Bab 2

139 59 90
                                    

Jumat lalu, pria itu mendapat nasib buruk. Dua alamat yang dituju, semua berjalan lancar. Namun ketika perjalanan menuju alamat ketiga, Winchester, mobil yang dikendarainya tiba-tiba dihentikan rombongan polisi. Ternyata, para polisi itu menemukan sebuah paket berisi bubuk narkoba yang diselundupkan. Semua tuduhan awal jatuh kepadanya, tapi dengan bukti nyata yang berangsur datang bahkan di lokasi kerjanya saat itu juga, pria itu--Gerry--akhirnya terbebas.

Selasa ini, Gerry mempunyai waktu luang di sore hari karena dirinya memilih jadwal kerja di pagi hari. Ini kali pertama dia merasakan bagaimana pengalaman mengantar amanah di pagi hari. Dikatakan cukup mudah karena setiap alamat yang dia datangi si penerima selalu ada, hanya saja yang menjadi hambatan ialah kebanyakan orang sedang sibuk dengan urusan pagi.

Melihat hidupnya yang monoton, sering kali membuat Gerry berpikir untuk melakukan apa lagi dalam hidupnya supaya dirinya tidak terjebak zona nyaman terlalu lama. Mimpi buruk kembali menghantui tatkala empat hari lalu dirinya tersebar ke publik akibat kejadian itu. Alhasil, Gerry berkunjung ke stasiun radio di ujung jalan, menemui teman lama sekaligus mencari jalan keluar dari semua masalahnya.

"Lihat siapa yang datang!" sapa pria berkacamata dengan tangan terbentang.

Gerry tersenyum dan menerima pelukan sang teman. Ditepuknya punggung pria berkacamata itu. "Bagaimana kabarmu, Wilson?"

"Sangat baik," jawab Wilson sambil melepas pelukan, senyumnya tidak pudar malah melebar. "Kau tahu?"

"Tahu apa?" Dahi Gerry mengerut.

"Seminggu lalu, istriku melahirkan," ucap Wilson dengan senyum yang tidak bisa ditahan.

"Astaga." Respons Gerry bagai tersambar petir di siang bolong. "Jadi, dia yang ketiga?"

Wilson mengangguk cepat. Gerry memeluknya lagi dan bisa dia rasakan pria berkacamata itu membalasnya lebih dari erat.

"Ah, air mata ini selalu keluar saat aku membicarakannya," ucap Wilson pada diri sendiri.

"Selamat, kawan. Aku turut berbahagia," sahut Gerry.

Wilson menyeka air mata. "Tentu saja! Kau juga akan turut berbahagia malam ini." Melihat dahi Gerry berkerut lagi, dia melanjutkan, "Kebetulan kau ke sini, jadi aku undang kau ke rumahku."

"Untuk apa? Rasanya tidak perlu, biarkan istrimu beristirahat. Dia tidak boleh lelah untuk merawat bayinya," nasihat Gerry.

"Ah, kau tidak tahu. Istriku cukup sehari beristirahat, setelahnya dia masak-masak lagi!" seru Wilson bangga. "Ayolah, tidak bagus menolak rezeki orang."

"Baiklah, jika kau memaksa," balas Gerry akhirnya.

Malam harinya, Gerry menaiki sepeda motor untuk pergi ke rumah Wilson yang hanya berjarak dua blok. Motornya lalu diberhentikan di depan bangunan sedang yang terletak di ujung jalan, berjejer dengan bangunan-bangunan besar di samping kanannya. Tiba di teras, Gerry dapat mendengar suara-suara kebahagiaan dari dalam. Suara yang berharap ada di dalam keluarganya.

Namun, sampai kapanpun tidak akan pernah dia dapatkan hingga kata pengkhianat lepas dari dirinya.

"Gerry, kau tidak apa-apa?"

Gerry langsung terperanjat karena diselimuti lamunan terlalu dalam. Dia mengerjap dan buru-buru menjawab, "Selamat malam, Wilson."

Wilson melihat ketidakberesan yang tersirat dari wajah Gerry, tapi buru-buru dia lupakan. "Masuklah."

Gerry tersenyum tipis, lalu melangkah masuk setelah merasakan angin malam mulai menusuk kulit. Kehangatan menyambutnya selepas pintu ditutup. Lampu yang menyala di setiap ruangan, suara celotehan anak kecil, dan beberapa pajang foto keluarga harmonis; menjadi awal perhatian ketika memasuki bangunan ini. Wilson meninggalkan Gerry sebentar untuk memanggil sang istri. Sambil menunggu, pria itu melihat foto-foto di dinding dan di atas lemari pajangan. Alunan nada lembut dari piano di ruangan lain memainkan hatinya.

DenouementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang