©perempuansayang
Heejin sendiri tidak tahu pasti bagaimana dan kapan kondisinya menjadi semakin buruk, yang jelas hari ini ia harus kembali membuka mata dalam keadaan terbaring di atas ranjang rawat Rumah sakit. Untuk beberapa waktu belakangan, ranjang rawat yang menjadi tempat berbaring bagi pasien seperti dirinya ini terasa jauh lebih akrab dibanding tempat tidur nyaman di dalam kamar bagai tuan putri cantik miliknya.
Heejin baru usai menjalani beberapa jam prosedur pengobatan, ia baru bisa terbangun membuka sepasang manik yang tidak lagi berbinar. Mendapati tubuhnya kembali terpasang berbagai alat bantu medis di dalam ruangan bernuansa putih yang tidak asing lagi, Heejin merasa keadaan seperti itu adalah yang paling buruk untuk membuka mata.
Masih teringat jelas bagaimana rasa sakit menyerang kepalanya, begitu menyiksa sampai deru nafas saja terasa sulit bagi Heejin.
Menakutkan.. sangat menakutkan.
Karena rasa sakit itu dirinya harus kembali dilarikan ke rumah sakit oleh sang Ayah dan Bunda, diharuskan untuk menerima tindakan medis lain yang memang menjadi penyelamat terbesar bagi dirinya saat merasa kesakitan.
Heejin juga masih ingat bagaimana ia mengamuk menolak rasa sakit yang menyerang dirinya, kemarahan dalam hatinya terus membuncah seiring rasa sakit pada tubuhnya terasa, itu sangat mengerikan sampai pada titik dimana Heejin mengamuk kepada semua orang yang berusaha menggapai dirinya.
Ia sudah tidak lagi mampu bersabar ketika menghadapi rasa sakit.
Bulir bening tanpa sadar turun membasahi wajah cantik Heejin yang kini tidak lagi seberbinar dulu. Begitu pucat..
Heejin meremat selimut yang membalut tubuhnya. Ia bahkan sangat sulit hanya untuk meraup udara, penyakit di dalam tubuhnya membuat Heejin tidak bisa leluasa bernafas sekalipun sudah ada selang oksigen untuk membantu di sana.
Pada titik ini Heejin mulai meragukan sang Maha Kuasa.
Mengingat bagaimana tiap pagi dan malam ia berdoa, seberapa banyak yang sang Bunda lakukan untuk memohon kesembuhan bagi dirinya.
Apakah Tuhan tidak lagi mendengarkan doa mereka?
Mengapa dirinya justru semakin menjadi sakit kian waktu bertambah banyak dilewatkan.
Sepasang manik kecokelatan milik Heejin kembali teralih kala jemari seseorang terasa mengelus lembut pipinya, menyeka jejak air mata yang begitu jelas di sana.
“Cantik?” suara lembut nan sedikit berat itu menyapa indera pendengaran Heejin yang bahkan sampai detik terakhir masih terasa sangat tak nyaman.
Itu suara yang selalu berhasil membuat ia merasa tenang kala terbangun selepas melewati peperangan dengan tubuhnya sendiri.
“Nana..” lirih Heejin.
Senyuman manis kembali terukir di sana, terarah kepada Heejin.
“Iya sayangku,” balas Jaemin.
Ya Na Jaemin — pemilik suara itu, sosok yang tidak pernah meninggalkan Heejin barang sebentar tidak peduli seberapa kacau gadisnya tersebut. Si pemuda Na yang selalu ada di sana sambil berusaha menenangkan hati Heejin dengan ukiran senyuman semanis madu pada wajahnya.