Part 12

6 1 0
                                    

‘Waktu berlalu dengan cepat’, mungkin kata itu yang saat ini benar-benar dirasakan oleh Sea. Rasanya baru seminggu yang lalu ia ditimang-timang oleh papa mamanya, tapi kini usianya hampir 19 tahun.
“Mama, Sea berangkat kuliah dulu, ya?”
“Loh nggak sarapan dulu?”
“Udah telat, Ma. Nanti aja di kampus.”
“Iya udah hati-hati ya, sayang?”
“Siap, bos.”
Sea mengangkat tangannya sebagai tanda hormat kepada mamanya. Kemudian ia segera pergi ke kampus, karena ada jam pagi maka ia harus datang lebih awal dari biasanya.
“Terima kasih ya, Mang?”
“Sama-sama, Non. Oh iya sekalian Mang Pepo mau kasih tau, nanti nggak bisa jemput Non Sea soalnya istri Mang Pepo lagi di rumah sakit.”
“Wah, udah mau lahiran ya, Mang?”
“Iya, Non. Doain semoga lancar, ya?”
“Pasti, Mang. Ya udah aku mau ke kelas dulu ya, Mang?”
“Silahkan, Non.”
Sea mengikuti mata kuliahnya dengan tenang, fokus, dan juga nyaman.
“Sea, lo udah kerjain tugas Mister William yang minggu lalu?”
“Udah, Din. Mau nyalin?”
“Kalo boleh, hehe.”
“Iya, nih.”
Sea adalah tipe orang yang tidak pelit, walaupun bisa dikatakan ia sangat cerdas.
“Udin, nanti gue balik nebeng lo, ya? Kan rumah kita searah tuh.”
Sorry nih ya, Se? Gue udah janji mau balik bareng Elin.”
“Ih masa lo lebih mentingin Elin dari pada gue?”
“Ya jelas lah. Elin cewek gue, lah lo emang siapa gue?”
“Iya juga sih, ya?”
“Makannya lo jangan jomblo terus, Se.”
“Ya gimana, ya? Cowok yang gue taksir nggak peka.”
Udin yang semula tengah fokus menyalin tulisan Sea, kini menatap tajam Sea.
“Apaan?”
“Emang ya stigma ‘cowok selalu salah’ itu kayaknya udah melekat banget di mata cewek.”
“Emang bener, kan?”
“Se, coba deh ya gue tanya sama lo. Lo pernah nggak bilang ke orang yang lo taksir itu kalo lo naksir dia?”
“Nggak lah, gengsi dong gue sebagai cewek ngomong duluan.”
“Kalo gitu jangan nuntut orang selalu peka sama apa yang lo mau sedangkan lo nggak bilang apa-apa. Kita sebagai cowok bukan peramal yang bisa baca pikiran setiap orang.”
“Sa ae si Udin.”
“Nggak menutup kemungkinan bahwa di luar sana ada satu atau dua orang yang naksir lo tapi lo nggak tau. Bukan karena lo nggak peka, tapi emang mereka nggak pernah ngomong tentang perasaannya ke lo.”
Sea terdiam, meresapi apa yang dikatakan oleh Udin. Benar, selama ini bukan Leo yang tidak peka, tapi memang Sea yang tidak pernah mengungkapkan perasaannya.
“Nih, buku lo. Thanks, ya? Udin mengembalikan buku Sea.
“Iya, sama-sama.”
Entah mengapa kini Sea jadi bimbang atas apa yang diucapkan oleh Udin. Di satu sisi ia ingin mengelak tapi di sisi lain ia sadar bahwa yang dikatakan Udin tidak salah.
“Gue harus ungkapin duluan ke Kak Leo?”
“Eh, nggak deh. Gengsi dong, kalo ditolak gimana?”
“Tapi kalo gue nggak ungkapin, nanti keduluan sama yang lain.”
“Emang kalo gue ungkapin, dia bakal punya perasaan yang sama sama gue?”
Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalanya. Pertanyaan yang entah kapan ia akan dapatkan jawabannya.
“Se, belum balik?”
“Iya belum nih, Pak.”
Jimmy Anderson, salah datu dosen muda di kampus Sea. Usianya kini baru 26 tahun, dan rumornya ia menyukai Sea karena prestasinya.
“Pulang sama Bapak aja, yuk?”
“Terima kasih, Pak. Bentar lagi supir saya jemput kok.”
“Yakin, nih?”
“Iya, Pak.”
Sekuat apa pun Pak Jimmy menggoda Sea, Sea tidak akan pernah tergoda. Bagaimana mungkin ia move on begitu saja dari Leo yang ditaksirnya sejak lama hanya karena Pak Jimmy? Impossible.
Tata menghampiri Sea, “Tumben belum balik?”
“Iya, nih. Mang Pepo lagi nemanin istrinya mau lahiran jadi nggak bisa jemput gue.”
“Oh atau lo balik bareng gue aja.”
“Nggak usah, rumah lo sama gue kan lumayan jauh. Gue nunggu angkot aja.”
“Bener nih, ya?”
“Sea mengangguk.
“Ya udah kalo gitu gue duluan, ya? Bye, Sea.”
Bye.”
Tata lantas meninggalkan Sea.
“Mau saya antar?”
Sea sangat terkejut dengan sosok yang kini tepat berada disampingnya.
“Nggak usah, Kak.”
“Di sini kalau sore banyak preman.”
“Nggak pa-pa, Kak. Aku tunggu angkot aja.”
“Iya udah, saya nggak maksa.”
Tepat saat lelaki itu pergi, datanglah dua orang preman.
“Eh, Kak. Ikut.”
Lelaki itu segera menyuruh Sea masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan tidak satu pun kata yang keluar dari mulut mereka.
“Terima kasih, Kak.”
“Besok sibuk?”
Sea melihat ke sisi kanan dan kirinya, hanya ia yang berada di situ. Lelaki itu bertanya pada Sea?
“Aku, Kak?”’
“Selain kamu emang ada orang lain di sini?”
“Iya, nggak sibuk kok.”
“Besok saya jemput, ya?”
“Mau ke mana, Kak?”
“Ada lah pokoknya.”
“Tapi-“
“Nggak sibuk, kan? Berarti nggak ada penolakan.”
“I-iya, Kak.”
Lalu lelaki itu pergi, Sea kini tengah senyum-senyum membayangkan wajah lelaki yang baru saja mengantarnya pulang.

SEA AND LION (COMPLETE)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang