Sembilan belas

4.7K 524 61
                                    

Tadi pagi aku menolak Mas Ursa yang kembali ingin menjemput, karena Bapak bilang ingin berangkat bersamaku. Sudah siap, aku melihat jarum jam yang menunjuk pukul 7 yang tergantung di dekat pintu, aku keluar dari kamar dan menghampiri meja makan.

"Berangkat sama siapa Dek?" Abang mengelap bibirnya dengan tissue.

"Sama Bapak." Aku duduk di sebelah Ibu yang sibuk mengaduk teh manis di cangkir.

"Bentar Taa, Bapak habisin tehnya dulu." Aku hanya mengangguk.

"Mau bawa bekel gak Dek?"

"Gak Bu, nanti beli aja. Aku kepengen nasi padang."

"Kamu makan nasi padang mulu gak bosen Dek?" Aku menggeleng singkat. Sehabis bicara dengan Mas Ursa kemarin, memang rasa sesaknya sedikit berkurang. Tapi tetap duduk semeja dengan Bapak tanpa ada yang dibicarakan, masih sering membuatku kikuk tanpa alasan.

"Ayo berangkat." Bapak berdiri dan aku mengikutinya, menyalami tangan Ibu dan juga Abang.

"Nanti kalau mau di jemput telepon abang ya." Aku hanya mengangguk dan berlalu kedepan.

* * * * *

"Jadi dia Taa yang lagi deketin kamu?" Aku menoleh kearah Bapak yang masih melihat kedepan, tapi jempolku gak berhenti memainkan salah satu akun sosial mediaku. Mobil Bapak kini sudah bergabung dengan kendaraan lain yang siap mengais rezeki.

"Iya Pak, Mas Ursa berniat ngelamar Adek." Bapak menoleh kaget padaku.

"Cepet banget. Kerja apa dia emang? Umurnya?"

"Mas Ursa supervisor engeenering bagian civil di tempat Leetha. Umurnya 28 tahun." Jawabku.

"Kamu siap nikah emang?"

"Apa yang membuat Bapak berpikir kalo aku gak siap nikah?" Kali ini aku mengarahkan juga badanku kearah Bapak. Sudah memasukan ponselku ke dalam tas.

"Kamu gak ada keliatan deket sama lelaki manapun, makanya Bapak kaget. Bukan karena Bapak mikir kamu gak siap nikah Taa."

"Kamu mau nikah sama dia?" Aku terdiam memperhatikan struktur wajah Bapak dari samping. Rasanya aku ingin mengelus pipi Bapak yang mulai keriput dan memeluk Bapak, tapi bukankah akan terlihat aneh?

"Apa Bapak mengizinkan?"

"Menikah bukan untuk main-main atau ajang menunjukkan kualitas diri mampu atau gak mampu. Bapak inginnya kamu menikah kalo memang udah siap lahir dan batin. Menikah cuma sekali seumur hidup, mau gimana pun nanti susahnya berumah tangga, kamu harus bertahan sampai akhir. Calonmu juga harus siap secara financial, jangan cuma modal cintanya aja. Bapak gak mau setelah menikah kamu malah susah." Aku memahami apa yang Bapak bicarakan, dulu sebelum aku bekerja, kami sering mengobrol. Membicarakan banyak hal salah satunya pasangan yang diharapkan Bapak untukku kelak. Kesibukan Bapak lalu menjadi jurang terjal diantara kami.

"Kamu udah siap meninggalkan rumah emangnya?" Ini yang kemarin luput dariku saat berbincang dengan Mas Ursa. Apa aku siap meninggalkan Ibu sendirian?

"Bapak gak bermaksud untuk menahan kamu, Bapak cuma memberitahu sedikit gimana nanti saat kamu menikah."

"Ingat yang pernah Bapak omongin?" Aku menatapnya penuh tanya.

"Kalau suatu saat nanti kamu tau suamimu ada main, inget selalu untuk memperbaiki diri Taa. Jangan langsung menjual kata pisah di depan suamimu. Kita gak tau sudah sejauh apa mereka, dengan kamu menjual. Suamimu bisa aja dengan senang hati membelinya. Bercerai itu susah Taa, udah pasti lebih banyak gak enaknya." Aku mengangguk, yang diucapkan Bapak barusan juga salah satu nasihatnya yang sering beliau ulangi. Dulu aku belum memahami kenapa Bapak bicara begitu, menurutku kalau memang salah satu pasangan ada yang bermain gila, pisah saja. Tapi mendengar bagaimana Bapak menjabarkan saat itu, aku sedikit memahami ketakutannya sebagai seorang Bapak.

end | Let Me KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang