Axelle berdiam diri di kamarnya. Pikiran dan hatinya sedang ramai berperang semenjak Hansel, kepala pelayan khusus di rumah ini, membawa Sammy satu jam lalu. Berpisahnya dia dengan Sammy mengakibatkan dirinya terus memikirkan keadaan bocah itu sekarang. Pertama, Sammy berpisah dengan ibunya dan sekarang, dia berpisah dengan dirinya. Axelle tidak bisa membiarkan bocah itu sengsara.
"Aku akan menyelesaikan ini," tekad Axelle. "Kalo ayah saja tidak pernah mendengar ucapanku, kenapa aku harus repot-repot mendengar ucapannya?"
Lelaki itu pun beranjak dari kasur, kemudian pergi ke kamar mandi karena dia tahu pintu kamarnya telah dikunci Hansel. Kabur lewat balkon, tentu tidak mungkin sebab saat ini banyak mata penjaga yang pasti mengawas ke arahnya. Maka, menggunakan akses kipas angin langit-langit di kamar mandi adalah jalan terbaik.
Benar, melalui kipas angin. Akses tersebut sudah dimodifikasi sedemikian rupa oleh Axelle bertahun-tahun lamanya, menghubungkannya ke ruangan lain sampai benda tersebut menjadi fungsi jalan keluar untuk kabur tanpa sepengetahuan siapapun.
Tiba di kamar mandi, Axelle berjalan ke arah kloset dan mendongak. Jarak kipas angin itu tidak lebih satu meter dari kloset, dia hanya perlu naik ke atasnya dan sekuat tenaga melompat agar kedua tangan bisa meraih pinggiran akses tersebut. Namun, Axelle melupakan sesuatu. Dia pun keluar kamar mandi, menuju bilik lemari untuk mencari tongkat yang biasa dipakai mengambil rak sepatu teratas. Setelah ditemukan, dia kembali lagi ke kamar mandi.
Axelle mengembus. "Ini harus berhasil."
Tangannya mulai mengangkat tongkat, mengarahkannya ke penutup kipas angin. Beruntung penutup itu memiliki pola garis berlubang, jadi lelaki itu hanya perlu menariknya ke bawah. Ketika ujung tongkat berhasil mengait, Axelle mulai menarik. Satu, dua hitungan ditarik pelan hingga hitungan ketiga seluruh tenaganya dikerahkan dan penutup pun terbuka. Axelle memejam erat ketika penutup kipas jatuh menghantam lantai yang menimbulkan suara gaduh.
Perlahan Axelle membuka mata. "Kuharap tidak ada yang mendengar kegaduhan ini."
Setelah digunakan, tongkat pun dilempar kasar ke lantai. Kegaduhan terjadi lagi, tapi Axelle tidak peduli karena dia fokus memperhitungkan lompatannya ke akses. Jika tidak tepat, tentu kakinya langsung mendarat ke lantai, sementara lelaki itu ingin semua aksinya berjalan lancar. Axelle mulai berdoa, mengambil ancang-ancang, dan melompat. Senyumnya merekah ketika perhitungannya tepat. Segera dia menarik tubuhnya naik, mulai mengikuti jalur sempit tersebut.
Lima meter sudah dilalui, Axelle berhenti sejenak untuk beristirahat. Bergerak di ruangan sempit nan minim udara menghasilkan begitu banyak keringat dan juga tenaga yang terkuras. Hanya beberapa detik berhenti, Axelle merangkak lagi. Dua meter ke depan, cahaya muncul dari arah bawah. Tandanya dia sudah sampai ke tujuan akhir. Axelle mempercepat geraknya, tiba di atas penutup dia mengintip kondisi di bawah. Kosong, tidak ada siapapun di sana. Axelle tersenyum, tangannya bergerak menyeka keringat lebih dulu sebelum membuka penutup. Lagi, kepalanya melongok untuk memeriksa keadaan.
"Sammy, aku datang untukmu," bisiknya.
Axelle menarik napas dalam-dalam, kemudian menarik tubuhnya melewati penutup dan mendarat di lantai tiga meter jauhnya dari atas. Lelaki itu merintih, harus diam dalam posisi untuk meredakan rasa sakit. Namun, ketika terdengar suara orang bercakap dari seberang, mau tidak mau Axelle tersadar dan melarikan diri dari tempatnya.
Di sinilah lelaki itu berada, di sebuah ruangan yang disegani orang awam untuk datang. Axelle mendaratkan bokong di celah antar lemari untuk beristirahat, matanya mengedar ke sekeliling; menatap apa yang dipajang. Terhitung ada puluhan kepala hewan dari tiga kelompok berbeda yang diawetkan. Rusa, harimau, beruang, dan badak--dari sekian yang lain--tengah bertatapan dengan Axelle. Lelaki itu membayangkan jika dirinya menutup mata dan membukanya lagi, hewan-hewan itu sudah berdiri di hadapan dengan tatapan memangsa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Denouement
AcciónSuatu pagi, si tetangga bercerita kepada Celsea bahwa dia mempunyai sahabat pena dari Korea. Hal itu membuat Celsea penasaran seperti apa rasanya memiliki sahabat pena sehingga mencobalah dirinya membuat surat untuk seseorang yang didapatkannya dari...