24

3K 299 88
                                    

Jimin sempat minum di bar beberapa saat setelah pulang kerja. Belakangan ini kepalanya terasa berat meski ia sendiri tak tau sebabnya apa. Namun ia pulang tidak terlalu larut dan untungnya tidak dalam keadaan mabuk.

Ia sempat melihat mobil Seulgi yang terparkir di pekarangan rumahnya, gadis itu ternyata menunggu kepulangan nya, meski sebelumnya tak memberitahunya sama sekali.

Prraangg!!

Jimin terkejut. Ia mendengar sesuatu yang pecah dari ruang dapur. Tanpa pikir panjang pria itu langsung berjalan cepat ke sumber suara.

"Astaga, kenapa pecah?!"

Jimin melihat Seulgi yang berjongkok sambil membersihkan kaca yang berserakan. Gadis itu masih belum menyadari bahwa Jimin sudah pulang.

"Aw!"

Gadis itu meringis saat beling itu melukai telunjuknya. Membuat Jimin menghela nafas dan memilih untuk menghampiri gadis itu.

"Jimin..."

Jimin menarik pelan Seulgi untuk duduk di sofa dan mengambil kotak obat. Membuat Seulgi mengerjap, namun bahagia lebih mendominasi. Perhatian ini, Seulgi belum pernah mendapatkannya.

Jimin duduk disamping gadis itu. Ia perlahan membersihkan luka kecil di telunjuk Seulgi lalu dengan telaten memberika plester pada luka itu.

"Kau tadi sedang apa?" Tanya Jimin.

"Emm, aku ingin membuatkan mu makan malam." Jawabnya.

Jimin menghargai hal itu. Pasalnya Seulgi bukanlah tipe gadis yang bisa memasak.
"Aku sudah makan tadi, jika kau mau akan..."

Ucapan Jimin terhenti ketika Seulgi menyandarkan kepalanya pada bahu Jimin. Ia menggenggam tangan Jimin erat. Membuat pria itu sedikit terkejut.

"Aku selalu membayangkan saat dimana hidupku kelak mendampingi mu. Dimana kita membina keluarga kecil kita."

Jimin hanya diam. Ucapan gadis itu Membuatnya ingin menyangkal, namun tak tau akan berkata apa. Segalanya terasa sulit.

"Jim, kapan Kita akan menikah?"

Deg!

Lagi-lagi kincir otak pria itu tak berjalan. Kata-kata yang harus ia ucapkan bahkan tak terpikirkan. Entah apa yang harus dia katakan sekarang.

Menikah? Dia sendiri tidak yakin.

Seulgi mengangkat kepalanya. Ia memilih untuk menatap Jimin. Sebelah tangannya teralih pada dagu pemuda itu dan sedikit memutarnya agar mereka bertatapan.

"Aku benar-benar ingin memilikimu seutuhnya.."

Jimin menatap wajah itu. Wajah yang selalu berbinar ketika menatapnya. Wajah yang penuh cinta dan gairah. Dan wajah yang tidak pernah membuatnya merasakan yang namanya 'sesuatu'.

"Apa yang kau rasakan saat bersamaku?" Tanya Jimin tanpa mengikis jarak diantara mereka.

"Aku selalu berdebar.."

Tapi aku tidak.

"..tak ingin kau menjauh.."

Aku tak merasa begitu.

"..aku selalu ingin berada didekat mu, dan aku ingin mendampingi mu."

Maafkan aku, Seul..

Seulgi semakin mendekatkan wajahnya. Masing-masing helaan nafas bisa mereka dengar. Jarak mereka kian menipis. Bahkan Seulgi kini menutup matanya.

Untuk pertama kalinya Jimin merasakan bulu kuduknya merinding saat berada di situasi ini. Sebuah tantangan besar sedang menghadangnya. Karena pengakuan itu, sudah di depan matanya.

Devenir AmourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang