Part 39

1 1 0
                                    

Sehari sebelum keberangkatan Leo ke Sydney, ia menepati janjinya pada Sea ingin mengajaknya jalan-jalan hari ini. Sebenarnya bukan hanya jalan-jalan, tetapi juga sebagai ganti dari salam perpisahan. Bukanlah mudah bagi Sea, seseorang yang ia sukai sejak 7 tahun lalu kini harus pergi demi cita-citanya.

Leo segera bergegas menjemput Sea di rumahnya, sekaligus ingin berpamitan juga dengan Bu Lisa. Berat bagi Leo, tapi ia harus menepati janjinya pada mendiang ibunya yang meminta Leo untuk kuliah setinggi mungkin.

“Sea.”

“Hai, Kak.”

“Udah siap?”

“Iya. Bentar aku panggilin mama dulu.”

Sea masuk ke dalam rumah dan memanggil mamanya.

“Ma, ada Kak Leo.”

“Iya, langsung berangkat aja.”

“Mama ih, katanya dia mau ngomong sama Mama.”

“Oh iya udah, bentar lagi Mama ke depan.”

Sea kembali keluar menemui Leo.

“Kak, masuk dulu. Mama masih kerjain sesuatu di belakang.”

“Halo, nak Leo.”

“Oh itu mama, Kak.”

“Iya, Tante.”

“Ada apa, nak?”

“Gini, Tante. Saya mau izin ajak Sea jalan, mungkin sampai sore tapi saya janji nggak akan sampai malam kok. Sekalian saya mau pamitan juga sama Tante, besok pagi saya take off ke Sydney.”

“Oh besok berangkatnya? Pantas aja tadi malam ada yang nangis-nangis cerita ke Tante.”

“Ssttt, Mama ih.”

Sea lantas memasang wajah cemberut dan dibalas Leo tertawa.

“Ya udah kalian berangkat sekarang aja biar nggak kesorean.”

“Iya, Tante. Ya udah kami pamit dulu, ya?”

“Iya, hati-hati di jalan.”

“Dah, Ma.”

“Dah, sayang.”

Selama dalam perjalanan mereka berdua hanya diam saja, menikmati ramainya jalanan di pagi hari sembari mmendengarkan musik klasik karya Franz Liszt. Musik mengalun dengan lembut, seakan menyampaikan salam perpisahan.

“Udah sampai, Se. Turun dulu, yuk?”

“Kakak ngapain ngajak aku ke tukang bubur, katanya mau ngajak aku jalan?”

“Iya, sarapan dulu. Tadi tante WhatsApp saya bilang kamu belum sarapan.”

“Tapi habis itu kita jalan, ya?”

“Iya, sayang.”

What’s? Wait? Ini kali pertama Leo memanggil Sea dengan sebutan sayang.

“Idih, Kakak apaan, sih. Geli tau gak?”

“Orang-orang pacaran pada so sweet, saya punya pacar kenapa gini dah?”

“Biarin, jadi sarapan nggak, nih?”

“Iya-iya jadi.”

Mereka berdua menikmati bubur langganan mereka tanpa sepatah kata pun. Sampai akhirnya Sea membuka suara.

“Kak? Kalau nanti Kakak di sana, jangan lupain aku, ya?”

“Pasti, nggak akan pernah.”

“Aku bakal nyusul Kakak.”

“Iya, saya bakal tunggu.”

Mereka menikmati saat-saat terakhir itu dengan penuh kebahagiaan, menghabiskan waktu bberdua, berkhayal akan membangun istana di masa depan, dan menikmati lenyapnya senja oleh malam di pinggir danau.

Danau yang penuh kenangan!

SEA AND LION (COMPLETE)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang