Akhir pekan yang melelahkan bagi Naru. Terus-menerus Shooting menyebabkan otak dan batinnya jenuh. Betapa tidak, lelaki misofobia itu menahan semua keengganan saat harus bersentuhan dengan lawan mainnya. Beruntung di pengujung minggu, ia dibebaskan dari kegiatan tersebut.
"Kau yakin tidak apa-apa sendirian di sini?" tanya Hinata sembari ia berdiri di samping ranjang, di mana Naru tengah berbaring.
Membuka kelopak matanya, ia mengamati Hinata sejenak dalam diam. "Aku sungguh ingin tidur sekarang. Kali ini pergi saja, nikmati hari liburmu. Kemarin kau 'kan tidak ikut bersama mereka." Naru berkata lambat, kemudian merubah posisinya menjadi membelakangi perempuan itu.
Hinata mendesah pelan, menatap tak rela punggung lelaki itu. Belum lagi langkahnya kini terasa cukup berat meninggalkan Naru. Padahal tempo hari, ia sudah membatalkan rencana untuk ikut bersama Sakura dan yang lain. Aku tidak tega membiarkan dia sendirian. Tapi aku juga tidak enak pada Sakura. "Ya sudah, aku janji akan kembali lebih cepat. Telepon aku kalau kau butuh sesuatu, ya."
"Hm."
-----
"Sakura, apa kau sudah gila? Kau mengajakku keluar hanya untuk menemanimu berjudi? Ya Tuhan, aku meninggalkannya di hotel demi hal ini?" Hinata berkata lantang, namun suara perempuan itu teredam oleh bunyi keras dari musik yang menguasai seluruh ruang di Kasino.
"Tenanglah, Sadako. Berisik sekali, kau mengganggu konsentrasiku. Bayi besarmu itu juga tidak akan hilang." seraya mengamati lekat-lekat barisan kartu di tangannya, ia menjawab santai hardikan Hinata.
"Sakura benar, Nako. Si bos bukan anak kecil lagi. Biarkan saja dia, sekarang 'kan hari libur kita." Kiba menambahi, ia dan Lee pun turut berada di tempat itu, mengikuti Sakura sedari awal.
"Tapi kenapa harus sejauh ini? Di hotel juga ada dan kau malah menyuruhku datang ke mari," protes Hinata lagi.
"Gunakan otakmu, Hinata. Kau jadi semakin cerewet karena si pirang itu. Tertular, ya?" Sakura melirik singkat lalu meletakkan ke atas meja semua kartu bersama senyum kemenangan di wajahnya. "Aku straight." Sakura menghela napas kelegaan. "Jangan mangkir dari janjimu, ya. Separuh hartamu harus kau berikan padaku."
Tiba-tiba Sasuke tertawa singkat, lalu bicara, "Aku tahu saat ini adalah keberuntunganku. Aku mendapatkan Full House, kau harus memenuhi permintaanku, sayang. Karena akulah pemenangnya." ia menyeringai nakal dengan satu kali kedipan mata. "Ingat! Kau tidak bisa lari dari perjanjian." Sasuke kembali melepas senyum kemenangan. Berbeda dengan Kiba dan Lee yang kini menatapnya dengan sorot mata penuh kejengkelan.
"Kau sengaja menjebakku?" Sakura menentang, memandang tajam pada Sasuke. Apa kau sengaja menyusun strategi di belakangku? Mustahil pemula sepertimu bisa menang di permainan pertama."
Tawa keras dilepas oleh Sasuke. "Maaf, aku lupa memberitahu. Kau salah bila menduga kalau ini adalah pengalaman pertamaku. Bisa dibilang hampir lima tahun aku mengikuti permainan ini dan aku belum pernah kalah. Mau berdalih apa lagi sekarang? Bukankah kau yang sampai lebih dulu ke sini, harusnya kecurigaan itu ditujukan padamu."
"Kau terlalu banyak bicara. Sialan! Aku belum pernah dikalahkan dengan hina seperti ini."
"Hei! Jaga ucapanmu, sayang. Aku memintamu dengan cara baik-baik untuk menjadi istriku. Kenapa kau mengatakan hal serendah itu?" kening Sasuke mengerut selagi menunggu tanggapan dari Sakura.
"Terserah kau saja. Aku tidak mau terjebak perdebatan dengan lelaki sepertimu," ketus Sakura lalu membuang muka ke arah lain.
"Tentu, sayang. Kau harus menghindari perdebatan dengan calon suamimu sendiri."
Di tengah-tengah perdebatan antara Sasuke dan Sakura, Hinata justru mulai merasa jengah. Perempuan itu mendengkus kasar dan pada akhirnya ia meninggalkan Kasino tanpa berpamitan dengan siapa pun. Mau bagaimana lagi, semuanya sibuk dengan keterkejutan mereka masing-masing. Termasuk pula Kiba dan Lee, menyadari akan kekalahan terbesar yang mereka dapatkan, bahkan sebelum pertandingan benar-benar dimulai. Ya, kedua lelaki tersebut juga berencana ikut bersaing bersama Sasuke demi bisa mendapatkan hati Sakura. Namun naas, agaknya keberuntungan masih sangat jauh untuk menghampiri keduanya. Berujung mereka kini menelan kekecewaan yang tampak jelas di wajah mereka.
-----
Seraya menggerutu, Hinata masuk ke kamar hotel dengan langkah malas. "Membuang-buang waktu," ia menghela napas panjang. "Aku sungguh kesal sekarang." Hinata bergeming sejenak di ruang TV dengan berkacak pinggang, ia melirik sebentar ke ranjang untuk memastikan keadaan Naru. "Sebaiknya aku mandi, rasanya badanku mulai gerah." Berlanjut ia memutuskan untuk mandi kala mendapati Naru masih tertidur pulas.
Di kamar mandi, Hinata justru bersenandung ria menyanyikan lagu kesukaannya. Hingga nada-nada sederhana itu mampu mengusik ketenangan dalam tidur Naru. Masih malas beranjak dari ranjang, ia tetap berbaring dan mulai mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya. Tak lama kemudian ia bangun, lalu duduk di pinggir ranjang.
Kantuk masih enggan menyingkir dari wajahnya, mata yang agak sembab dan bibir pucat. Naru memandang lurus ke depan. Ia menguap sejenak dan sesaat kemudian iris safirnya bersirobok dengan mata kelabu Hinata. Naru terbelalak, cepat-cepat mengalihkan pandang ke sisi lain. Samar-samar rona merah muncul di pipi lelaki itu ketika tanpa sengaja mendapati keadaan Hinata yang hanya dalam balutan handuk pada tubuh juga di kepalanya.
"Maaf, aku tidak tahu kau sudah bangun. Maafkan aku, harusnya aku tidak memakai kamar mandi ini. Hanya saja di kamar mandi yang satunya, sabun dan..."
"Tidak, tidak apa-apa. Pakai saja kapan pun kau mau. A-aku keluar sebentar." Naru menyahut dengan terbata-bata akibat gugup. Memalukan! Kenapa aku harus melihatnya dalam keadaan seperti itu. Pasti dia akan berpikir buruk tentangku. Racau Naru dalam hati seraya beringsut dari sana.
"Astaga, Hinata. Kau memang bodoh sekali." ia menutup pintu kamar lalu menghela napas ringan. "Kenapa aku harus mandi di sini? Ya Tuhan, aku menurunkan nilai harga diriku sendiri. Memalukan!" Hinata lagi-lagi mendesah pelan dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Sementara di dapur, Naru mereguk kasar air mineral dingin dari dalam botol. Laki-laki itu menumpukan kedua tangannya di atas meja, ia menggelengkan kepala berkali-kali. "Brengsek! Kenapa aku terus memikirkannya?" Naru berpindah ke ruang TV dan menyetel acara Variety Show bergenre komedi. Barangkali dapat menjauhkan otaknya dari bayang-bayang Hinata di kamar tadi, yang langsung dapat membuat wajahnya memanas seketika. Oh, ayolah! Dia adalah lelaki dengan minimnya pengalaman tentang hal-hal intim kalangan dewasa. Tentu saja menyaksikan Hinata cuma dalam balutan handuk merupakan sesuatu yang tabu baginya.
"Naru." sembari menunduk, Hinata memanggilnya dengan ragu-ragu. Sedangkan Naru, ia terkesiap kemudian langsung berdiri.
"I-iya, ada apa?" bagai ketahuan tengah mencuri, Naru ternyata tak dapat menyingkirkan rasa gugup itu, bahkan bicaranya pun masih juga gaguk.
"Maaf, ya. Aku tidak bermaksud lancang. Tapi..."
"Tidak, Nako. Itu bukan salahmu. Aku yang salah karena bangun diwaktu yang tidak tepat," ucapnya asal sembari mengibas-ngibaskan tangannya.
"Hm?" kernyit di dahi Hinata terlihat. Apa maksud perkataannya, memangnya bagaimana cara mengatur waktu bangun agar pas dalam segala situasi? Dia mengada-ada. Hinata terkikik geli hingga menyebabkan Naru yang sekarang bergantian memandangnya heran. "Kau ini lucu sekali. Untuk apa bersikeras mengakui kesalahan yang tidak kau perbuat, sudah jelas aku yang ceroboh."
Naru memalingkan wajah ke samping, ia dengan hati-hati berkata, "Tadi itu pertama kalinya bagiku dan aku tidak mengerti harus apa selain meminta maaf."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving with OCD Guy ✓
RomanceSiapa yang bisa menolak jika harus dihadapkan pada suatu kelainan aneh. Mengidap misofobia bukanlah keinginan Naruto. Tentu saja hal ini sangat mengganggu dan bertolak belakang dengan pekerjaan yang tengah dirinya geluti. Berkutat dengan kamera, lam...