiasi daun dan bunga-bunga di pepohonan. Desau angin bersiul mengiringi nyanyian burung-burung yang terdengar merdu di telinga. Perlahan, kelopak matanya terbuka, memperlihatkan binar biru nan indah. Oh Tuhan, betapa beruntung ia memiliki safir yang mampu menyeret orang-orang dengan daya pikatnya. Naru mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang. Ia bergegas bangun, lalu beranjak ke luar kamar.
Bunyi air yang dituang ke dalam cangkir, menarik langkah lelaki itu menuju pantry di dapur. kaki-kakinya berhenti bersamaan dengan tubuh turut mematung, ia menatap punggung Hinata dalam keheningan. Betapa keinginan itu teramat kuat mendorong, rasa ingin untuk merengkuh erat dan berkata, agar tetap berada di sisinya. Namun sungguh sulit, segalanya terasa berat bagi Naru.
"Kau sudah bangun? Aku baru saja akan membawakan teh ini untukmu," kata Hinata saat dia mendapati Naru berdiri di belakangnya. "Ada apa? Kau ingin sesuatu? Katakan saja," imbuh perempuan itu lagi. Sedangkan Naru masih bertahan dalam kebisuan. Matanya tampak berkaca-kaca, seolah sedang meneriaki kelemahannya. Tentu Hinata pun menjadi was-was seketika, hingga langkahnya tidak dapat menahan untuk tetap di tempat. "Kau sakit?" Hinata bertanya cemas, ia langsung menghampiri dan menyentuh dahi Naru untuk memastikan dugaan. Pasalnya, Hinata belum dapat melenyapkan rasa takut atas peristiwa yang dialami oleh Naru kemarin. Ia bahkan terus mengawasi, berakhir ia turut berbaring tanpa melepas genggamannya dari tangan lelaki itu.
Tanpa sepatah kata terucap, Naru menyentak kuat tubuh Hinata ke dalam pelukannya. "Jangan pergi dariku," tuturnya lirih. Ia mengeratkan rangkulan lengan-lengan kokohnya pada punggung Hinata, seakan takut bila perempuan itu dapat terlepas kapan saja.
"Tidak akan, aku sudah berjanji pada diriku sendiri." mendekap tak kalah kencang, kata-kata yang ia tuturkan mampu menghapus semua gulana pada diri Naru. Air mata lelaki itu terbebaskan, rasa haru sekaligus bahagia menyeruak masuk begitu cepat ke dalam rongga dadanya, ia tersenyum lega.
"Terima kasih." Naru mengucapkan tulus begitu melepas pelukannya, sementara Hinata menyeka air mata lelaki itu dengan jemarinya yang halus. Iris berbeda milik mereka saling mengikat satu sama lain, mengisyaratkan sebuah rasa istimewa berisi gelora. Tangan Naru menarik perlahan dagu Hinata, hingga wajah keduanya kian merapat. Bersama mata terpejam, mereka kembali berciuman. Ciuman berbeda dari yang pernah mereka lakukan, penuh cinta pula kerelaan.
Melumat bibir Hinata lambat, Naru melakukannya secara spontan menuruti naluri yang menuntun ia dalam benaknya. Perlahan, namun lembut. Lalu intensitas itu menjadi ciuman yang lebih dalam dan panas. Mulai menggerakkan lidahnya, Naru menyapu setiap sisi rongga mulut Hinata dengan hati-hati.
Suasana hangat dan romantis kini menyelimuti sejoli itu. Ketika gairah asmara kian membakar, tentu keduanya ingin menjemput kepuasan bercumbu. Hinata menarik tengkuk Naru, membuat lelaki itu semakin nyaman dan lebih berani. Sementara jemarinya telah menjamah punggung Hinata, menggelitik ke atas dan ke bawah. Sentuhan yang menyebabkan perempuan itu dapat merasakan sensasi dahsyat hingga ia terlena.
Mencoba mengikuti ritme gerakan Naru, Hinata menggoda lelaki itu dengan menggigit kecil bibir bawahnya, memberi rasa menyenangkan sampai Naru tak bisa menahan tawa ringannya. Ia melepas ciuman, lalu menyatukan dahi mereka. "Aku mencintaimu," ungkap Hinata.
"Kau baru mengatakannya setelah melihatku hampir mati?"
"Hanya pingsan, kau berlebihan."
"Jadi kau suka jika melihatku benar-benar hampir mati?" kata Naru tak senang.
"Sudah cukup." Hinata mencuri satu pagutan dalam sekali lagi, hingga Naru agak terperangah. "Kau terlalu jauh berpikir, tidak akan terjadi. Percayalah!"
"Rasanya sekarang... aku siap menantang hidup ke depan."
"Yakin sekali, bukankah banyak yanag membuatmu takut, atau jijik?"
"Ehm... kita lihat saja nanti. Aku akan kembali rutin menjalani terapi. Banyak hal yang ingin kulakukan bersamamu."
"Sungguh? kalau begitu, berjuanglah! Aku selalu mendukungmu."
"Kau mau berjanji?" tanya Naru setelah mendekapnya ulang.
"Tentu." angguk Hinata dengan jawaban singkat.
"Aku tahu, aku hanya pria aneh juga membosankan. Mungkin aku tak akan bisa membawamu ke tempat-tempat yang kau suka, atau melakukan aksi hebat demi mengesankanmu. Tapi aku siap bila saat ini kau tak mau berjanji untuk selalu di sisiku, akan kutunggu sampai kau mau."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving with OCD Guy ✓
RomanceSiapa yang bisa menolak jika harus dihadapkan pada suatu kelainan aneh. Mengidap misofobia bukanlah keinginan Naruto. Tentu saja hal ini sangat mengganggu dan bertolak belakang dengan pekerjaan yang tengah dirinya geluti. Berkutat dengan kamera, lam...