"Bapak sama Abang udah berangkat, kamu naik ojol ya Dek?" Aku merapikan blazer yang kupakai sebelum menjawab Ibu. "Udah pesan kok Bu. Kayanya juga udah di depan. Adek berangkat ya Bu. Ibu hati-hati di rumah." Aku mencium punggung tangannya.
"Masak apa ya dek?"
"Bapak atau Abang gak minta Ibu masak sesuatu emang?" Jawabku dengan tangan yang bergerak memasang masker yang sudah kutaruh di kantung blazer.
"Gak. Tadi mereka buru-buru. Bapak aja tumben hari Sabtu bawa motor."
"Abang juga bawa motor? Bawain helm adek gak tadi?" Ibu membukakan pintu untukku, mengikuti langkahku keluar rumah.
"Gak dek, Abang gak bawa helm kamu." Kulihat sudah ada ojol yang berhenti di depan gerbang.
"Masak penyet kayanya enak Bu, sama kangkung Bu. Semoga Adek bisa pulang jam 1 nanti ya."
"Yaudah nanti telepon Ibu aja kalau emang gak bisa pulang jam 1."
"Berangkat ya Bu, assalamualaikum." Aku menerima helm yang di sodorkan dan bergegas naik keatas motor.
Motor lalu mengarah keluar dari gang besar menuju jalan raya. Keuntungan naik motor adalah, aku bisa sampai dengan cepat, karena lebih mudah menyalip diantara mobil kalau naik motor.
Sudah terlewat lebih dari delapan menit, motor berhasil sudah melewati rel kereta api, jalanan juga terlihat senggang, padahal sudah jam 07.56.
"Ini mau lewat luar apa dalem neng?" Bapak ojol membatalkan niatku yang ingin mengeluarkan ponsel.
"Kalau lewat dalam Bapak tau jalannya? Saya cuma tau lewat jalan biasa aja soalnya Pak."
"Kirain saya neng punya jalan dalam."
"Gak Pak, saya taunya jalan biasa aja. Tapi kalau bapak tau jalan lain dan di rasa lebih dekat gak masalah." Aku menaikan volume suaraku agar terdengar sampai depan. Aku hanya melihat kepala Bapak di depanku mengangguk-angguk. Aku menunggu sebentar untuk memastikan jika bapak ini tidak melanjutkan obrolan. Baru setelah itu tanganku membuka resleting tas dan mengeluarkan ponsel. Entah keberuntungan atau kesialan saat mengeluarkannya, justru ponselku berdering nyaring, nama Mas Ursa kembali menghiasi layar.
Aku memilih tombol hijau dan menyelipkannya diantara helm dan telinga. Memastikan telingaku dapat mendengar suaranya dengan jelas.
"Assalamualaikum Taa?"
"Waalaikumsalam, Kenapa mas?"
"Kenapa neng? Kurang denger saya." Aku langsung melirik spion spontan terkekeh. "Saya lagi angkat telepon Pak maaf." Jawabku diantara kekehan salah tingkah.
"Kirain ngomong sama saya mbak, di lanjut mbak. Tapi kalau bisa jangan lama-lama. Bahaya mbak, takutnya di jambret." Aku mengangguk, mata kami bertemu dispion sebelah kiri sebelum aku memfokuskan diri pada sambungan telepon.
"Kenapa mas?" Aku kembali menyapanya, karena gak mendengar suara di seberang sana.
"Kamu di jalan?"
"Iya lagi di motor." Balasku cepat.
"Naik apa? Kenapa gak minta jemput Mas aja Taa?"
"Naik ojol."
Kalimat balasan selanjutnya tak dapat aku dengar dengan sempurna. Hanya pertanyaan sudah di mana yang dapat aku tangkap.
"Aku udah lewat pasar minggu. Udah ya Mas, gak kedengeran juga. Assalamualaikum." Aku langsung menutup panggilan. Jariku dengan cepat membuka grup kantor, memeriksa apa ada pengumuman kantor di liburkan—misalnya atau sesuatu yang penting lainnya. Memastikan tidak ada perubahan, aku menyimpan kembali ponselku ke dalam tas.
KAMU SEDANG MEMBACA
end | Let Me Know
General Fiction"Jadi 'anak' kesayangan itu enak." Kata Taleetha, Leader HRD GA TReasars Grup. Leetha, atau biasanya dipenggal menjadi 'Taa' kembali mempertanyakan keberuntungan yang setiap hari menemaninya, tetapi selalu hilang setiap hari Sabtu. 'Oke, bukan men...