Dua puluh satu

4.6K 492 49
                                    

Leetha masih terbaring diatas ranjang, seluruh tubuhnya terbungkus bed cover berwarna pastel. Suhu di kamarnya juga masih dingin, padahal jam sudah menunjuk pukul 08.10. Dirinya seperti enggan untuk bangun, walaupun sekarang Leetha masih asik bergelung nyaman, si perempuan sudah bangun jam 5 pagi tadi. Menunaikan ibadahnya dan kembali tidur.

Berbanding terbalik dengan suasana kamar Leetha yang berdesing nyaman, di ruang tamu justru berbeda. Ursa duduk disana berdampingan dengan Ayah Leetha dengan wajah serius. Minuman juga sudah tersaji di depan mereka, yang hanya tersisa separuh pada gelas Malik si Ayah Taleetha.

"Seperti yang tadi saya bilang. Saya gak mau Leetha nikah cepat-cepat." Ursa mengangguk memaklumi, setelah mengobrol dengan Malik, Ursa setidaknya memahami apa yang dikhawatirkan Ayah dari gadis yang disayanginya ini.

"Saya tau kamu sudah mapan, sudah siap juga dalam segi usia, tapi bisa beri saya waktu lebih banyak dengan Leetha? Beberapa tahun terakhir saya dan Leetha seperti berjarak." Lanjut Malik, "Tapi saya juga gak bisa menahan kalau ternyata Leetha menginginkan pernikahan ini." Katanya lagi.

"Jadi walaupun begitu, keputusan akhirnya ada di Leetha. Bapak gak melarang kamu mendekati anak Bapak, silahkan." Putus Malik. Ursa lagi-lagi mengangguk mengerti, merasa lega saat mendengar penuturan terakhir Malik. "Yaudah, Bapak jalan dulu udah jam segini." Malik berdiri dari duduknya, Ursa ikut berdiri dan menyalami Malik.

"Bu. Bapak mau berangkat." Ana keluar dari dapurnya, mengantar sang suami sampai pada pintu gerbang, setelah memastikan suaminya sudah pergi, ditutupnya lagi gerbang dan dirinya kembali masuk ke dalam rumah.

"Mau Ibu bangunin aja Sa?" Ana berdiri agak jauh dari Ursa yang masih duduk di tempatnya. "Gakperlu Bu, lagi pulakan jalannya masih beberapa jam lagi." Sahut Ursa yang membuat langkah Ana mendekatinya.

"Kalo tadi perkataan Bapak ada yang menyinggung maklumi ya Ursa. Karena baru kali ini ada yang sampai berani datengin Bapak, biasanya cuma sampai di Randu aja. Tapi lebih banyak keburu capek karna Leethanya gak peka." Ana menambahkan tawa diakhir kalimatnya.

Ursa ikut balas tertawa, "Saya mencoba memahami kekhawatiran Bapak Bu, apalagi Abang Randu juga belum menikah. Jadi wajar kalau Bapak berat untuk memutuskan." Jawabnya.

"Tapi Leetha gak nolak kan?" Ursa menggeleng pelan. "Yang kukuh ya, kalau Ibu lihat Leetha udah terbuka banget sama kamu. Leetha gak pernah seperti itu sama laki-laki lain. Jadi kamu optimis aja ya." Ana menepuk pelan pundak Ursa yang mulai rileks, sejak awal datang ke rumah Leetha pagi tadi, rasanya seluruh badan Ursa membeku. Rasa takut juga sungkan hadir sebelum bertemu Ayah Leetha. Tapi selesai mengobrol, setidaknya ia tau dirinya diberikan kesempatan untuk mendekati Leetha, kalau soal pinangan. Seluruh keputusannya kembali pada Leetha. Setidaknya Ursa sudah melakukan yang memang harus dia lakukan sebagai lelaki jika ingin menyunting seorang wanita sebagai istrinya, yaitu meminta izin kepada orang tuanya.

"Tapi apa bener gak ngerepotin Sa? Ibu gak masalah loh pergi berdua aja sama Leetha." Sambung Ana lagi, kali ini membahasan perjalanan dirinya dan putri satu-satunya.

"Malah saya khawatir Bu, yang saya tau juga Leetha gak pernah pergi jauh sendirian kan Bu. Selalu ada Bang Randu atau kawannya yang temani. Apalagi sekarang perginya sama Ibu juga." Ana menatap haru lelaki dihadapannya ini. Semalam Leetha sudah bercerita padanya juga Randu tentang dirinya yang dibawa bertemu dengan orang tua Ursa. Berbeda dengan Ana yang antusias dan banyak tersenyum senang, Randu malah diam saat mendengarkan cerita Leetha. Hanya Ana yang memberikan komentar di setiap kalimat yang dilontarkan Leetha.

"Makasih banyak ya, Ibu sama Leetha jadi ngerepotin banget." Ana menyerahkan remot tv yang sudah lebih dulu ia nyalakan. "Sambil nunggu Leetha nonton tv aja ya Sa, Ibu mau beres-beresin dapur dulu." Ursa mengangguk dan Ana meninggalkan dirinya di sofa.

end | Let Me KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang