Bab 4

102 51 73
                                    

Rabu
Bel berbunyi, menandakan pergantian jam pelajaran. Para siswa di kelas membereskan buku bahasa Inggris mereka dan satu per satu mulai meninggalkan ruangan. Setelah pelajaran Inggris, Celsea mengikuti kelas atletik yang kebetulan bersama Sharon. Sebelum ke ruang ganti, dia menuju lokernya untuk mengambil jersey.

"Hai, Celsea!"

Beberapa siswi di ruang ganti menyapanya ketika gadis itu masuk, selebihnya tetap sibuk dengan urusan masing-masing, seperti menunggu ganti baju atau bahkan bersolek. Celsea mengantre di pintu paling ujung, di samping gadis rambut hitam sebahu yang juga sedang menunggu, meski jersey sudah terpasang di tubuhnya. Dia tiba-tiba saja menatap Celsea, membuat gadis itu kikuk dan memalingkan wajah.

"Kau Celsea 'kan?" Gadis itu bertanya.

Celsea pun menatap gadis itu, siapa sangka ternyata dia tersenyum padanya. Padahal, menurut penilaian Celsea, gadis itu punya tampang yang jutek. Ditambah fisiknya yang cukup besar dan lebih tinggi, menjadikan gadis itu terlihat menyeramkan. Yang membuat Celsea sadar akan satu hal--dengan fisiknya seperti itu--dirinya tidak pernah tahu bahwa gadis itu ikut ke kelas atletik yang sama.

"Aku Jordy." Dia memperkenalkan diri.

"Oh." Celsea mengerjap. "Celsea. Hm, aku tidak pernah melihatmu."

Jordy tersenyum. Namun, jika diselidiki lebih dalam senyum itu memiliki makna. Makna yang membuat Celsea merasa tidak perlu membahas kehadirannya.

"Kau sedang apa?" Celsea mengalihkan topik. Namun, beberapa detik kemudian dia sadar telah menanyakan pertanyaan konyol.

"Menunggu," jawab Jordy seadanya.

Celsea mengangguk saja. Irit bicara, batinnya. Pintu di depan Jordy akhirnya terbuka, mengejutkan Celsea melihat siapa yang hendak keluar. Gadis dengan warna rambut serupa Jordy, dikepang ke samping--seperti tokoh kartun Frozen, Elsa--dan lengan kirinya penuh tumpukan baju.

"Sharon!" sapa Celsea.

Gadis itu langsung terbelalak. "Hai, Celsea! Ayo, kita basket!"

"Tunggu, aku belum ganti baju," ucap Celsea.

"Cepatlah, aku dan Jordy akan menunggumu." Sharon pun mengajak Jordy berlalu, tapi kemudian dia menghentikan langkah. "Oh, Celsea, kau sudah bertemu sepupuku?"

Celsea terkejut bukan main, tapi hal itu berlalu cepat oleh pemikiran akan warna rambut mereka yang sama. Dia pun mengangguk.

"Satu lagi, rasanya bilik itu tidak ada orang." Sharon tersenyum jahil dan melanjutkan langkah.

Celsea mengernyit, perlahan jari-jari tangannya mendorong pintu. Benar kata Sharon, bilik itu tidak ada orang, dan berarti dirinya sudah membuang waktu. Kelabakan karena siswi lain sudah mulai meninggalkan ruang ganti, Celsea langsung saja melesat ke dalam bilik.

Sepuluh menit sejak bel mulai pelajaran, Celsea bersama Sharon dan Jordy sudah di lapang basket. Lapangan itu ramai karena kelas senior baru saja memakainya. Dengan demikian, Celsea menduga akan ada suasana canggung antara siswi kelasnya dan siswa kelas senior di tribun. Mr. Conwell, guru para senior itu juga guru Celsea, masih sibuk mengobrol dengan empat siswanya yang menyebabkan Celsea dan teman-teman harus menunggu di pinggir lapang. Padahal, jam atletik di akhir adalah wadah toleransi untuk bisa pulang lebih cepat.

"Baik, Sophomores! Kita pemanasan dulu!" ucap Mr. Conwell akhirnya. "Senior, silakan meninggalkan tempat!"

Bisa ditebak. Kebanyakan siswi kecewa akan kepergian para senior, sisanya merasa nyaman untuk berolahraga tanpa tatapan-tatapan 'aneh' dari arah tribun. Celsea menahan tawa melihat beberapa kakak kelasnya melemparkan ekspresi jahil sampai akhirnya kena tegur Mr. Conwell, dan ruangan pun hanya diisi kelompok siswi.

DenouementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang