Bagian VIII

61 9 0
                                    

Arumi

Arumi sangat senang ketika berkeliling Mal bersama Tante Kirana. Ia merasakan kembali kebahagiaan yang beberapa tahun belakangan hilang semenjak ibunya sakit dan meninggal dunia. Tante Kirana juga memiliki selera yang bagus dalam memilihkan pakaian untuknya. Dan ia semakin berkesan ketika Tante Kirana menunjukkan buku karyanya yang dipajang di Toko buku ternama.

"Arumi suka nulis, enggak?" tanya Kirana pada Arumi yang masih membaca blurb di buku yang ia tunjukkan.

"Enggak seberapa, sih, Tante. Arumi lebih suka main gim. Hehe," Arumi tersenyum lebar dengan menampilkan barisan giginya yang putih dan kecil-kecil.

"Ayah Erza enggak mengajari membuat karya tulisan?," tanya Kirana sekali lagi.

"Ayah sering nawarin Arumi bikin cerita. Kan Ayah editor, tuh, jadi ada yang segera membetulkan kalau tulisan Arumi salah, tapi mau gimana lagi, Arumi enggak suka nulis. Pusing banget mikirnya. Hahaha,"

"Ah iya. Bener banget sih. Kalau Tante kan memang pekerjaannya menulis. Jadi meski pusing harus tetap nulis. Kalau enggak begitu, enggak dapat gaji," terang Tante Kirana sambil terbahak.

"Jadi, banyak dong buku karya tante yang sudah terbit?,"

"Enggak. kebanyakan novel digital dan cerita tamat di beberapa platform menulis," jelas Kirana sambil memperlihatkan beberapa karyanya yang ada di dalam aplikasi android.

"Tante keren, ya. Pantesan Ayah kepincut," Mereka berdua terbahak kemudian menuju kasir untuk membayar dua buku pilihan Kirana. Arumi segera mengeluarkan kartu debit Ayahnya dari dompet kecil berwarna hijau daun yang diletakkannya dalam tas ransel. Namun, saat hendak menyodorkan kartu tersebut pada kasir, ternyata Kirana sudah lebih dulu memberikan kartu debit miliknya.

"Kok Tante bayar sendiri. Tadi kan Ayah bilangnya bayar pakai kartu debit Ayah saja," ujar Arumi kemudian.

"Bukunya kan yang beli Tante. Diajak Arumi jalan-jalan, dan ditraktir makan sama Ayah Erza saja Tante sudah senang. Ayo kita balik ke Ayah Erza, yuk!" Kirana segera meraih tangan Arumi, dan menggandengnya seperti putrinya sendiri. Arumi merasa aneh, belum juga sehari ia mengenal sosok Kirana, tapi dengan cepat ia dapat akrab dengannya.

Arumi dan Kirana segera menemui Erza yang terlihat berkutat dengan ponselnya. Erza terkejut melihat banyak sekali tas hasil buruan belanja mereka. Tapi ia tak pernah mempermasalahkan berapa uang yang dihabiskan Arumi untuk belanja. Baginya, asalkan putrinya bahagia, ia juga akan merasa bahagia.

"Sebelum pulang, kita makan dulu ya. Kalian pasti lapar," ucap Erza sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja. Ia memanggil pramusaji cafe tersebut. Dengan cepat, pemuda tampan berseragam putih hitam menghampiri mereka, dan mengulurkan daftar menu serta notebook kecil yang sudah terselipkan pena di sampingnya, untuk mencatat makanan dan minuman apa yang mereka pesan.

"Arumi mau nasi goreng, Yah!" seru Arumi ketika melihat ayahnya tengah mengisi daftar pesanan.

"Setiap hari makan nasi goreng, di sini juga pesan nasi goreng?" Erza heran dengan putrinya yang sangat tergila-gila dengan masakan nasi goreng.

"Enggak apa. Arumi hanya ingin tahu, enak mana nasi goreng ayah dibanding nasi goreng mal," seloroh Arumi.

"Memang Ayah Erza jago bikin nasi goreng?" sela Kirana yang membuat percakapan mereka semakin ramai.

"Jago banget, Tante. Soalnya setiap hari, Ayah masakin Arumi cuma menu nasi goreng. Jadi sudah ahli banget tangan Ayah itu kalau soal nasi goreng," sindir Arumi pada Ayahnya. Suasana menjadi sangat ramai dan menyenangkan. Orang lain pun pasti ikut bahagia melihat kebersamaan mereka, dan tak menyadari bahwa sebenarnya Kirana bukanlah ibu Arumi.

***

"Dah, Tante. Kapan-kapan kita jalan-jalan bareng lagi, ya," ucap Arumi dari kaca mobil yang dibukanya.

"Dah, Sayang. Sampai jumpa lagi, ya," balas Kirana sambil melambaikan tangan dan tersenyum lembut, kemudian berjalan memasuki halaman rumahnya.

"Mumpung masih di luar, Arumi mau ke mana lagi?" tanya Erza pada Arumi yang masih melongokkan kepalanya keluar kaca mobil.

"Pulang saja, Yah. Arumi enggak sabar nyobain baju-baju yang tadi Arumi pilih sama Tante Kirana,"

"Memangnya tadi enggak dicoba dulu?" tanya Erza sedikit heran.

"Cuma ditempelin badan aja. Lagian Tante Kirana jeli banget memilihkannya. Tahu banget kalau baju yang dipilih Arumi itu terlalu ketat atau terlalu besar, perpaduan warnanya bagus atau jelek kalau dipasangkan, pokoknya bikin Arumi penasaran lah," jawab Arumi dengan cepat sampai-sampai Erza bingung membayangkannya.

"Ya sudah, lah. Lets go!" Mobil matic berwarna putih itu kini melaju kembali menuju ke kediaman mereka. Rumah penuh kenangan yang beberapa minggu ke depan akan mereka tinggalkan.

"Bagaimana tadi? Arumi suka tante Kirana atau tidak?" tanya Erza dengan tetap fokus menyetir.

"Mmmm, Enggak," jawab Arumi yang membuat Erza sangat terkejut dan mendadak mengerem mobil.

"Ayah apaan, sih? Untung jalanan sepi dan belakang kita enggak ada kendaraan lain," 

"Maaf, Ayah hanya sedikit terkejut. Hehe. Memangnya tante Kirana kenapa?" ujar Erza dengan jantung yang berdegup kencang. Ia benar-benar tak menyangka kalau Arumi ternyata tidak cocok dengan Kirana, padahal selama di Mall tadi, mereka tampak akrab.

"Iya, Ayah enggak salah milih tante Kirana,"

Gimana sih maksudnya? Erza mulai bingung terhadap ucapanputrinya.

"Gimana? Coba kamu bicara yang lebih jelas lagi,"

"Masa kurang jelas, sih. Ayah tuh enggak salah milih tante Kirana sebagai ibu barunya Arumi, karena tante Kirana tuh baik banget," jawab Arumi yang mulai gemas.

"Oh, ya? Syukurlah kalau begitu. Terima kasih ya, Sayang," ujar Erza serasa ingin memeluk putrinya. Arumi melihat ayahnya begitu bahagia. Ia juga tersenyum bahagia meski terkadang masih terbesit sedikit kecemburuan dalam hatinya. Kecemburuan tentang cinta ayahnya terhadap mendiang ibunya yang kini diberikan pada perempuan lain.

Sesampainya di rumah, Arumi berlari masuk ke kamarnya dengan kedua tangan yang penuh dengan belanjaan. Ia segera membongkar satu persatu tas plastik dengan merk-merk ternama tersebut.

"Kemeja kotak-kotak hijau dengan celana jeans abu-abu, T-shirt hijau dengan celana jeans hitam, lalu kemeja putih dengan rok hijau pupus," gumamnya mengingat-ingat ucapan tante Kirana.

"Semua ini keren banget!" seru Arumi usai melihat bayangannya di cermin. Tak lama kemudian, ia mendengar pintu kamarnya diketuk.

"Arumi, bolehkah ayah masuk?"

"Masuk saja, Yah," sahut Arumi dari dalam kamarnya. Ia terus mengaca dan berputar-putar melihat baju yang baru dibelinya dari segala sisi.

"Bagus banget kan, Yah," ujar Arumi pada Erza yang telah duduk di kursi belajaranya.

"Bagus banget,"

"Tante Kirana paham selera Arumi banget," lanjut Arumi sambil tetap bergaya di depan cermin.

"Iya, lah. Ayah kan sudah pernah bilang kalau tante Kirana punya anak perempuan seusia Arumi, jadi tante Kirana bakal tahu banget kebutuhan Arumi,"

"Oiya, lupa. Hahaha. Oh,ya. Ayah ke sini ada perlu apa?"

"Ayah mau membicarakan lebih jelas soal rencana kita pindah rumah, dan soal keluarga baru kita selanjutnya,"

Arumi memandang ayahnya yang tampak cemas. Mungkin ayahnya merasa harus sangat berhati-hati untuk membicarakan hal tersebut demi menjaga perasaannya.

"Arumi sih ngikut saja. Ayah enggak usah khawatir apa-apa lagi. Arumi akan menerima semuanya,"

Erza menghela napas panjang. Ia merasa sangat lega melihat sikap Arumi. Terkadang ia menjadi berpikir bahwa Arumi-lah yang berkorban demi kebahagiaan keluarga mereka.

-Bersambung-

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang