Jangan jadi silent readers!
Happy reading
__Satu persatu acara malam ini telah terlewati, kini tinggal pucak acara yakni renungan suci yang akan dipimpin langsung oleh pak Imam. Gilang kembali ke tempat duduk setelah memberikan microfon pada pak Imam.
Semuanya terdiam, sunyi, senyap hanya ada suara jangkrik yang terdengar."Astagfirullah," ucap pak Imam tiba-tiba membuat sebagian siswa dan siswi terkejut. Bukan karena ada setan atau hal semacamnya tapi pak Imam sedang beristigfar sebelum memulai acara.
Acara dimulai dengan pembacaan bassmalah, pak Imam meminta seluruh siswa-siswi untuk memejamkan mata, mengingat kembali dosa-dosa yang pernah diperbuat. Baik dosa terhadap orangtua maupun kepada orang lain. Renungkanlah! Sudahkah meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang lalu?
"Ibu dan Ayah, dua orang yang senantiasa menemani kita dikala susah maupun senang, bahkan mereka mengusahakan apapun agar kita selalu senang! Sadar tidakkah kita? Ibu yang telah mengandung kita selama 9 bulan, membawa kita kemana-mana dengan perut buncitnya. Ibu... Orang yang telah mengorbankan nyawanya demi melahirkan kita ke dunia, bahkan jika diberi pilihan oleh tuhan antara menyelamatkan nyawanya atau nyawa bayinya, saya sangat yakin, Ibu akan memilih menyelamatkan nyawa bayinya daripada nyawanya sendiri. Tapi, apa yang sudah kita berikan kepada Ibu? Apa? Bahkan kita hanya melihat penderitaan beliau, melawan ucapannya, mencaci makinya, mengacuhkannya?!" tutur pak Imam pelan.
Gilang menundukkan kepalanya, bulu romanya seakan berdiri. Semua yang menyangkut tentang Ibu dan Ayah adalah hal paling sensitif baginya.
"Apakah pernah terfikir dibenak kita untuk memeluknya? Apakah pernah terfikir dibenak kita untuk membuat mereka tersenyum? APAKAH TERFIKIR DIBENAK KITA UNTUK BERLUTUT MENCIUM KAKINYA, MEMOHON MAAF YANG SEBESAR-BESARNYA ATAS KESALAHAN KITA" Pak Imam berucap sedikit berteriak.
"BAYANGKAN, RENUNGKANLAH! Mungkin saat ini beliau masih ada, masih sehat walafiat. Tapi, perhatikanlah baik-baik rambut orang tua kita yang semakin hari semakin memutih, kulit orangtua kita yang semakin berkerut karena termakan usia. Masihkah kita belum sadar?"
Ica menangis sesegukan memeluk Santi, hatinya tersentil. Ia bahkan lupa memohon maaf pada Mama dan Papanya.
Suasana semakin haru, banyak siswa-siswi yang menangis merenungi kesalahan yang mereka perbuat pada orangtuanya."INGATLAH! Tidak ada yang menjamin Ibu dan Ayah kita bisa menemani kita hingga sukses atau bahkan setelah kegiatan ini. Mungkin tadi sebelum kita berangkat, kita masih bisa melihat senyum orang tua kita, masih bisa bercanda dan tertawa meskipun mereka telah tua, keriput dan beruban. Sekarang kita bayangkan! Saat kita pulang ke rumah, ada banyak sekali orang-orang berdatangan. Disana, ditengah-tengah kerumunan orang-orang yang membaca yasin, ada sesosok laki-laki yang terbujur kaku ditutup kain jarik. Laki-laki itu adalah orang yang biasa kalian panggil Ayah, Papa, Bapak."
"Ayah yang rela menghabiskan tenaganya untuk membiaya kita namun sering kita lupakan! Ayah yang rela banting tulang agar kita bisa makan, agar kita layak sama seperti orang-orang. Bahkan seringkli kita mengabaikan perintah-perintahnya. Sekarang, Laki-laki itu telah pergi meninggalkan kita. Kita tidak bisa melihat senyumnya lagi, bahkan suaranya."
Gilang mengusap sudut matanya yang basah, hatinya bergejolak.
"Masihkah kita ingin menyakiti hati mereka? Membuat mereka menangis karena tingkah laku kita? Mungkin saat ini kita sedang bahagia bersama teman-teman, tapi pernahkah terpikir, apakah orangtua kita disana juga bahagia? Astagfirullahaladzim. Marilah kita sama-sama berdoa kepada penguasa langit dan bumi, agar orangtua kita senantiasa dalam lindungannya, Rabbana atina fii dunya khasanah, wakina adza bannar."
"Amiin!"
Pak Imam menutup acara dengan mengucapkan salam, Gilang beranjak mengambil alih microfon. Acara terakhir adalah pembacaan Doa yang akan dipimpin oleh Jamal. Setelah selesai berdoa, Gilang menatap seluruh siswa dan siswi.
"Anjir gue nangis," celetuk Doni mengusap sudut matanya.
"Sedih, bego!" sahut Feby yang duduk disebelah Doni. Anggota osis memang bergabung tidak terpisah seperti adik-adik kelas 10.
Gilang menggelengkan kepalanya tak habis pikir terhadap Doni, ia memandang lurus kebarisan perempuan. Mencari keberadaan Ica, Apakah Ica juga menangis seperti yang lain? Matanya menangkap sesosok gadis mungil yang sedang bersandar pada temannya. Tubuh gadis itu terlihat bergetar, Gilang dengan sigap membagikan kardus berisi air minum kepada seluruh siswa-siswi agar perasaannya menjadi lebih baik.
"Baiklah, selesai sudah acara pada malam hari ini. Sekarang waktunya untuk kita shering-shering atau ada yang ingin menyumbangkan sebuah lagu. Kita ada gitar." Gilang meminta anggota osis untuk mengambil gitar di dalam tenda.
"Atau kita buat permainan saja, yang kalah bisa unjuk kebolehan didepan."
"Boleh tau permainanya apa kak?" tanya salah satu Laki-laki perwakilan kelompok.
Gilang menjelaskan permainan apa yang akan mereka mainkan, permainan ini sudah sering dimainkan oleh beberapa orang, memindahkan karet, judul permainannya. Gilang meminta setiap perwakilan kelompok lima orang, mereka diminta untuk berbaris berjajar sambil memegang sedotan menggunakan mulut. Anggota osis menaruh karet gelang disedotan peserta paling depan, kemudian dipindahkan hingga ke peserta paling akhir. Kelompok mana lebih cepat menyelesaikan tantangan, dialah pemenang.
Sorak ramai saling menyemangati dari setiap kelompok kian terdengar. Malam yang seharusnya digunakan untuk beristirahat kini menjadi ajang unjuk kebolehan bagi kelompok yang kalah.
__
Matahari mengintip malu-malu dari arah timur, embun tebal menghalangi jarak pandang sekitar. Udara dingin kian menambah kemalasan orang-orang untuk bangun dari balik selimut. Tapi tidak untuk siswa-siswi SMA Pelita, mereka semua sudah bangun sejak shubuh untuk melakukan sholat berjamaah.
Gilang baru saja selesai mandi, ia menggunakan jaket osis dan celana training. Pagi ini mereka akan melakukan senam sehat terlebih dahulu sebelum sarapan. Speaker outdoor sudah tersedia dan siap dipakai.
Gilang meminta seluruh siswa-siswi untuk berkumpul membentuk barisan berjarak, karena senam sebentar lagi akan dimulai. Ia berjalan menghampiri Doni dan yang lain.
"Gue ke toilet bentar, lo urus ini semua!" ujar Gilang berlalu.
Doni mengacungkan jempolnya, masalah mengurus senam tidak terlalu susah, ia bisa melakukannya.
Gilang keluar dari toilet setelah selesai buang air kecil. Ponselnya berdering, nama Ibunya terpampang dilayar.
"Halo Bu?" sapa Gilang.
"Nak... Hiks... "
"Ibu kenapa? Ada apa?" tanya Gilang panik.
"Ayah nak... Ayah kecelakaan," ucap Mia terisak dari seberang.
"Sekarang ayah dimana? Gimana kondisinya bu?" balas Gilang serak, suaranya seakan tertahan.
"Ayah dirumah sakit, hiks... Ibu belum tau Lang."
"Gilang kesana sekarang!" sahut Gilang cepat. Ia melangkah menghampiri Doni untuk izin pulang lebih dulu. Gilang bergegas mengambil ransel lalu berlari keluar dari lokasi untuk mencari angkutan kota atau taksi.
Kilasan-kilasan bersama Ayahnya terlintas dipikiran Gilang, dadanya terasa sesak. Ia teringat ucapan pak Imam semalam, jangan ya allah, jangan sampai, batin Gilang.
_____
Vote guys
KAMU SEDANG MEMBACA
GILANG FALLS [COMPLETED]✔️
Teen Fiction"Kangeeen." Gilang mencium wangi shampo disetiap helai rambut Ica. "Sama ... Ica juga kangeen." __ Gadis itu hadir ditengah hidup Gilang yang monoton. Datang membawa sejuta warna menghiasi harinya dengan bermacam tingkah laku yang unik. Gilang hanyu...