Part 15

4 1 0
                                    

Sampai saat ini Sea masih terus bertanya dengan dirinya, keputusannya untuk menerima Leo benar ataukah salah? Entah mengapa sampai detik ini ia belum yakin sepenuhnya.
“Ma, Mama dulu awal kenal sama papa gimana?”
“Tumben nanya ginian?”
“Ya pengin tau aja, Ma.”
“Mama ketemu papa itu waktu di bandara. Mama baru aja lulus SMA waktu itu, Mama pindah dari Surabaya ke Jakarta.”
“Terus?”
“Ternyata pilot yang ada di pesawat yang Mama naikin itu papa kamu. Kebetulan kakek dari papamu itu berteman sama nenek dari Mama. Singkat cerita, kami dijodohkan. Tak lama dari itu, kami menikah. Lalu lahirlah Kak Alex dan Sea.”
“Kakek sama nenek nggak gaul, ya, Ma?”
“Kok gitu?”
“Buktinya, masih main jodoh-jodohan.”’
Mamanya tertawa, “Kamu ini ada-ada aja. Udah ah Mama mau masak.”
“Aku pergi sama Dimas, ya, Ma?”
“Iya, pulangnya jangan kemalaman.”
“Siap, Ibunda ratu.”
Mamanya menggelengkan kepala, heran dengan sikap anaknya.
Saat tiba di taman, mereka menikmati es kelapa yang dijual dengan harga Rp.5.000,00.
“Dim? Tumben nih kita hangout lo nggak ngajak Tata?”
“Ya nggak pa-pa, lagi pengin berdua aja.”
“Cie elah udah kayak orang pacaran aja.”
Sea tidak tahu, di dalam hati Dimas ada rasa ingin lebih dari seorang sahabat atau pun kakak.
“Emangnya yang boleh berduaan cuma orang pacaran doang?”
“Iya juga, sih. Tumben lo pinter.”
“Gue emang pinter, Se. Tapi gue selalu merendah aja.”
“Heh, mana ada sih orang merendah ngomong secara terang-terangan gini.”
“Gue kan merendah untuk menyombong.”
‘Dih, kena azab mamp*s lo.”
Setelah menikmati es kelapa, mereka berkeliling di taman. Mencari spot yang apik untuk mengambil beberapa foto.
“Se, foto berdua, yuk?”
“Boleh.”
Mereka mengambil beberapa foto untuk dijadikan kenangan.
“Dim? Gue mau cerita deh sama lo.”
“Cerita aja kali, kayak sama siapa aja.”
“Gue…”
“Kenapa? Lo kenapa?”
“Gue udah jadian sama Kak Leo.”
Botol spri*e yang dipegang Dimas pun jatuh dan mengenai kakinya, ia terkejut.
“Dimas? Lo nggak pa-pa?”
“Nggak kok, gue nggak pa-pa.”
Dunianya seakan terhenti, rencana untuk mengungkapkan perasaannya di taman pun gagal.
“Kok lo baru bilang, sih?”
“Hehe, sorry. Baru tiga minggu yang lalu kok”
“Sea, lo kan baru kenal sama dia. Harusnya lo nggak asal terima gitu aja dong.”
“Papa mama gue aja nikah dulu kok. Baru kenal satu sama lain.”
“Ya tapi seenggaknya lo kan bisa minta pendapat geu atau Tata.“
“Dimas, gue udah gede. Gue bisa atur jalan hidup gue sendiri kok. Lagian Tata udah tau, dan dia setuju-setuju aja.”
“Ternyata benar, Se. Gue wajib baca novel Fiersa Besari.”
“Maksud lo?”
“Kutipan yang paling gue ingat, ‘yang lebih menyakitkan dari melepaskan sesuatu adalah berpegangan pada sesuatu yang menyakitimu secara perlahan’.”
“Dimas, maksud lo apaan, sih?”
“Semakin gue genggam lo, semakin gue sakit, Se.”
“Dim, lo kan tau kita udah kayak adik-“
“Kakak.”
Sea terdiam, ia masih tidak dapat membaca suasana dengan baik.
“Gue tau, Se, lo cuma anggap gue sebagai sahabat atau kakak. Mungkin emang gue yang terlalu berharap lebih sama lo.”
“Dimas, lo suka sama gue itu hak lo, gue nggak bisa nge-larang. Tapi kalau lo suruh gue buat suka sama lo, sorry gue nggak bisa.”
“Maafin gue, Se.”
Menyakitkan, tapi memang begitu adanya. Kita tidak akan pernah bisa memaksa orang lain untuk mengikuti alur yang kita inginkan, karena kita bukanlah sutradara dalam dunia ini.

SEA AND LION (COMPLETE)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang