Quirin menghentikan larinya, dia membungkuk dengan kedua tangan di lutut kemudian mengatur napas. Beberapa detik setelahnya, wanita rambut hitam itu datang, pun melakukan apa yang tuannya lakukan. Wanita itu menatap Quirin, hatinya membuat dugaan akan ada emosi meluap setelah pria itu selesai dengan urusan mengatur napasnya, setelah mengartikan sorot kedua matanya. Keduanya sama-sama diam. Wanita itu lebih bungkam ketika Quirin mulai menegakkan badan.
"Kau tahu? Kau tahu apa yang harus kita lakukan kalau sudah seperti ini?" Quirin menekankan.
Wanita itu menggeleng tegas.
Quirin mendecak. "Sama saja." Lalu dia mendesah. "Aku ingin kabur dari sini, dari kota ini, bagaimanapun caranya. Sophia, aku ingin jetku tiba dalam satu jam! Aku ingin keamanan menjaga ketat, hubungi pasukan yang bisa membawaku diam-diam ke hangar. Cepat lakukan!"
Wanita rambut hitam itu, Sophia, hanya mengangguk. Padahal dalam hatinya berkata, dia bahkan tidak tahu bagaimana cara menghubungi semua koneksi itu, sementara dirinya berada di lorong bawah tanah tanpa alat komunikasi. Dia ini menyuruh, tapi tidak berpikir, batinnya.
"Sophia, kau tahu ke mana jalan keluar dari sini selain jalan utama? Aku yakin, orang-orang sialan itu menunggu di jalan utama," kata Quirin.
Ck, jalan keluarnya saja tidak tahu. Sophia pun mengingat-ingat. "Kita bisa keluar lewat lift menuju kebun bunga."
Wajah Quirin langsung berseri. "Tepat sekali! Bagaimana bisa aku melupakan itu."
Tanpa mengajak Sophia, dia segera berlari menuju lorong yang mengarah ke lift kebun bunga.
Di atas sana, Spratt dan tim polisi menghentikan gerakan mereka karena alat komunikasi yang tiba-tiba tidak bisa terhubung. Sang agen mendongak, mengamati setiap inci ruangan yang sedang dipijaknya. Bukan ruang penting, tidak ada yang aneh, semua terlihat normal karena ruangan itu hanya sebuah ruangan kosong seperti halnya aula kecil.
"Gangguan dari mana ini," rutuk Spratt sambil terus mengotak-atik alat komunikasi. "Apa di antara kalian ada yang berhasil terhubung?"
Sang kapten menjawab, "Sedikit, Agen. Masih putus-putus."
"Coba kau keluar dari sini, periksa sambungannya," ucap Spratt.
"Baik, Agen." Sang kapten pun segera keluar ruangan.
Namun, ternyata hasilnya sama saja. Sang kapten di luar ruangan pun masih belum mendapat sambungan yang baik. Spratt langsung membuat dugaan adanya taktik dari pihak Quirin untuk mengunci semua sinyal, atau bahkan dari intelijennya sendiri. Gawat bila selama ini FBI ternyata disusupi, batinnya.
Saat sang kapten kembali, Spratt berbicara. "Kita lanjut saja. Nanti juga pasti tersambung."
"Baik, Agen," balas tim polisi itu dengan kompak.
Spratt dan tim bergerak kembali, menuju pintu belakang ruangan yang mirip seperti aula kecil itu. Rupanya, pintu tersebut mengarah ke luar. Mereka melangkah lagi dengan hati-hati. Suara tembakan masih ramai terdengar di depan sana. Tempat yang kini dipijak sang agen dan tim polisi adalah sebuah taman, yang bahkan terlalu luas untuk disebut taman. Mungkin lebih pas dengan sebutan hutan, selain punya banyak semak-semak juga banyak pepohonan rindang.
Tempat itu jelas sejuk, lebih teduh, sedikit cahaya matahari masuk. Namun, banyaknya semak-semak secara tidak langsung membuat Spratt dan tim meningkatkan kewaspadaan mereka. Bagaimana jika sebuah peluru keluar dari balik semak-semak, kemudian mengenai salah satu dari mereka. Jelas buruk.
Ya. Kelar dugaan itu, benar saja datang tembakan dari arah belakang. Beruntung peluru tersebut melesat jauh ke depan sana.
"Berlindung!" seru Spratt.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denouement
ActionSuatu pagi, si tetangga bercerita kepada Celsea bahwa dia mempunyai sahabat pena dari Korea. Hal itu membuat Celsea penasaran seperti apa rasanya memiliki sahabat pena sehingga mencobalah dirinya membuat surat untuk seseorang yang didapatkannya dari...