Empat bulan kemudian ....
Perasaan aneh itu telah muncul sejak pertama kali mereka bertemu. Meskipun tak ada kesan manis, atau kata-kata santun seperti yang seharusnya. Namun di dalam hati Naru, getar itu sungguh ada. Sebuah kebenaran yang tidak orang-orang pahami adalah si rubah seksi begitu lihai menyembunyikan perasaan. Belum lagi kelainan misofobia menyebabkan dia secara nyata punya pembatas kokoh, bahkan sulit untuk tersentuh. Begitu menyadari ada yang berbeda dalam dirinya, sikap dingin dan ketus secara refleks terbentuk.
Kebersamaan Naru dan Hinata sudah hampir tiga bulan lamanya. Berangsur-angsur perasaan itu pun memaksa untuk diakui, mendesak kuat akalnya hingga lelaki dengan banyak julukan itu pun menyerah. Ia mulai menerima fakta, ada rasa yang kuat melekat di hati ditujukan pada si induk kuman, makhluk cantik yang menyusup ke lemarinya.
Menjalani terapi singkat, kini Naru telah dinyatakan sembuh dari misofobia. Banyak dari pihak keluarga yang cukup terkejut akan fakta menggembirakan ini. Pasalnya, bila ditelaah kembali berdasarkan laporan terakhir, butuh waktu minimal enam bulan lamanya bagi Naru untuk mengikuti terapi.
Hari demi hari, bahkan dua musim telah berganti. Naru masih tetap menyimpan perasaan itu, meskipun enggan untuk membuka kembali. Dalam benak, Hinata hanya ingin bermain-main dengan waktu dan hidupnya. Begitulah si aktor tampan tersebut menyugesti kuat dirinya demi menghidupkan lagi benteng pembatas yang sempat hancur.
Dia hanya menganggapku sebagai bahan lelucon, berpura-pura peduli agar dia semakin mudah untuk merendahkanku. Dia tidak mencintaiku, dia juga berbohong saat mengkhawatirkan aku.
"Nick, memikirkan apa?" Suara lembut Alexa spontan melenyapkan lamunan lelaki itu. Ia menoleh ke belakang dengan senyum tipis.
"Tidak ada." kening Naru samar-samar mengerut, begitu berbalik ia kembali bertanya, "Bukankah semua pemeriksaan sudah selesai?"
"Jangan cemas, aku ke sini bukan karena alasan itu." Alexa menghela napas ringan, kemudian ia mengangkat langkah mendekati Naru. "Kau tidak mau mempertimbangkan ulang tawaranku?"
Laki-laki itu tersenyum, lalu menggaruk tengkuknya, padahal tidak terasa gatal. "Alexa, kau itu teman terbaikku. Aku tidak bisa menjalin hubungan lain denganmu, maafkan aku." Naru menunduk lesu. Berat jika secara terpaksa mengecewakan seorang gadis, apa lagi gadis tersebut punya posisi spesial di hati.
"Jadi aku benar-benar ditolak?" Alexa pun mendesah pelan, "Ya sudahlah, mau bagaimana lagi, aku tidak akan memaksamu. Aku yakin dia bukan gadis sembarangan, hingga Nickelson Norwin yang ketus ini bisa langsung lunak dan jatuh cinta."
"Apa yang kau katakan, Alexa? Itu tidak benar," sangkal Naru dengan tawa yang terkesan dibuat-buat.
"Kaupikir sejak kapan aku mengenalmu, Nick? Semua penelitianku tentang perkembangan psikismu mengarah kepada gadis itu, selalu berhubungan dengan dia. Dia adalah suasana nyamanmu, tidak bisa dibantah. Buang keras kepalamu, saatnya untuk bahagia. Kau akan tahu betapa nikmatnya ketika dimabuk cinta, coba saja." Alexa berbisik mesra di telinga Naru, kemudian mengedipkan sebelah matanya. "Aku pamit, jaga dirimu untukku." perempuan itu mengecup sepintas pipi Naru dan ia pun meninggalkan ruangan. "Hanya tes terakhir. Kau sudah bebas sekarang. Good bye, Nick!"
"Alexa! I love you."
"Ucapkan pada gadis itu, sayang, atau jangan heran bila aku berubah pikiran dan memaksamu untuk menikahiku," kata Alexa meninggikan suaranya. Perempuan itu kian menjauh sambil melambaikan tangan, membelakangi Naru.
"Terima kasih, Alexa."
-----
Semilir angin berembus lembut. Sinar mentari pun mulai masuk melalui celah-celah ventilasi kamar Hinata. Perempuan itu kini tengah berdiri, berpegangan pada pembatas balkon. Ia memejamkan kelopak matanya seraya meresapi nyanyian merdu burung-burung yang bertengger di dahan pepohonan.
"Nak, kenapa kau belum bersiap juga? Satu jam lagi kita harus pergi, keluarga mereka pasti menunggu. Tidak enak bila nanti kita justru terlambat sampai ke sana." Hannaeri menghampiri putrinya, lalu meminta perempuan itu untuk segera berkemas. "Ibu tunggu di bawah. Jangan sampai ayahmu marah, Nak. Kami melakukan ini demi kebaikanmu," timpal Hannaeri sekali lagi dengan tegas.
"Sampai kapan, Bu? Sampai kapan aku akan terus diatur seperti ini? Ayah selalu mengendalikan setiap pergerakanku. Aku pergi dari rumah ini karena ayah mencoba menjodohkanku dengan laki-laki yang tidak aku kenal. Ibu pun tahu apa yang terjadi selanjutnya. Kupikir ibu akan memahami diriku, ternyata salah. Ibu bahkan membantu ayah dalam rencana perjodohan ini. Sudah berapa kali kukatakan, aku hanya mencintai Naru, Ibu." Hinata menjelaskan alasan penolakannya untuk yang ke sekian kali. Namun tetap saja ia tak punya kuasa untuk memperjuangkan keinginannya.
Hannaeri menghela napas panjang, lalu berkata, "Cepat ganti bajumu, mereka datang dari jauh. Ibu serius saat bilang tidak akan membuat mereka menunggu lama."
-----
"Kenapa membawaku ke tempat ini? Apakah ini yang menjadi alasan Ibu dan Ayah mengawalku sampai ke Tokyo? Ada apa sebenarnya?" Naru bertanya heran bersama kernyit di dahinya.
"Ada yang ingin bertemu denganmu." Kushina menjawab singkat tanpa menceritakan kejelasannya pada Naru, hingga ia pun berubah kesal sekarang. "Sabarlah sebentar, mereka sudah sampai di hotel ini dan sedang menuju ke mari."
"Tapi untuk apa?"
"Nah, itu mereka," ucap Kushina dengan wajah berbinar-binar. Sementara Naru, ia langsung memalingkan wajahnya ke samping.
"Maafkan keterlambatan kami, ya." Hannaeri menuturkan ramah, senyum simpul di bibirnya pun terlepas.
"Ayo, duduk. " tawar Minato mempersilakan dan keluarga Hyuga itu pun serempak mendudukkan bokongnya di masing-masing kursi.
"Baru beberapa bulan Ibu tidak melihatmu, kau jadi semakin cantik saja, Hinata," puji Kushina dengan santai seraya melirik putranya.
Naru tersentak dan langsung mengalihkan pandangannya kepada sosok yang dituju Kushina tadi. "Kau!" seru Naru lantang. Ia langsung berdiri, menatap kecewa pada ibu dan ayah secara bergantian. "Ini tidak lucu, Ibu." Naru mengungkap rasa kecewanya, kemudian membungkuk sopan pada pasangan Hyuga sebelum terburu-buru meninggalkan restoran.
Sementara Hinata, ia hanya bisa melongo diam saat menyadari kenyataan di depan matanya, "Naru."
"Kejar dia! Bukankah dia yang selalu membuatmu melamun setiap malam?" Imbuh Hannaeri, hingga menyebabkan Hinata seketika tertunduk malu.
"Tidak usah murung, Hinata. Putraku sama denganmu. Dokter mengakui jika kesembuhannya adalah karena kehadiranmu, aku yakin Naru pun juga sangat mencintaimu. Dia hanya sedikit keras kepala," sahut Kushina menyela. Berakhir dengan Hinata yang berpamitan untuk menyusul si rubah seksi itu.
"Dasar anak muda, kita seperti menonton drama." Hannaeri mengimbuhkan, ia menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum lepas.
"Sebaiknya kita makan dulu," kata Kushina setelah memanggil pelayan restoran untuk memesan menunya. "Kita percepat saja acara pertunangan mereka."
-----
"Naru, tunggu!" seru Hinata saat mengejar lelaki itu hingga ke basemen, hingga bergerak cepat mengikuti Naru sampai ke mobil.
"Turun!"
"Tidak."
"Kubilang, turun!"
"Aku tidak mau."
"Terserah!" ketus Naru, lalu menarik persneling dan menginjak kuat pedal gasnya. Laki-laki itu menyetir mobil dengan kecepatan tinggi.
"Kau mau membunuh kita?"
"Bukan urusanmu," jawab Naru cuek, ia bahkan tak mau melihat Hinata.
Sikapnya itu jelas menyebabkan Hinata kesal. Tak ingin menyerah, ia pun mengencangkan seat belt dan bersandar ke punggung jok mobil. Ia melirik Naru singkat sebelum berkata, "Ya sudah, aku tidak takut."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving with OCD Guy ✓
RomansaSiapa yang bisa menolak jika harus dihadapkan pada suatu kelainan aneh. Mengidap misofobia bukanlah keinginan Naruto. Tentu saja hal ini sangat mengganggu dan bertolak belakang dengan pekerjaan yang tengah dirinya geluti. Berkutat dengan kamera, lam...