32. Koma

62 13 10
                                    

Teruntuk titik, tolong jangan pernah mendekat.
Teruntuk koma, tolong beri kelanjutannya.
Jangan biarkan diri ini diam, tak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menunggu tanda koma melanjutkan kata menjadi kalimat yang indah.

~Karya Rasa~

🌷🌷🌷

Sepuluh hari sudah Haura tergeletak bersama berbagai macam alat bantu medis yang melekat di tubuhnya.

Untung saja waktu itu ada penjaga sekolah yang kebetulan berniat ingin beristirahat di dekat kolam, tiba-tiba ia melihat Haura mengapung di kolam renang. Sontak penjaga sekolah itupun langsung menceburkan diri untuk menyelamatkan Haura. Jika tidak ada penjaga sekolah itu, entahlah apakah Haura bisa selamat atau tidak.

Papa Haura, Fahri dengan setia selalu menemani anaknya itu dengan segala penyesalannya karena selama ini ia sangat minim perhatian pada Haura. Ia sungguh menyesal mengapa ia terlalu menikmati segala kesibukannya di Jakarta tanpa memberi rasa kekhawatiran pada Haura yang hanya ia tinggalkan bersama para pekerja di rumahnya saja.

Papa Haura, Fahri mengelus tangan Haura yang terpasang selang infus, sungguh miris nasib Haura. Fahri merasa, mungkin kejadian yang menimpa Haura hingga membuatnya hampir meregang nyawa waktu itu mungkin karena kurangnya perhatian dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, terlebihnya dari dirinya selaku papanya, apalagi kini ia adalah orangtua tunggal Haura.

Semua cerita tentang Haura sudah Mbok Sri ceritakan pada Fahri. Sambil terisak Mbok Sri menceritakan panjang lebar semua yang terjadi pada Haura. Kini, penyesalan itu terus menggerogoti relung hati Fahri, papa Haura. Ia terus berdoa setiap harinya agar anaknya itu kembali diberi kesehatan oleh Allah SWT.

tiga kali suara ketukan pintu ruang UGD tempat Haura di rawat terdengar, membuat Fahri menoleh ke arah pintu dan segera membukanya.

Saat pintu sudah terbuka, tubuh Fahri seketika mematung saat matanya menangkap sosok gadis cantik yang kini berada tepat di hadapannya sambil menyunggingkan senyum lebar dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Gadis itupun memeluk tubuh tegap Fahri dan menumpahkan air matanya. Fahri pun membalas dekapan tersebut sambil mengelus rambut gadis itu.

"Papa? Ini beneran papa kan?" Ucapnya lirih.

"Iya nak, maaf, maafin papa ya." Jawab Fahri, ikut terisak.

Gadis itupun melepas pelukannya, ia menoleh ke sekelilingnya yang ternyata ada beberapa pasang mata yang melihat mereka yang perpelukan di ambang pintu seperti itu.

Fahri yang juga menyadari bahwa kini mereka menjadi pusat perhatian pun mengajak Haufa untuk masuk melihat keadaan Haura. Fahri sengaja berpamitan meninggalkan Haufa agar ia lebih leluasa untuk menumpahkan rasa rindu pada Haura, kembaran yang hanya satu bulan sejak kelahiran, mereka harus dipisahkan karena keadaan ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan untuk merawat dua orang anak sekaigus. Haufa dirawat oleh bibinya yang memang sangat menginginkan seorang anak dalam rumah tangganya. Selama 16 tahun ini mamanya sering menengok keadaan Haufa, sedangkan Fahri hanya sesekali dan beberapa tahun belakangan sangat jarang sekali menemui Haufa hingga timbullah rasa bersalah yang selanjutnya kini dirasakan Fahri pada kedua anaknya.

Haufa kembali menitikan air matanya saat melihat keadaan Haura.

"Haura...maafin aku ya yang ndak bisa jaga kamu sepenuhnya. Maaf karena waktu itu aku udah buat kamu panik waktu di Malioboro karena aku ngikutin kamu dengan pakai masker, kacamata dan hoodie segala sampe aku liat kamu jalan sampai nabrak-nabrak karena ketakutan. Aku emang ndak pandai Ra buat jagain kamu sesuai dengan amanah mama, dan sekarang belum juga mama pertemukan kita di ulang tahun kita yang ke-17 mama udah ndak ada dan sekarang aku bisa ketemu kamu lebih cepat sebelum waktunya." Ucap Haufa bermonolog sambil menatap wajah Haura yang ia harapkan Haura bisa membuka matanya dan menyapa dirinya.

 Karya Rasa (END✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang