Bab 35

54 26 51
                                    

Untuk putriku,
Celsea.

Aku tidak tahu harus memulai dari mana dan bagaimana cara menyampaikannya. Jadi, kupikir dengan menulis kata-kata ini kau bisa mengerti. Kuharap begitu.

Yang pasti, hal pertama yang ingin kusampaikan adalah permintaan maaf. Maaf sekali, aku tidak pernah bisa menyempatkan waktu bersamamu. Aku terlalu sibuk dengan dunia luar, mengabaikan dirimu melewati hari-hari tanpa sesosok ayah. Benar ucapanmu, aku gagal menjadi ayah yang baik, bahkan pria yang baik. Saat tadi kita berjumpa, aku dapat merasakan kemarahan begitu besar dalam dirimu, dan aku memakluminya. Karena, memang pantas aku mendapat hal itu.

Seandainya kau tahu di sini ada hati yang masih mencintaimu, ada rasa yang masih menyayangimu. Kaulah yang membuatku dapat terus bertahan hidup apapun rintangannya. Aku selalu pulang dengan selamat, bertemu kembali dengan belahan jiwaku, semua itu berkat kau. Berkat sosokmu yang selalu kuhadirkan dalam ingatan.

Sosok malaikat kecil yang tidak pernah hilang dalam kepala, tapi sekarang aku sudah melihatmu tumbuh menjadi gadis belia. Berjanjilah padaku bahwa kau akan menjadi gadis baik. Jaga ibu dan adikmu. Jangan sia-siakan waktu, sayangi mereka selagi ada. Merekalah sosok yang akan ada menemani hari-hari esok, mendukungmu di saat susah dan senang.

Satu hal lagi yang aku ingin kau tahu adalah bahwa ucapanku yang kerap membuatmu marah, itu sebenarnya upayaku untuk mengetahui apa Celsea yang kukenal tetap ada. Dan aku tahu, Celsea-ku masih ada di dalam sana, di balik semua kemarahan yang berusaha kau buat. Semoga lagu Only Happy When It Rains tadi bisa jadi awal kebangkitan dirimu yang dulu, ya, haha.

Well, setelah semua ini selesai, semoga kau tidak keberatan untuk memanggilku "ayah" :) Aku benar-benar mengharapkan panggilan seperti itu keluar dari mulutmu.

Branson, 13 Juni,
Gerry.

Celsea menutup kedua mata, menjatuhkan air mata membasahi pipi, dan berakhir di atas kertas berisi curahan Gerry. Seribu penyesalan langsung menghantui perasaan. Berkali-kali hatinya mengatakan bahwa Celsea adalah gadis bodoh, gadis kekanak-kanakan yang tidak paham situasi. Namun, apapun penyesalannya, tidak akan berarti sekarang. Tidak jika Celsea menyadari sejak jauh hari.

Celsea menunduk, menahan kepala dengan kedua tangan. Otaknya berputar, menyerap kata-kata yang Gerry tulis. Jika diperhatikan lebih dalam, Gerry sudah mengetahui apa yang akan terjadi, padahal itu masih di luar jangkauan siapapun. Gerry bukan cenayang, tapi dengan tahunya hal itu pasti dia memiliki pandangan lain. Atau, dia sudah punya firasat.

Suara ketukan di pintu menghentikan tangis Celsea, pun membuyarkan segala macam pikiran di kepala. Gadis itu mengusap air mata, sebelum berjalan ke pintu. Betapa terkejutnya dia melihat sosok gadis yang berdiri di depan pintu. Dia memakai gaun hitam dengan rambut dikucir kuda.

"Kak Celsea," sapa gadis itu, senyum merekah di bibir tipisnya.

Butuh beberapa saat bagi Celsea untuk menyadari bahwa gadis di hadapan benar-benar keluarganya. Namun, tidak salah bahwa sosoknya itu adalah anak dari adik sang ayah. Celsea belum mengucapkan apa-apa, tapi gadis itu sudah menariknya ke dalam pelukan. Celsea membalas dengan mata menerawang ke langit-langit.

"Siapa lagi yang ke sini?" tanya Celsea to the point.

Gadis itu melepas pelukan. "Hanya aku, ibu, dan ayah."

Celsea mengangguk, kemudian tersenyum tipis. "Lama tidak jumpa, Mikaila."

Setelah bertemu sang sepupu, Celsea memutuskan turun ke bawah. Dia cukup tertegun melihat lantai bawah sudah sepi. Orang-orang berpakaian serba hitam yang masih di dalam rumah tidak jauh dari Mikaila beserta kedua orangtua. Siapapun itu, FBI maupun kepolisian, sudah meninggalkan rumah tanpa jejak. Sejujurnya, Celsea merasa kecewa. Terlebih hati mengatakan, perpisahan ini tidak seharusnya berakhir begitu saja.

DenouementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang