Bagian XXIV

30 7 0
                                    

Arumi

"Eh, aku tadi melihat ada anak kelas sepuluh turun dari mobilmu," ucap Nadine pada Arumi. Mata Arumi membulat. Padahal ia tak ingin teman-temannya sampai mengetahui hal tersebut.

"Untung saja Pak Isham belum datang. Biasanya dua menit usai bel bunyi dah sampai pintu. Thank's ya, Nad. Dah bantuin aku," ujar Arumi mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Iya. Kamu benar-benar masih beruntung. Kalau enggak gitu, kamu dah dijemur di sana, Rum," timpal Nadine sambil menunjuk tengah lapangan. Belum juga Nadine menurunkan telunjuknya, guru laki-laki berbadan tegap dengan kulit berwarna coklat gelap dan kacamata tebal, memasuki kelas mereka.

"Aih, umur panjang, deh," bisik Arumi sambil terkikih. Pelajaran matematika berjalan amat menegangkan. Karena jarang tersenyum, guru matematika tersebut terlihat begitu mengerikan meski tidak sedang marah kepada siapapun, sehingga tak ada yang berani bercanda ataupun membuat kesalahan saat pelajaran berlangsung. Namun, di sisi lain, Arumi mulai penasaran dengan apa yang telah dilakukan Nadine sehingga pintu gerbang masih belum dikunci oleh security sekolah.

Tadi kamu pakai trik apa? tulis Arumi pada lembar tengah buku tulisnya, lalu menggeser buku tersebut hingga menyentuh jari Nadine. Nadine membaca tulisan tersebut sebentar, kemudian menuliskan sesuatu.

Nanti aja lah, ceritanya panjang. Nanti bisa gawat kalau ketahuan Pak Isham. balas Nadine, lalu menggeser balik buku tersebut ke arah Arumi.

"Ish, takut amat, sih, lo!" bisik Arumi lagi sambil menendang kaki Nadine. Nadine yang terkejut, reflek berteriak sehingga semua orang yang berada dalam keras memandang ke arah mereka. Tak terkecuali dengan Pak Isham. Pak Isham berdehem keras. Suaranya yang setengah serak, membuat sosok tersebut semakin menakutkan.

"Ada apa?" tanya Pak Isham dengan sorot mata tajam.

"Eh, tidak apa-apa, Pak. Jari Nadine hanya terjepit sedikit," Nadine berkilah. Ia segera menjauhkan tangannya dari buku tulis yang memuat percakapannya dengan Arumi. Khawatir Pak Isham mengetahui bahwa buku tersebutlah biang kerok kegaduhan yang terjadi.

"Baik, semua kembali lagi menghadap sini," perintah guru matematika tersebut sambil melanjutkan menulis soal-soal latihan di white-board besar yang tergantung kokoh di dinding kelas. Kelas kembali sunyi, hanya terdengar suara goresan dan ketukan dari spidol biru bermerek manusia salju. Selang dua jam, bel pergantian jadwal pelajaran berdering. Seisi kelas bernapas lega usai Pak Isham keluar dari kelas mereka.

"Gimana tadi? Ayo lah ceritain," pinta Arumi sambil menarik-narik lengan Nadine.

"Enggak sabaran banget sih, kamu!" jawab Nadine yang tengah sibuk mengemasi peralatan sekolahnya sebab mereka hendak pindah ke kelas mata pelajaran lain. Nadine tak menghiraukan Arumi yang kian merengek seperti bayi. Baginya, tiba di kelas mata pelajaran tepat pada waktunya merupakan suatu hal yang utama.

"Oke, oke. Nanti kalau sudah jam istirahat," ucap Nadine kemudian.

"Kelamaan lah," Arumi mendengus kesal, tapi meski kecewa, ia tetap berjalan di sebelah Nadine.

"Daripada enggak,"

"Hmmm… ya, lah,"

***

Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu Arumi telah tiba. Bel istirahat berdering begitu nyaring hingga memekakkan telinga seluruh siswa. Kecuali Arumi yang memang menantikan suara tersebut sejak tadi pagi. Kini saat bagi Arumi menagih janji pada Nadine, temannya yang sok konsisten sehingga membuat mereka sering bertengkar layaknya Tom & Jerry, tapi juga sangat baik hati sehingga membuat mereka cepat akur kembali.

"Baiklah, dengarkan ceritaku baik-baik sebab aku tak akan mengulanginya," ujar Nadine cepat sehingga membuat Arumi justru tampak sedikit malas dengan ketentuan yang dibuat Nadine. Arumi hanya memutar bola matanya ke atas, sebab terkadang butuh waktu baginya untuk mencerna kalimat yang disampaikan orang lain, terlebih ketika Nadine yang berbicara. Ia pasti akan bercerita dengan cepat hampir tanpa tanda titik dan koma, sehingga seringkali susah untuk dipahami.

"Sebenarnya tadi aku hanya sedikit mengelabui satpam sekolah di menit-menit terakhir sebelum bel masuk, dengan mengatakan bahwa ada salah satu guru yang sedang mencarinya. Aku sengaja mengerjainya di tujuh menit terakhir karena menurutku saat itulah dia tidak akan bisa berbuat apa-apa dengan pintu pagar. Dengan kata lain.."

"Permisi, apa aku bisa menemui Kak Arumi?" ujar seorang siswi sehingga membuat ucapan Nadine terhenti. Arumi dan Nadine memicingkan matanya. Namun, sorot cahaya matahari dari luar kelas, membuat wajah siswi yang berdiri di tengah-tengah pintu itu tak terlihat jelas.

"Tuh, Rum, dicariin," ucap Nadine pada Arumi.

"Ish, mengganggu saja. Nanti janji lanjutin ceritanya, ya," Arumi menyipitkan matanya sekali lagi, tapi silau dari cahaya matahari benar-benar membuat wajah anak itu tak terlihat sama sekali. Namun, Arumi mencoba menerka-nerka lewat suaranya.

"Sepertinya aku kenal suara itu," bisik Arumi yang tak juga beranjak dari tempat duduknya.

"Udah, sana dulu. Lagipula enggak mungkin penculik bisa masuk sekolah kita," Nadine mendorong Arumi sehingga tubuhnya keluar dari kursi yang didudukinya. Arumi memanyunkan bibirnya ke arah Nadine, lalu berjalan cepat menemui siswi yang mencarinya tadi. Dari badge berbentuk segitiga berwarna ungu di sisi kanan lengan anak tersebut, Arumi dapat langsung mengenali bila sosok tersebut berasal dari kelas sepuluh.

"Lara?" Mata Arumi terbelalak ketika mengetahui bahwa ternyata yang mencarinya adalah Lara. Arumi dengan ketus bertanya kenapa Lara mencarinya. Lara yang semakin kesal dengan sikap Arumi, akhirnya menarik lengan Arumi dan mendudukkannya di bangku panjang depan kelas. Tanpa sepengetahuan mereka, ternyata teman-teman kelas Arumi mengintip mereka dari dalam kaca karena ingin tahu apa yang terjadi antara Arumi dengan anak kelas sepuluh tersebut.

"Ini tadi bekal kamu enggak kebawa," Lara menyodorkan kotak makan berwarna hijau yang dilihatnya tadi pagi. Arumi mengernyitkan dahinya. Apa hanya karena ini hingga Lara menarikku seperti itu? tanya Arumi dalam hati.

"Oh iya, aku juga ingin bertanya padamu. Sebenarnya apa masalahmu sehingga dua hari ini kamu terlihat sangat memusuhiku dan juga Mama?" pertanyaan Lara membuat Arumi ingin tertawa, juga ingin marah karena menanyakan hal tersebut di tempat yang tidak tepat.

"Kamu masih tak mengerti juga? Atau hanya berpura-pura bodoh?" Arumi justru balik bertanya pada Lara. Lara yang dibilang bodoh oleh Arumi, tak terima sehingga langsung mengungkapkan kekesalannya.

"Kalau masalahmu hanya karena tidak ingin menganggapku sebagai kakak, aku tidak masalah. Tapi aku juga tidak mau bila harus menganggap anak emosian sepertimu sebagai kakak," ujar Lara kemudian. Lara segera kembali ke kelasnya, dan meninggalkan Arumi yang tengah berusaha menahan marah. Arumi tidak mau terjadi keributan sehingga teman-temannya tahu bahwa Lara kini telah menjadi saudara tirinya. Namun, ia dan Lara tadi berbicara cukup keras, sehingga banyak teman-temannya yang telah mendengar perselisihan mereka.

"Jadi kalian sekarang telah menjadi saudara? Dan Lara yang masih kelas sepuluh adalah kakak tirimu? Oh ya Tuhan… kenapa bisa seperti itu? Sedungu apakah saudara tirimu sehingga ia tertinggal di kelas sepuluh?" mulut Nadine yang cablak, asal berkata tanpa memikirkan perasaan Arumi. Arumi segera menyumpal mulut Nadine dengan sapu tangannya hingga Nadine terbatuk-batuk. Ia kemudian meninggalkan temannya itu tanpa berkata apapun, dan berjalan cepat menyusuri koridor untuk menuju suatu tempat.

Yang benar saja. Dia malah membicarakan hal semacam itu di depan teman-temanku. Dasar Lara dungu! omel Arumi dalam hati.

-Bersambung-

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang