Bagian XXVIII

21 7 0
                                    

Arumi

Sore ini terasa berbeda bagi Arumi. Sebelum ayahnya menikah dengan Kirana, seringkali ia hanya di rumah seorang diri. Mengganti-ganti kanal tv karena telah bosan dengan tayangan-tayang infotainment yang hanya membahas kehidupan para artis yang tidak begitu penting, memasak telur ceplok yang kuning telurnya selalu meluber kemana-mana, dan terkadang hanya berbaring di tempat tidur sambil bermain gim hingga ayahnya datang.

Sudah cukup lama Arumi menjalani kehidupan tanpa ibu, itu berarti sudah cukup lama juga ia menghabiskan waktunya seorang diri. Arumi menghela napas panjang. Dalam situasi yang seperti ini, ia jadi membenarkan keputusan ayahnya yang memilih untuk menikah lagi. Tak begitu buruk, ia telah memiliki keluarga baru yang keramaiannya lebih baik dibandingkan dengan suara televisi yang seringkali hanya dinyalakan, lalu ditinggalkannya pergi menyendiri di kamar.

"Ayah tak mungkin merasa kesepian karena setiap hari bekerja hingga larut malam. Ah, ya, mungkin ia hanya kesepian di saat tengah malam," ujarnya sambil terkekeh. Ia jadi teringat pada ayahnya dan rindu berbicara dengannya. Arumi meraih foto keluarganya yang terpajang rapi di atas nakas. Sambil memandangi foto itu, ia mulai berbicara sendiri. "Ibu, ayah sekarang sudah sombong. Mentang-mentang sudah punya istri baru, ayah tak pernah memasakkan nasi goreng lagi untuk Arumi," Arumi tertawa pelan, lalu memeluk foto tersebut erat-erat. Untung saja sore itu Lara tak berada di kamar, sehingga ia dapat dengan bebas berbincang dengan foto keluarganya.

"Kalau begitu, nanti malam, Arumi ingin menyambut ayah. Arumi ingin baikan dengan Ayah, dan menodong nasi goreng buatan ayah lagi," kali ini Arumi tertawa keras bak gadis kecil yang tak waras. Ia membayangkan betapa bahagianya ayahnya nanti dengan kejutan yang akan diberikan Arumi.

"Kamu enggak kenapa-napa, kan?" Lara tiba-tiba muncul begitu saja sehingga membuat Arumi terperanjat.

"Apaan, sih? Mau tau aja," jawab Arumi sambil meletakkan kembali foto keluarganya di atas nakas. Terdengar Lara menggerutu

"Ih, enggak banget. Aku cuma disuruh Mama manggil kamu. Persiapan makan malam," ucap Lara, kemudian berbalik hendak keluar dari kamar.

"Aku enggak ikut makan. Nanti aku makan sama ayah, aja," tolak Arumi dengan memalingkan muka. Tak terdengar jawaban apapun lagi dari Lara, dan Arumi mengingat bahwa ia harus berbicara empat mata dengannya, tapi ketika ia berbalik, Lara sudah keluar dari kamar. Ah dasar, cepet banget dia ngilang, batin Arumi setengah kesal. Waktu terasa berjalan sangat lambat ketika Arumi menunggu ayahnya datang. Sudah sekian kali ia melirik jam tangannya, memastikan waktu yang tepat untuk beralih ke ruang tamu. Sebenarnya ia sudah sangat bosan semenjak tadi berada di dalam kamar, tapi untuk keluar kamar, rasanya ogah, sebab pasti banyak basa-basi dari ibu barunya.

"Sebentar lagi Ayah datang," gumamnya kemudian beranjak keluar dari kamar. Dugaannya tepat, belum sampai ia menutup pintu kamar, sudah terdengar deru mobil dari luar rumah. Itu pasti Ayah. Dengan girang Arumi berlari hendak menemui ayahnya, tapi ternyata Lara dan Kirana sudah terlebih dahulu menunggu di luar pintu.

"Ayah," panggilnya pada Erza yang kebetulan bersamaan dengan Lara. Lara menoleh pada Arumi dan mereka sejenak saling melihat. Lara kemudian berpaling, seperti hendak mendahului Arumi menghampiri Erza, tapi Arumi melihat Kirana dengan cepat mengenggam tangan Lara seolah menahannya agar tetap diam ditempat, dan membiarkan dia yang terlebih dahulu menyambut ayahnya. Arumi dapat menangkap maksud ibu tirinya itu. Ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Arumi segera menghampiri ayahnya, lalu membawakan tas kerja serta paper bag cokelat berukuran lumayan besar yang masih berada dalam jok mobil. Paper bag itu dirasa Arumi lumayan berat, sehingga ia membukanya karena penasaran dengan apa yang ada di dalam tas belanja tersebut.

"Wah, Ayah membeli apel buat Arumi?" teriak Arumi sambil melompat-lompat senang serta memperlihatkan buah berwarna merah segar tersebut pada ayahnya. Erza hanya tersenyum, lalu meraih apel royal gala dan tas dari bahan kertas tersebut dari tangan Arumi.

"Maaf ya, Sayang, tapi apel ini titipan Lara. Tadi pagi Lara yang memesannya pada Ayah. Arumi ingin apa? besok ganti Ayah belikan buat Arumi, ya," terang Erza tanpa memikirkan perasaan Arumi sedikitpun. Tak hanya Arumi, Kirana dan Lara pun terlihat kaget dengan ucapan Erza. Arumi memandang Lara dengan tatapan tajam ketika Lara menjelaskan bahwa Ayah Erza hanya salah sangka. Ia tak meminta Ayah Erza membelikan apel tersebut, melainkan hanya berkata bahwa ia ingin apel royal gala ketika melihat iklan di televisi kemarin sore.

Apa bedanya? protes Arumi dalam hati. Jadi Lara hanya bilang ingin saja sudah langsung dibelikan. Sementara Arumi telah dilupakan. Sebegitu sayangkah Ayah pada Lara? hati Arumi menjadi campur aduk. Ia merasa sangat malu, kesal, dan juga cemburu pada Lara, hingga ia tak dapat berkata apapun. Arumi kemudian berlalu menuju kamarnya. Ia melangkah cepat dengan sedikit menunduk, menutupi kesedihan yang keluar di ujung matanya. Niatnya untuk berbaikan dengan ayahnya kini justru membuatnya semakin kesal.

Sejenak kemudian, terdengar suara Lara memanggilnya. Arumi segera menghapus air matanya agar tak terlihat lemah. Hatinya bergemuruh, tapi kali ini ia berusaha sekuat tenaga menahannya agar tak meledak. Bukan hanya Lara saja yang bisa menahan kemarahannya. Aku jauh lebih baik dibandingkan Lara. Aku enggak boleh nangis,

"Arumi," Lara memanggilnya sekali lagi. Ia menyodorkan satu tas apel yang dibelikan Erza sambil berkata bahwa apel tersebut untuknya saja.

"Kenapa? Itu kan buat kamu. Sudah, sana, aku lagi main gim!" sentak Arumi yang tengah berpura-pura memainkan gim di ponselnya. Lara terdiam, ia kemudian hanya meletakkan buah tangan dari Erza di sebelah Arumi, kemudian menuju meja belajarnya untuk melanjutkan membaca novel yang belum selesai dibacanya. Arumi yang sebenarnya sedang sangat kesal, merasa ingin sekali melempar apel-apel tersebut ke segala penjuru. Ia benci dengan apel itu, ia benci dengan Lara, dan ia sangat benci dengan ayahnya.

Arumi lagi-lagi mengambil napas dalam-dalam, dan menghembuskannya pelan agar tidak emosi pada Lara. Namun, ditengah usahanya menahan marah, Lara justru memancingnya agar mau bicara dengan membahas permasalahan tadi siang mengenai siapa di antara mereka yang lebih pantas disebut sebagai kakak. Arumi sebenarnya tidak ingin membahas apapun, tapi ucapan Lara menimbulkan tanda besar baginya. Arumi mulai memperbaiki duduknya agar lebih tegak, dan menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur, dan berpura-pura ogah-agahan menanggapi ucapan Lara meski sebenarnya penasaran dengan apa yang akan diucapkan Lara.

"Menurutmu?" tanya Arumi kemudian.

Lara mulai menjelaskan bahwa seharusnya mereka berdua tidak perlu ada yang dianggap kakak sebab usia yang hanya terpaut empat bulan. Arumi mengernyitkan kening, ia merasa ucapan Lara hanyalah hasutan untuknya sebab Lara tak mau menganggapnya kakak. Arumi masih bersikukuh bahwa bagaimanapun juga dirinya yang harus dianggap kakak karena ia berada di kelas yang lebih tinggi daripada Lara.

"Enggak bisa begitu, aku kan kelas sebelas. Jadi tetap gimana-gimana aku kakaknya," tolak Arumi mentah-mentah. Arumi tidak habis pikir, kenapa susah sekali bagi Lara untuk menganggapnya kakak. Ia terus saja tak setuju dengan pendapat-pendapat yang diutarakan Lara. Begitu juga dengan Lara yang tak mau menganggap Arumi sebagai kakak sebab ia dilahirkan terlebih dahulu, sehingga mereka berdua malah berdebat sengit.

"Percuma, di sekolah kamu tetap wajib memanggilku kakak," ujar Arumi kemudian. Lara beranjak dari kursi belajarnya. Ia melangkah lebih dekat ke Arumi dan mengatakan bahwa sebisa mungkin ia tak akan berurusan dengan Arumi di sekolah, daripada harus memanggilnya kakak.

-Bersambung-

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang