Bab 3

107 52 71
                                    

Sejak 15 menit lalu sang teman meninggalkan rumah, dirinya tidak beranjak dari kursi di ruang tengah. Pikiran dan hatinya tengah bergelut, saling menguatkan pandangan masing-masing untuk membujuk tuan mereka. Pria itu sampai keheranan sendiri mendapati sikapnya yang mendadak seperti seorang remaja labil, selepas kepergian sang teman. Padahal sebelumnya, rencana--yang kini tengah digeluti keputusannya oleh pikiran dan hati--sudah betul-betul matang akan dia jalankan.

Pria itu pun memutuskan untuk membuka ponsel. Namun, melihat jam yang terpampang di layar depan, dia jadi sadar kalau lima menit lagi temannya akan pulang. Sehingga dia berpikir sekali lagi, sampai akhirnya mengikuti kata hati. Tidak peduli oleh teguran dari pikiran; tersangka yang membuat dirinya banyak menunda waktu.

Topi baseball di atas meja, dia sambar kemudian dipakaikan ke kepala. Ponsel di tangan, dia masukkan ke saku jas. Sebelum melangkah, pria itu membetulkan jas panjangnya untuk menambah kenyamanan. Lalu terdengarlah dering pesan masuk yang membuat pria itu mengeluarkan kembali ponselnya.

Nomor Rahasia
Tiga menit lagi dia akan datang! Kenapa kau lama sekali?

Segera saja pria itu melempar ponsel ke saku--tanpa membalas terlebih dulu, kemudian melangkah cepat ke ruangan lain. Dia berhenti di depan pintu kayu di ruang belakang rumah, dekat halaman, di mana ruangannya terbilang memiliki posisi terisolasi. Gagang pintu perlahan memutar, pintu terbuka langsung menampilkan ruangan dengan minim cahaya yang dipenuhi rak buku.

Dia berlari ke sudut ruangan, ke sebuah meja dengan lentera modern di atasnya. Di lubuk hati, pria itu sibuk merutuki perbuatannya. Jika saja dirinya bisa bertindak lebih cepat, maka salinan sempat dibuat.

"Gibran! Apa yang kau pikirkan?"

Suara itu benar-benar menginterupsinya. Ketahuan sudah. Gibran terpaksa berbalik badan setelah beberapa saat mematung, menatap temannya yang sudah berdiri tegas di ambang pintu. Sorot matanya tajam, jelas saja sang teman tidak menyukai Gibran mencampuri urusannya tanpa seizinnya.

"Richard, dengar--"

Menyadari perpindahan arah sorot mata sang teman, Richard berbalik badan. Dia melompat ke samping, menghindari orang tidak dikenal yang hendak menghantam vas bunga ke kepalanya. Vas jatuh ke lantai, sebagai ganti orang itu langsung menerjang Richard. Di saat terjadi pergulatan di luar ruangan, tidak ada pilihan lain bagi Gibran untuk mengambil kertas dari meja; tanpa salinan, seolah Gibran memang bertujuan menghilangkan bukti.

Suara tembakan membuat Gibran terlonjak kaget. Respons dia menoleh ke pintu, menatap pria bersyal hijau sudah terkapar dengan luka di dada. Gibran lalu menatap Richard yang tengah berdiri sambil menatap pria bersyal itu dengan pistol di tangan. Tidak perlu menunggu Richard untuk mengadang dirinya, Gibran melompat ke luar jendela.

"Gibran!" panggil Richard gusar. "Perhatian! Kode 1-7, Agen Gibran berkhianat. Aku butuh tim pengintai dan penembak jitu."

Sepuluh kilometer dari sana
Gibran mengembus lega. Setelah melewati menit-menit sulit, dirinya tiba juga di sebuah tujuan. Tujuan yang termasuk akhir rencana. Gibran lalu memandang lama tangan kiri, di mana tergenggam kertas yang dia ambil dari hasil kerja keras teman sendiri, sebelum melangkah melewati pagar tinggi dan beberapa keamanan serius di baliknya. Pasang mata dari balik kacamata hitam langsung tertuju ke arahnya ketika dia berjalan menuju bangunan besar nan mewah.

Gibran tidaklah datang untuk masuk ke dalam mansion yang terletak di tengah-tengah halaman besar itu, melainkan ke tempat yang sudah dijanjikan si tuan rumah. Meskipun di luar pengawasan penjaga, tapi akan lebih baik daripada terdapat penjaga yang berkeliaran yang mungkin saja akan mengetahui perjanjian mereka. Ke sanalah langkah Gibran, menuju gua kecil yang tersembunyi di balik semak belukar.

DenouementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang