31

3.7K 347 79
                                    


Fajar menyingsing. Rose perlahan membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah Jimin, tuannya. Wajah itu sangat dekat bahkan Rosè bisa merasakan udara teratur yang dihela oleh pria itu.

Untuk kesekian kalinya, wajah itu menyita perhatiannya. Rose merutuki dirinya yang dengan berani memandang wajah polos tuannya saat tertidur pagi-pagi buta ini. Namun, sudah terlanjur. Netranya tak bisa lepas dari wajah tampan itu.

Rose mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding, jam menunjukkan pukul setengah 6 disana. Dirinya sedikit terlambat bangun pagi ini. Salahkan pelukan Jimin yang terlalu hangat dan nyaman, membuat Rosè betah berlama-lama.

Rose menahan nafasnya saat Jimin mengeratkan pelukannya. Tangan Rose yang tadinya menumpu dada Jimin teralih menuju pipi pria itu. Rose bahkan merasa takut akan kelancangan yang barusan ia lakukan. Lancang karena menyentuh wajah tuannya.

Karena itulah Rose berniat untuk mengalihkan tangannya. Namun sebelum hal itu terjadi, Jimin lebih dahulu menahan tangan Rose untuk tetap di pipinya. Setelah itu kembali memeluk Rosè, tanpa pria itu membuka mata.

Rose tidak bisa menyembunyikan semburat merah di wajahnya. Pipinya benar-benar terasa panas. Bisa-bisanya Jimin membuat jantungnya menggila pagi ini.

"Tuan..."

Jimin masih menutup mata. Pelukannya semakin mengerat dan merapat. Bahkan hidung mereka kembali menempel.
"Hmm"

Suara serak khas bangun tidur Jimin membuat Rosè menunduk. Ini benar-benar 'sesuatu' yang tidak bisa ia kendalikan.

"K-kita harus bangun." Cicit Rose pelan.

"Sebentar lagi." Bisiknya. Membuat Rosè tidak bisa melakukan apa-apa.

-
-
-

Mata Jimin sama sekali tidak lepas menatap Rose yang fokus pada dasi di lehernya. Jimin tau, Rose berusaha untuk bersikap biasa saja. Namun Jimin lebih memahami, fase itu sudah ia lalui.

Bahkan Jimin terlalu larut, ia tak peduli bahwa jam kerjanya akan segera datang. Dan sudah bisa dipastikan, saat dia tiba di kantor, dirinya sudah telat.

Felix? Jimin memintanya untuk berangkat sendirian. Bukan hal bagus jika pemuda itu datang pagi-pagi dan menganggu waktunya berdua dengan Rosè.

Drrttt...
Dddrrrtttt...

Rose mengabaikan ponsel yang berdering di sakunya. Ia memilih untuk tetap fokus memakaikan dasi Jimin.

"Angkat, Rose." Titah Jimin.

"Tapi tuan.."

"Mungkin penting."

Rose pun mengambil ponsel itu dari sakunya. Ia melihat nama Jisoo eonni tertulis disana. Lalu memilih untuk menjauh beberapa langkah dari Jimin dan mengangkat panggilan itu.

"Yoboseyo, eonni.."

"Yak Rosè! Kau kemana saja? Hampir seminggu kau tak bisa dihubungi..."

Rose merasa tak enak.
"Emm, aku ada beberapa urusan belakangan ini, maafkan aku."

"Sudahlah, lain kali kau harus memberiku kabar, nee.."

Belum sempat Rosè menjawab, ia terkejut dengan kehadiran Jimin. Pria itu tiba-tiba menopang dagunya di bahu Rosè. Membuat Rosè bungkam, dan sulit untuk berkata.

"Aku mau dengar," bisik Jimin. Rose seketika meremang. Padahal mereka bisa menghidupkan speaker, namun hal itu tak terpikirkan.

"N-nee, eonni." Jawab Rosè setenang mungkin.

Devenir AmourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang