Part 2

9 1 0
                                    

   Bagaimana pun, kita tak akan pernah bisa memilih dengan siapa kita meletakkan hati. Entah berawal dari candaan, kebencian, ketidaktahuan, atau apa pun itu. Perasaan seseorang memang seperti misteri yang sulit untuk ditebak. Kamu boleh berencana, tapi perkara pasangan hidup tidak akan pernah bisa ditebak.

“Hai, Se.” Sapa Tata, sahabatnya.
“Hai, Ta.”
“Lo tau nggak, Se? Kak Leo lagi ramai jadi bahan gosip.”
“Serius lo? Kenapa?”
“Katanya sih dia satu-satunya mahasiswa yang dapat beasiswa S1 di Melbourne gitu.”
Sea menghentikan langkahnya, tanpa disadari air mata Sea mengalir tanpa izin di pipinya. Ia tau, ia tampak bodoh menangis seperti itu. Ia menangisi orang yang bahkan nggak pernah sekali pun ngobrol dengan dirinya.
“Se, lo percuma nangisin orang yang bahkan dia nggak ngerti kalo lo dan dia hidup di planet yang sama.”
“Iya, gue tau, Ta. Tapi selama gue dan dia ada di bawah langit yang sama gue nggak akan pernah berhenti diam-diam doain dia. Walau pun tidak menutup kemungkinan kalo dia juga diam-diam menyebut nama orang lain dalam doanya.”

Dimas menghampiri, “Se, lo kenapa nangis?”
Sea segera menghapus air matanya, karena ia tau sahabatnya itu tidak menyukai air mata.
“Gak pa-pa, Dim. Gue gak nangis kok, cuma ada kotoran aja tadi di mata gue.”
“Oh, syukur deh. Gue kira lo nangis.”

Dimas tau bahwa Sea menangis, sorot mata Sea tidak dapat menutupi kebohongannya. Baginya, saat Sea menangis maka ia telah gagal menjaga Sea. Bagaimana tidak? Dimas telah menganggap Sea sebagai adiknya. Tapi perkara hati siapa yang tau? Jauh di dalam lubuk hatinya ada rasa ingin memiliki Sea sepenuhnya. Ya, itu lah hati. Tidak satu pun bisa menebak.

Sea merasa bahwa dirinya telah stuck dengan Leo. Tapi sampai detik ini pun ia tidak pernah tau apa alasannya. Dia yakin bahwa suatu saat nanti Leo-lah rumahnya. Rumah di mana tempat ia meneduh, berkeluh kesah, mengukir kisah, dan tempat di mana ia selalu memiliki rasa ingin pulang yang teramat.

Sea berusaha fokus untuk mengerjakan soal kalkulus yang sudah didiamkannya selama 20 menit, dan kini waktu pengerjaannya hanya tersisa 25 menit.
“Sea, lo harus fokus!” Ucap Sea berbicara pada dirinya sendiri.
Lembar jawabannya masih putih bersih, 25 soal terpampang jelas di mejanya. Tapi justru ia melamun dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya yang ia tak pernah temukan jawabannya.
“Kak Leo suka gue juga nggak, sih?”
“Kak Leo kalo punya pacar tetap dingin gitu atau jadi sweet, ya?”
“Siapa pun yang jadi pacarnya Kak Leo pasti ngerasa beruntung banget!”
“Kira-kira kalo gue nyatain perasaan gue, dia bakal punya perasaan yang sama kaya gue nggak?”
“Kalo Kak Leo lanjut kuliah di Melbourne, dia bakal nikah di sana?”
“Sea!”
Suara itu sontak membuyarkan lamunannya. “I-iya, Pak.”
“Saya perhatikan kamu dari tadi hanya melamun saja.”
“Iya, Pak. Maaf.”
Sea menyadari bahwa ia telah membuang banyak waktu hanya untuk menemukan jawaban yang tidak akan pernah dia dapatkan.
“Baik, anak-anak. Waktu pengerjaan soal tersisa 12 menit lagi.”
Sea bahkan tidak terlihat panik sedikit pun, hanya butuh waktu 10 menit bagi Sea untuk mengerjakan 25 soal. Bagaimana tidak? Sea sudah terkenal genius sejak ia duduk di bangku SD, saat Sea kelas 5 SD ia tidak naik ke kelas 6. Tetapi langsung naik ke kelas 1 SMP. Sejak Sea kelas 1 SMP-3 SMA, ia hampir tak pernah mengeluarkan uang sepeser pun karena ia ditanggung beasiswa full dari sekolah.

Sudah layaknya ritual, Tata dan Dimas menunggu Sea keluar di depan kelasnya. Walau pun mereka bertiga beda jurusan kuliah, kelas mereka tidak terlalu jauh, kok!
“Ta, gue nggak habis fikir sama Sea.”
“Maksud lo?”’
“Ya bukannya gue nggak suka atau gimana, gue heran aja. Kok bisa dia suka sama Leo sejak 7 tahun lalu dan bahkan sampai detik ini.”
“Dim, lo jangan tanya ke gue, deh. Sea yang naksir aja gak pernah nemuin jawabannya, apa lagi gue coba?”

“Hai, guys.”
“Hai, Se. Kantin yuk.”
Kini Dimas yang melamun, ia sampai tak sadar bahwa Sea telah keluar dari kelas. Banyak sekali pertanyaan yang iingin Dimas tanyakan pada Sea, jika dihitung maka jumlahnya adalah tak hingga.
“Dim! Lo mau ikut ke kantin nggak?” Sea menepuk bahu Dimas.
“Iya, nih. Padahal dari tadi lo yang nggak sabar pengin ke kantin.”
“Sea? Lo udah keluar kelas? Sejak kapan?”
Sea dan Tata saling bertatapan, kemudian tertawa.
“Makannya lo jangan kebanyakan ngelamun, Dim. Kesambet baru tau rasa lo.”
“Nah, tu. Kalo lo kesambet gue sama Tata nggak mau nolongin lo.”
“Udah gue lagi malas ribut.”
Dimas lantas beranjak dari kursinya lalu jalan mendahului Sea dan Tata. Ada yang aneh pada Dimas! Dimas tidak terlihat seperti biasanya, tampak di wajahnya ada kesedihan yang ia sembunyikan.

SEA AND LION (COMPLETE)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang