Delapan belas

4.7K 496 105
                                    

"Jangan sambil main hp Taa." Ursa yang berjalan di sebelah kanan Leetha menegurnya.

"Aku lagi tanya Fardan dimana Mas."

"Berhenti dulukan bisa, terus kamu telepon dia." Mendengar jawaban Ursa membuat Leetha berpikir. Lalu tanpa membantah dirinya melakukan apa yang Ursa ucapkan.

"Assalamualaikum?"

"Halo Ana. Udah sampe?" Saat Leetha sedang mendengarkan suara di seberangnya, tangan sebelah kanannya di tarik masuk ke dalam genggaman Ursa lalu menarik tubuhnya agar Leetha berjalan tepat disisi lengan kanannya.

"Aku udah sampe, baru selesai dari masjid. Maaf ya."
"Gak masalah, gue di foodcourt ya Na. Duduk depan hotplate."

"Oh oke, maaf ya sekali lagi."

"Gak masalah, gue sama Lara udah disini ya."

"Uhh aku gak sabar." Pekikan semangat Leetha membuat Ursa mendelik padanya. "Yaudah, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Mereke di foodcourt Mas. Aku gak sabar ketemu Lara." Ursa yang tadinya mendelik sebal, kini memandang Leetha kebingungan.

"Lara?"

"Iya, calonnya Fardan. Aku udah lama banget kan gak ketemu mereka. Seneng banget pas tau mereka masih barengan. Dari SD loh mereka." Ursa menelan ludahnya gusar.

"Maksudnya gimana?"

"Mereka mau tunangan. Tapi kayanya jarak ke nikah gak terlalu jauh deh nanti."

"Jadi Fardan ini udah punya calon?"

"Udah, bukannya aku udah bilang juga ya?" Ursa rasanya tak sanggup mengeluarkan kata-kata, lalu ia hanya membuang nafas berusaha menetralkan gemuruh di dadanya yang sejak pulang tadi terus saja membara.

Ursa merasa malu dan kesal disatu waktu, kenapa Leetha tak memberitahunya? Kalau beginikan Ursa terlihat terlalu posesif. Andai Leetha mengatakan jika Fardan ini sudah punya tunangan, pasti dirinya tak akan over seperti tadi.

Sampai di depan eskalator, Ursa masih diam. Tapi tangannya tetap mengenggam Leetha. Matanya juga tak luput dari langkah yang Leetha ambil saat menaiki eskalator.

"Mas?" Leetha tak suka di diami. Walaupun Leetha sering seperti itu, tapi dia tak suka jika dirinyalah yang dihiraukan.

"Mas masih bete?" Tanya Leetha dengan suara pelan.

"Maafin Mas." Ujar Ursa. "Mereka duduknya disebalah mana?" Lanjutnya lagi.

"Di depan hotplate sana." Leetha menunjuk kios makanan yang berjajar, telunjuknya mengarah ke kios yang berada di posisi tengah.

"Gak beli minum dulu?" Ursa merasakan gelengan di lengan kanannya setelah ia melayangkan tanya.

"Tadi kan udah minum air putih." Ursa mengecup sisi kanan kepala Leetha lama, membuat di pemilik kepala yang sedang berjalan menegakkan tubuhnya kaget.

"Tolong kedepannya maafin Mas kalau sering bikin kamu sebal dan jengkel." Leetha tak memiliki keberanian untuk menggerakkan kepalanya. Rasa hangat kecupan Ursa masih terlalu terasa di benak Leetha.

"Yang mana dia?" Kaki mereka sudah dekat dengan posisi di tengah-tengah foodcourt.

"Ana!" Ursa yang mencari suara teriakan itu mengedarkan pandangannya, sedangkan Leetha masih berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila.

Kok dicium Abang gak sampe segininya ya? Aku harus apa? Aku pengen nangis, tapi gak tau kenapa aku harus nangis. Batin Leetha.

"Mereka disana." Ursa yang menarik Leetha dari lamunannya, menghampiri pasangan yang terlihat duduk di bangku yang saling berhadapan.

end | Let Me KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang