Sembilan

4.7K 570 37
                                    

Aku kembali meraba pipiku, rasa hangatnya masih terasa. Rasanya otakku mulai bermasalah, atau aku menikmatinya? Kenapa jantungku baru berdebar kencang sekarang?

Ketukan pintu dan suara abang terdengar.

"Dek? Udah tidur kamu?"

"Belum Bang, masuk aja." Aku membenarkan posisi selimut.

Karena sudah terlalu payah, Abang tadi langsung membawaku ke rumah sakit sebelum pulang ke rumah. Mendapatkan kembali suntikan agar rasa mual dan sakit di lambungku berkurang. Setidaknya Ibu gak akan terlalu khawatir.

Mataku mengikuti tubuh Abang yang mendekat. Lalu duduk di sisi ranjangku.

"Makan apa tadi emang?"

"Ramen. Sebenernya emang udah gak enak dari kemarin. Tapi aku pikir makan pedes bisa ngilangin mual kayak biasanya, tapi ternyata gak."

"Di tempat kerja lagi banyak deadline?"

"Ngga kok, gak sibuk aku seminggu ini." Jawabku cepat. Tahu dengan pasti maksud Abang melayangkan tanya seperti itu.

"Terus kenapa bisa begini? Kamu mikirin apa?" Nah, benarkan apa kataku.

"Gak kok Bang." mataku memandang kearah lain, berusaha menghindari tatapan matanya yang lurus ke ararku dan juga karena perasaan gugup mulai menjalari benakku.

"Abang udah kenal kamu 25 tahun Dek."

"Aku masih 24 Bang. Baru nambah beberapa bulan lalu." Aku mengembalikan pandangan kearahnya.

"25 dihitungan Abang, kan waktu kamu masih di perut Ibu, Abang udah ajak kenalan." Jawaban abang membuat aku tertawa kencang.

"Iya Abang doang yang kenal aku lebih lama dari pada orang-orang." Abang menyuruhku menggeser tubuh, lalu ikut membaringkan tubuhnya di sebelahku.

"Cowok tadi siapa? Pacar kamu?"

"Bukan Abang." Aku menghadapnya dan merapatkan kepalaku ke dadanya yang langsung mendapatkan elusan sayang di rambutku.

"Abang juga liat dia waktu jemput kamu di Mall. Dia liatin Abang kaya mau ngajak tengkar."

"Mana Adek tau. Kenapa gak abang tanya langsung?"

"Gak sempet, Abang udah keburu kaget liat kamu tadi." Aku bergeming. Hanya membiarkan perasaanku lebih tenang setelah merasakan elusan lembutnya di rambutku.

"Harusnya kan Abang udah terbiasa. Itu bukan pertama kalinya aku payah." Ujarku kemudian.

"Dek, kamu sering begitu bukan berarti Abang gak kaget lagi. Abang emang terbiasa, gak terlalu panik ngadepinnya. Tapi kalau kaget itu manusiawi." Aku baru saja berniat untuk menjawab sebelum suara Abang kembali terdengar. "Kalau ternyata dia cowok kamu, kenalin ke Abang dulu. Abang mau ngobrol." Aku mendongakkan kepalaku cepat.

"Kok bisa-bisanya Abang mikir dia pacarku?"

"Kamu lupa kalau abang itu lelaki juga." Ingin menjawab, Abang lagi-lagi kembali menyela. Memintaku untuk cepat tidur. Elusannya berubah menjadi tepukan di punggung. Aku menyamankan posisi dan memejamkan mata. Pelukan Abang dan Ibu selalu bisa membuatku lebih cepat tertidur.

* * * * *

Paginya saat terbangun, rasa mual gak lagi aku rasakan. Tapi Ibu melarangku untuk gak bekerja hari ini. Saat ini aku sibuk berkirim pesan dengan Vinna. Memberitahu pekerjaan yang harus dia selesaikan karena aku tidak bisa hadir. Untungnya beberapa PO sudahku selesaikan kemarin. Tetapi aku belum menyelesaikan jadwal masuk selama WFH, karena Pak Rama belum juga memberitahu kapan akan dimulai.

end | Let Me KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang