Bab 5

89 51 79
                                    

"Kau tidak apa-apa?" Pria di pintu berlari mendekati Celsea sambil menyimpan senjatanya ke balik badan.

Celsea masih mematung, tangannya yang luka disentuh pria itu pun dia diam saja. Padahal jika sadar, sentuhan itu pasti menimbulkan sakit yang luar biasa. Namun sepertinya, Celsea cepat mencair. Selepas mengerjap, dia menarik tangannya dari sentuhan pria itu. Ekspresinya semula penuh ketakutan, kini berganti dengan kemarahan. Bukan atas apa yang terjadi, tapi karena sosok di hadapan.

"Pergi!" gertak Celsea. Hampir saja dia menghantam kepala pria itu.

Meresponsnya, pria itu bersikap biasa. Malah menggeleng sambil berdecak pelan. "Tidak ada waktu untuk bertengkar, ayo kita pergi dari sini."

Belum sempat Celsea ingin menyerang dengan kata-kata, pria itu sudah menariknya berdiri. Sebelum melangkah keluar kamar, pria itu menyambar ponsel Celsea di meja dan memasukkannya ke saku. Dia kembali menarik Celsea sampai ke mobil, tidak peduli terhadap berontakan yang diberikan gadis itu. Barulah di mobil gadis itu terdiam, tapi diamnya karena melihat barang-barang di kursi depan.

Tepatnya, ke sebuah foto cetak, zaman di mana ibunya masih berkencan dengan pria itu. Jujur saja, Celsea tahu dan ingat ibunya pernah menunjukkan foto serupa.

Gadis itu berdecak. "Foto itu?"

"Apa maksudmu," balas Gerry, entah pura-pura atau benar tidak tahu maksud ucapan gadis itu.

"Sudahlah," elak Celsea malas. Namun, dia merasa tertagih oleh donatnya. "Aku lapar."

"Lapar makan, bukan marah," sahut Gerry. Hendak Celsea membuka mulut, ucapannya mengalir lebih dulu. "Tidak, ini tidak boleh disentuh."

Celsea mengeraskan rahang, menatap wajah Gerry dari kaca spion dengan berang. "Kalau begitu untuk apa dibeli!"

Setelah 4 kilometer
"Sialan. Berhenti!" seru Celsea frustrasi. "Kau mau membawaku ke mana? Aku ingin pulang! Ibuku dan Sammy pasti akan mencariku!"

Gerry langsung menginjak pedal rem, ban berdecit seiring arah mobil yang menepi cepat. Karena hal itu, Celsea terantuk ke kursi depan. Marahnya kian memuncak--bak magma hendak menyembur--gadis itu menggeram kencang dan menggebrak punggung kursi depan, kemudian melompat keluar; melampiaskan kemarahan pada rerumputan yang tidak bersalah. Melihatnya, Gerry hanya melipat tangan di dada sambil bersandar di pintu mobil. Rumput diinjak-injak dan erangan tidak jelas, menjadi tontonan pria itu selama beberapa menit.

Kemarahan itu sampai melupakan Celsea akan sakit pada luka sobeknya.

"Sudah selesai?" Gerry menyalakan ponsel ketika gadis itu menghampiri. "Enam menit, well ...."

"Aku ingin ke Ib--argh!" Celsea menarik kembali tangan terlukanya yang tengah menunjuk Gerry. Ringisan bercampur kesal, melihat darah segar mengalir dari lapisan kulit yang sudah menganga. "Bisakah kau tidak diam saja? Lakukan sesuatu untuk tanganku!"

"Aku sudah melakukannya sejak tadi, jika ...." Gerry menjeda, tatapannya menusuk gadis itu.

"Jika apa?" tanya Celsea tidak sabar.

Gerry memalingkan wajah, memandang jalanan yang sepi. "Jika saja kau sedetik tidak marah."

"Suka-suka! Memang tidak boleh marah?!" Celsea membela diri. "Satu hal lagi, kau tidak tahu apa yang baru saja kulewati. Camkan!"

"Marah boleh saja, tapi tetap kendalikan. Jangan sampai kemarahan yang mengendalikan dirimu," sahut Gerry sambil menatap gadis itu kembali.

Celsea memberinya ekspresi sewot. "Ceramahmu, tidak berguna bagiku."

Gerry tidak mengindahkan, dia sibuk membuka pintu di belakangnya yang membuat Celsea melangkah mundur. Sapu tangan di genggaman menimbulkan kerutan di dahi gadis itu, tanpa membuang waktu Gerry melilitkan kain tersebut pada luka Celsea. Gadis itu menjerit, hendak menarik tangan kalau Gerry tidak saja menahannya untuk tetap diam.

DenouementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang