Semula hanya tangan, kemudian kepala, dan sekarang keseluruhan anggota tubuhnya muncul. Orang itu berlari dengan senapan yang digantung di pundak, lagi-lagi hal yang tidak disukai Celsea terjadi; sosok pemakai masker. Kedatangan orang itu memunculkan respons berbeda. Gerry tetap bergulat dengan rasa sakit, sehingga Celsea tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menghadapi orang itu. Namun sebelum terjadi, orang itu lebih dulu menunjukkan telapak tangan dan menggoyangnya ke kanan kiri.
Kemudian dia bersuara. "Tidak apa! Kalian aman!"
Celsea menaikkan sebelah alis. "Aman? Kau percaya itu, Gerry?"
"Ya," jawab pria itu seadanya, tapi terdengar yakin.
Orang itu, tepatnya pria, sudah benar-benar dekat dengan dua orang yang menjadi sasaran penembak jitu sebelumnya. Dia berlutut di samping Gerry yang terduduk, pandangannya tertuju ke arah kaki korban yang terserempet peluru. Sementara Celsea, gadis itu masih kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. Kedatangan pria tidak dikenal itu diterima Gerry layaknya tamu dikenal, tidak ada perlawanan bahkan rasa curiga.
Akhirnya, Celsea memberanikan diri bertanya, "Siapa kau?"
Pria itu menarik maskernya ke dagu. "Matthew."
"Aku tidak butuh namamu," tolak Celsea mentah-mentah. "Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana aku tahu kalau kau bukan salah satu dari mereka?"
"Kalau aku salah satu dari mereka, untuk apa kutembak para penembak jitu itu? Jangan lupa, pria bersenapan yang mengejarmu juga sudah kuselesaikan," sahut pria itu sarkas. "Nah, gadis, bisa kau bantu ayahmu ini? Tekan darahnya supaya dia tidak kehilangan banyak darah."
Celsea bergeming, hatinya terus saja curiga dengan pria tidak dikenal itu. Bagaimana dia tahu Gerry ayahku. Sampai dia sadar apa yang diperintahkan pria itu. "Tunggu, aku harus menyentuh darahnya?"
"Kalau kau tidak mau, pakai ini." Matthew memberi Celsea sapu tangan.
Setelah selesai dengan urusan darah-berdarah, Celsea dan Gerry mengekori pria tidak dikenal itu ke sisi samping hutan. Kalau bukan karena keyakinan Gerry, sudah Celsea tolak ajakan Matthew. Namun, melihat kondisi Gerry juga yang harus terpincang saat jalan, Celsea tidak bisa melawan.
Keluarlah mereka dari hutan, hamparan rumput luas dengan rumah di tengah-tengahnya menyambut. Tidak ada kendaraan bermotor di sana. Satu-satunya yang dipakai Matthew untuk bepergian hanya sepeda yang bahkan terlihat rapuh, mungkin. Celsea memandang rumah berukuran sedang itu, terlihat bersahabat dan nyaman karena jauh dari kata bising. Dia pun masuk setelah Matthew mempersilakan.
"Duduklah di sini," ucap Matthew sambil mengulur tangan ke arah Gerry.
Celsea langsung menepis. "Biar aku saja."
Ya, gadis itu sejak dari hutan terus memapah Gerry. Biarpun berat, asal pria itu tetap dalam pegangannya.
Matthew menarik lagi tangannya dan mengangkat bahu. "Baiklah."
"Sudahlah," bisik Gerry.
Celsea menyipit. "Apa kau sudah lupa apa yang sudah kita lalui tiga hari ini?"
Gerry duduk, tidak sangka tubuh Celsea ikut tertarik karena saking beratnya. Terdengarlah suara tawa pelan dari belakang.
"Maaf," ucap Matthew. "Eh, aku baru saja menghangatkan sup. Ambillah, kalian pasti lapar. Oh, ya, lukanya harus diobati."
"Kau pikir kau bisa memisahkan kami? Tidak akan," semprot Celsea.
"Tidak apa, kau makanlah," ucap Gerry. "Matt, bisakah kau membantuku?"
Matthew menatap Celsea sejenak, kemudian kepada Gerry. "Dengan senang hati."
Celsea mendengus kasar. "Dasar pelupa, tidak ingat apa 20 menit lalu aku baru saja makan. Makan terus aku mau seperti apa."

KAMU SEDANG MEMBACA
Denouement
ActionSuatu pagi, si tetangga bercerita kepada Celsea bahwa dia mempunyai sahabat pena dari Korea. Hal itu membuat Celsea penasaran seperti apa rasanya memiliki sahabat pena sehingga mencobalah dirinya membuat surat untuk seseorang yang didapatkannya dari...