Bagian XIV

41 8 0
                                    

Arumi.

Arumi memandangi Erza yang masih mengenakan jas pernikahan. Hari ini penampilannya tampak berbeda dari hari-hari biasanya. Hari pernikahan kedua ayahnya, mengubah orang yang sangat dicintainya tersebut, menjadi sosok yang amat tampan dan kembali muda.

Wajah ayah masih sama seperti di album foto pernikahan ayah dengan ibu, batin Arumi sambil senyum-senyum sendiri.

"Habis ini kita jemput Tante Kirana dan Lara, ya," ujar Erza usai mengakhiri panggilan teleponnya. Namun, Arumi tak sadar jika Erza  sedang berbicara padanya, sehingga Ia tetap melamun dan tersenyum-senyum sendiri.

"Hello, Anak Baru Gede, lagi ngelamunin apa, sih?" seru Erza sambil memencet hidung Arumi karena gemas. Arumi terperanjat dan pipinya  memerah seketika.

"Eh, enggak kok, Arumi enggak mikir apa-apa. Hihi," Arumi terkikih mengingat-ingat apa yang barusan dilamunkannya.

"Habis ini kita jemput Tante Kirana dan Lara, ya," Erza mengulangi ucapannya lagi. Arumi mengernyitkan dahinya, lalu mengingat-ingat jadwal yang disusun dengan ayahnya itu.

"Memang mau ke mana?" tanya Arumi usai mengingat bahwa tidak ada rencana apapun sebelumnya.

"Menjemput Lara dan Tante Kirana. Ya ampun, sejak kapan putri ayah jadi loading lambat begini?"

"Maksud Arumi, kita jemput mereka itu memangnya kita mau ke mana? Ayah aja yang lola, ih," jawab Arumi kesal.

"Ya ke rumah baru, lah, Sayang. Mau kemana lagi? Ke Bulan? Atau ke planet Mars?" ujar Erza yang semakin geregetan. Arumi masih tak begitu mengerti ucapan ayahnya.

Bagaimana mungkin pindah hari ini juga, barang-barang di sini saja masih belum ada yang dipindahkan ke sana. Masa mau pindah ke rumah yang masih kosong, gitu? pikir Arumi.

"Jadi habis ini semua barang yang ada di sini dan di rumah Tante Kirana, kita pindahin ke sana semua, gitu?"

"Enggak, Sayang. Di sana sudah Ayah siapkan semua. Semua barang sudah ada, Arumi tinggal bawa barang-barang yang masih diperlukan saja,"

"Lalu, perabotan  yang di sini?" tanya Arumi lagi.

"Biar di sini saja. Rumah ini sudah disewa orang lain. Jadi daripada mindahin barang seisi rumah ini, lebih baik beli lagi saja, yang di sini biar dirawat sama orang yang menyewa rumah,"

Arumi hanya melongo. Banyak pertanyaan yang akan disampaikannya, tapi ia khawatir akan mengubah mood ayahnya.

"Oh ya, mulai sekarang Arumi bisa memanggil Tante Kirana dengan sebutan ‘Mama’," ucap Erza sambil mencolek hidung Arumi.

"Mama? Mmm, aneh banget mengucapkannya. Kenapa enggak ‘Ibu’ aja sih?" protes Arumi pada Erza.

"Biar sama dengan Lara. Kan Lara manggil Tante Kirana dengan sebutan Mama. Masa sekarang kalian sudah menjadi saudara dan punya orang tua yang sama, tapi manggil orang tuanya tidak kompak. Satunya manggil Mama, satunya lagi manggil Ibu. Hmm, apa kata dunia?" ucap Erza menerangkan alasan mengapa meminta Arumi memanggil Kirana dengan sebutan "Mama".

"Arumi enggak peduli kata dunia. Arumi peduli dengan kata Ayah saja,"  Mereka berdua tertawa terbahak. Di saat bersamaan, Arumi memperhatikan wajah ayahnya yang sedang bahagia. 

Hari ini hari pernikahan Ayah, hari bahagianya Ayah, Arumi enggak boleh membuat Ayah sedih. Khusus hari ini, Arumi akan mengiyakan semua ucapan Ayah. Lagipula, Ayah benar, hanya satu ibu Arumi, dan tidak akan tergantikan oleh siapapun. Ibu, dan Mama, mereka sama-sama istri Ayah, tapi hanya satu yang telah melahirkan Arumi.

***

Jadwal menjemput Kirana dan Lara di rumah Eyang, mundur jauh dari rencana awal. Yang tadinya prediksi waktu berkemas hanya satu jam, ternyata memakan waktu hingga 2,5 jam. Banyak sekali barang yang Arumi minta untuk dibawa ke rumah baru mereka. Pakaian selemari penuh, buku-buku pelajaran dan bacaan, boneka-boneka, aksesoris yang berjumlah lebih dari seratus buah, serta foto-foto kenangan bersama mendiang ibunya, serta sepatu-sepatu yang tersimpan di bawah kolong tempat tidur.

"Benda terakhir," ucap Arumi sambil memasukkan lampu tidur proyektor kura-kura ke dalam kotak kardus besar keempat yang dipenuhinya dengan berbagai barang berharganya. Lampu itu memiliki kenangan berarti karena dibelikan ibunya ketika ia masih berusia sepuluh tahun

"Masih ingat, tidak? Dulu Arumi minta beli lampu itu sampai nangis-nangis, loh" ujar Erza mengingatkan Arumi pada masa kecilnya yang suka memaksa membeli segala sesuatu.

"Masih ingat. Waktu itu Ayah pelit, sih. Enggak ngebolehin Arumi beli. Padahal uangnya banyak," jawab Arumi dengan muka cemberut.

"Eh, mana ada? Sebenarnya waktu itu bukan karena Ayah pelit, tapi Arumi sudah minta beli lampu yang sama juga. Masa beli benda yang sudah dipunyai, sih. Jadi menurut Ayah ya enggak usah dibelikan, gitu," kata Erza mencoba menjelaskan alasannya tak memperbolehkan Arumi membelinya kala itu.

"Tapi Ayah kalah sama Ibu, kan?" olok Arumi pada ayahnya.

"Ayah memang sudah enggak bisa berkutik kalau berurusan dengan mendiang Ibu. Ah, sudah-sudah, malah ngobrol lagi. Kita sudah ditunggu Mama dan Lara, nih," jawab Ayah.

Hati Arumi berdesir ketika ayahnya menyebut Tante Kirana dengan sebutan “Mama”. Ia masih merasa aneh dan masih ada sedikit tak rela. Seperti biasa, Arumi menyambar ransel di atas tempat tidur, dan membawa beberapa tumpuk kotak kardus sebesar kardus mie instan, yang tidak terlalu berat.

"Empat kardus besar-besar itu dinaikkan ke atas mobil, Yah?," tanya Arumi iseng.

"Nanti diangkut sama orang-orang jasa angkut barang pindahan," jawab Ayah.

"Oh, begitu," ujar Arumi.

Arumi berjalan cepat menuju mobil karena kotak kardus yang ia bawa lumayan banyak, dan khawatir terjatuh apabila terlalu lama dengan kedua tangan kurusnya. Mobil mereka dengan cepat melaju ke kediaman Kirana. Tak ada perubahan apapun pada rumah itu. Sama persis dengan yang Arumi lihat beberapa bulan lalu. Tanpa diduga, ternyata semua keluarga yang berada dalam rumah tersebut telah menunggu untuk menyambut mereka. Arumi sedikit canggung menghadapi pertanyaan-pertanyaan Eyang Puteri, Eyang Kakung, Tante-tante Lara, dan adik-adik sepupunya.

"Nduk ayu, nanti yang akur ya sama Lara," kata Eyang Puteri mewanti-wanti Lara dan Arumi agar tak mudah bertengkar.

"Inggih, Eyang Puteri. Eyang Puteri dan Eyang Kakung jangan sampai lupa, ya. Mulai sekarang cucu Eyang Puteri dan Eyang Kakung bertambah satu, namanya Arumi," jawab Arumi yang membuat seisi rumah tertawa.

Lara mengajak Arumi masuk ke kamarnya sementara Ayah berbincang-bincang dengan Eyang Kakung dari A hingga Z.

Kemudian Erza mohon pamit pada kedua orang tua Kirana, untuk memboyong Lara dan Kirana menuju tempat tinggal baru mereka. Erza dan Arumi kemudian menyalami satu persatu anggota keluarga di rumah tersebut. Saat giliran Lara mohon pamit, Arumi begitu terharu dan hendak ikut menangis ketika melihat Lara membungkuk dan berucap banyak hal pada Eyang Puteri dan Eyang Kakung, kemudian menangis karena akan tinggal terpisah dengan mereka.

Lalu, bagaimana dengannya? Apakah aku harus memanggilnya Kakak? tanyanya Arumi dalam hati.

-Bersambung-

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang