Bab 29

50 26 31
                                    

FBI dan polisi berhasil meramaikan rumahnya, kesibukan para penjaga kini sudah terfokus ke arah mereka, maka menjadi kesempatan besar bagi Axelle untuk menyelamatkan Sammy.

Sekarang, lelaki itu sedang bersandar di dinding samping pintu perpustakaan yang sedikit menjorok keluar; cukup baginya untuk bersembunyi sambil tahu kapan penjaga di dalam sana akan keluar membantu rekannya yang sedang melawan. Sudah delapan menit Axelle berdiri di sana, tapi tidak ada suara-suara yang menandakan bahwa penjaga akan keluar ruangan.

"Lama seka--"

Axelle langsung mengatup bibir ketika mendengar pintu perpustakaan terbuka, setelahnya disusul suara langkah yang mana sosok itu justru tidak lewat ke hadapannya. Axelle mengintip, dua penjaga keluar dan ternyata berjalan menjauhi posisinya. Segera saja dia berlari masuk ke dalam sebelum pintu menutup kembali.

Tiba di dalam, maka yang harus dipersiapkan adalah pendengaran tajam dan firasat yang tepat. Keberadaan Sammy tidak akan ditemukan dalam waktu cepat di dalam perpustakaan besar ini jika tidak mengandalkan dua hal itu. Axelle mengatur napas baik-baik, dia akan menganggap dirinya tengah bermain di labirin.

Axelle berjalan ke ruang pertama di sebelah kanan, melangkah menuju belakang rak. Namun, langkahnya terhenti tatkala terdengar suara dua orang bercakap. Dalam situasi jantung berdetak cepat, Axelle buru-buru berbalik. Dia berjalan cepat sampai ke bagian depan rak, bersembunyi untuk mengintip di mana keberadaan dua orang itu. Namun, ketika mengintip dia langsung menarik badan ke belakang. Jantungnya dipicu lagi lebih kencang saat mendapati dua penjaga justru melewati lorong rak yang akan dilaluinya. Beruntung dua penjaga itu sibuk berbincang satu sama lain.

Kembali ke langkah pertama, Axelle memasuki lagi lorong rak, berlari hingga ke belakang dan berhenti untuk mengintip. Penjaga itu mulai berbelok ke kiri, Axelle melangkah sambil berhenti di setiap simpangnya untuk melihat keadaan. Memasuki ruang ketiga, terdapat tangga yang mengarah ke atas. Axelle ragu, apakah dia harus menaiki tangga itu atau nanti pada tangga di ruang terakhir. Akhirnya, dia memilih untuk naik di tangga ruang terakhir. Axelle kembali melangkah dalam senyap, masuk ke ruang keempat lagi-lagi dirinya dikejutkan dengan sosok binatang. Namun, kali ini hidup.

Sosok itu adalah anjing Golden Retriever-nya, yang dinamakan Pussy. Terdengar agak aneh memang. Axelle bernapas lega karena anjing itu sedang tidur, tapi bagaimanapun dia harus tenang supaya Pussy tetap tertidur. Justru berkata lain, anjing itu terbangun. Matanya menyorot tajam dan waspada ke arah depan. Namun, tidak berapa lama dia menjatuhkan lagi kepalanya setelah tidak mendapat apapun. Karena, Axelle berhasil bergerak lebih cepat dan menghentikan langkah di balik rak.

"Hampir saja," gumamnya kemudian berlari ke ruangan seberang.

Tepat satu lantai di bawah ruang perpustakaan, Celsea dan Hudson kembali bergerak setelah kewalahan menghadapi pria bersenjata palu.

"Bagaimana alat itu bisa terlepas dari telingamu?" tanya Celsea.

Hudson menoleh sejenak, kemudian mengangkat kedua bahu. "Omong-omong, tindakanmu itu berani."

Celsea menahan diri agar tidak tersenyum. "Terima kasih."

"Seharusnya, kau tidak perlu bersusah payah. Gunakan saja pistol, kau memilikinya," ucap Hudson, yang lebih terdengar anjuran.

"Maaf, tapi tidak. Ucapan Gerry masih terngiang di pikiranku," tolak halus gadis itu.

"Bagaimana kalau keadaannya mendesak?" tanya sang agen.

"Kau Agen FBI, aku berlindung saja kepadamu. Tidak sulit." Celsea tersenyum kecut.

Astaga, maksa sekali dia. Seperti Gerry. Benar-benar pria rambut pirang sialan, batinnya.

DenouementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang