Bagian XII

46 9 0
                                    

Arumi.

Arumi, Erza, dan Kirana tertawa bersama-sama. Mereka terlihat sangat sangat akrab. Arumi melihat Lara juga ikut tertawa melihat candaan mereka. Tapi sekilas, Arumi juga melihat Lara yang tiba-tiba terdiam dan memikirkan sesuatu.

Kenapa dia? pikir Arumi yang masih menertawakan ayahnya. Tak berselang lama, dua pelayan pria datang dengan membawa nampan lebar berisi beberapa macam masakan pada piring saji yang mereka susun menjadi dua hingga tiga tumpuk. Kedua waiters tersebut dengan cekatan meletakkan satu persatu hidangan ke atas meja, tanpa ada yang tumpah sedikit pun. Melihat banyak menu lezat, Arumi menjadi sangat berselera dan berniat hendak mengambilnya, tapi urung karena ayahnya terlebih dahulu mengambil piring.

"Lara tadi pesan yang apa? Lara langsung ambil saja enggak perlu malu-malu," ujar Erza sambil menyodorkan sebuah piring dan sendok ke hadapan Lara.

"Terima kasih, Om," sahut Lara dengan tersenyum meski sebenarnya ia tak enak pada Arumi yang memandang ayahnya dengan penuh heran. Tadinya, ia mengira bahwa ayahnya mengambil piring untuknya, tapi ternyata pemikirannya salah, kini ia merasa bahwa ia bukan prioritas ayahnya lagi.

"Sebentar ya, Lara. Biar mama mengambilkan dulu untuk Arumi," sela Kirana yang membuat putrinya tidak jadi mengambil makanan. Lara bersyukur mamanya dengan cepat menghentikannya, sehingga ia tak perlu merasa sungkan lagi pada Arumi.

 "Terima kasih, Tante," ucapnya pada Kirana. 

Lara, tidak cemburu kah kamu pada ibumu?  batin Arumi penuh tanda tanya pada Lara. Ia dengan cepat menyendok makanan yang diambilkan Kirana untuknya. Setelah makan siangnya habis, ia tidak lagi banyak bicara. Bahkan, ia berbicara apabila ada pertanyaan dari mereka saja, dan sesekali ikut tersenyum dan tertawa meskipun sebenarnya ia enggan melakukannya.

[Arumi, sudah naik berapa level gimmu? Sebentar lagi, Tante akan mendahuluimu] usai membaca pesan singkat di layar ponselnya, Arumi mendongakkan kepalanya, memandang ke arah Kirana dengan dahi sedikit mengerut.

"Ssst!" Kirana memberi isyarat agar percakapan mereka pada pesan singkat, tidak diketahui oleh lainnya.

[Mana mungkin? Level Tante Kirana masih jauh di bawah Arumi] balas Arumi dengan menambahkan emotikon tertawa lebar. Tidak sampai 15 detik, masuk balasan pesan lagi. Sebuah screenshoot foto yang menunjukkan sampai mana level Kirana.

[276] tulis Kirana pada keterangan gambar yang dikirimkan. Mata Arumi seketika terbelalak, hanya berada 17 level di bawahnya. Padahal, tante Kirana baru memsang aplikasi gim itu dan mulai memainkannya usai pertama kali mereka bertemu.

[Bagaimana bisa?] balas Arumi seakan tak percaya.

[Bisa, dong] jawab Kirana dengan memberi stiker bergerak, menggambarkan seorang wanita yang mengibaskan rambut panjangnya. Keseruan chatting mereka dan perlakuan Kirana yang amat baik padanya, membuat kekecewaan Arumi pada ayahnya berangsur mereda. Perbincangan mereka telah selesai. Kecemburuan Arumi pada Lara yang belum sepenuhnya hilang, membuat Arumi malas untuk mengantar Lara dan ibunya kembali ke rumah.

"Kita langsung ke rumah Nara saja, Yah. Arumi ada tugas kerja kelompok di rumah Nara," ucap Arumi sambil mengemasi barang-barang dalam tas yang tadi dikeluarkannya ke atas meja makan.

"Kok baru bilang, terus Lara sama tante Kirana pulangnya bagaimana?" tanya Erza setengah khawatir.

"Tidak masalah. Kita tadi juga berangkatnya jalan kaki," sahut Lara yang seakan bisa membaca kebingungan Erza.

****

Erza melirik jam tangannya. Ia sama sekali belum mendengar langkah Arumi menuruni tangga. Biasanya sebelum pukul 5:30 pagi, putrinya itu sudah gaduh berlari-lari kecil menuju meja makan.

"Selamat pagi, Ayah." ucap Arumi sambil mengagetkan ayahnya.

"Eh, bikin kaget saja. Loh kok belum pakai seragam?" tanya Erza kemudian.

"Seragamnya masih kotor. Lupa belum masuk binatu. Hehe," jawab Arumi sambil meringis. Ia kemudian duduk dan menyeret nasi goreng di hadapannya.

"Jadi?"

"Libur, dong. Kita jalan-jalan saja,"

"Hah?" Erza terkejut dengan ucapan Arumi. Ia tampak berpikir sejenak.

"Apa Arumi enggak malu sama teman dan guru kalau ketahuan malah jalan-jalan?" tanya Erza sekali lagi.

"Enggak. Kan mereka ada di sekolah. Kalau ada yang tahu Arumi jalan-jalan, berarti orang tersebut juga lagi bolos," ujar Arumi seenaknya. Sontak Erza tertawa mendengar jawaban Arumi yang memang masuk akal. Bersamaan dengan itu, ia jadi ingat sesuatu.

"Kalau gitu, kebetulan. Kita lihat rumah baru kita saja gimana?" ajak Erza.

"Ayah sudah beli rumahnya?" tanya Arumi masih tak percaya.

"Sudah minggu lalu, sih. Belinya patungan sama Tante Kirana, jadi ayah minta Tante Kirana dan Lara saja yang pilih. Mereka sudah melihat-lihat ke sana, dan kata Tante Kirana, rumahnya bagus," jawab Erza.

Arumi diam sejenak. Terbesit sedikit rasa kecewa karena Tante Kirana yang memilih rumah baru mereka, padahal dulu ayahnya pernah bilang bahwa dia boleh memilih sendiri rumah yang disukai.

"Mmm… begini Sayang, Ayah bisa saja membeli rumah dengan uang ayah sendiri, dan Arumi yang memilih sendiri, tapi Tante Kirana maunya kita bayar patungan, sebab Tante Kirana tidak mau nanti dibilang materialistis. Belum-belum sudah minta belikan rumah baru segala macam," terang Erza agar putrinya tak lagi merajuk. Arumi menghela napas panjang, kemudian mengangguk.

"Iya, Arumi enggak masalah. Lagipula Tante Kirana seleranya bagus," ujar Arumi kemudian. Usai sarapan, tanpa mengganti piyama panjang yang dikenakan, Arumi langsung menuju mobil ayahnya yang terparkir di halaman depan. Erza tak mempermasalahkan selera pakaian Arumi selama masih tertutup. Hanya 45 menit waktu perjalanan mereka menuju ke rumah baru tersebut.

"Kita sudah sampai," kata Erza usai menghentikan mobilnya di sebuah halaman rumah yang lumayan luas. Mata Arumi seketika membulat ketika pandangannya menjurus pada bangunan rumah di hadapannya. Ia tak peduli seberapa besar rumah tersebut, tapi ia begitu terpana saat melihat rumah tersebut dicat dengan warna-warna kesukaannya. Perpaduan warna putih, hijau muda dan hijau pupus.

"Bagus sekali," ucap Arumi yang tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada rumah tersebut. Erza akhirnya merasa lega melihat Arumi senang dengan rumah barunya.

"Kita lihat ke dalam, ya," Erza segera memasang anak kunci dan memutarnya perlahan, lalu menunjukkan pada Arumi setiap ruangan yang terdapat dalam rumah tersebut. Arumi hanya mengangguk-angguk saja karena memang masih tidak ada barang apapun di situ.

"Besok ruangan ini jadi kamar Arumi," tunjuk Erza pada sebuah kamar yang memiliki luas dua kali lipat dari kamar Arumi di rumah.

"Kamar ini terlalu luas. Tapi enggak apa lah, buat tempat baca-baca buku di sebelah sini," ujar Arumi sambil merentangkan kedua tangannya, seolah sedang mengukur lebar ruang baca yang dibayangkannya.

"Bukan begitu, Sayang. Arumi tidak sendirian di kamar ini, melainkan ada Lara juga,"

"What? Ayah please, ya, Arumi dari dulu kan kamarnya sendirian, jadi mana mungkin Arumi sekarang harus sekamar sama Lara?" protes Arumi.

"Menurut ayah, kalian memang harus sering bersama agar bisa lebih cepat mengenal satu sama lain," kata Erza mencoba meyakinkan Arumi.

"Bukan dengan cara begini juga,"

"Kalian berdua kan sama-sama suka boyband Korea, tuh. Pasti seru kalau Arumi dan Lara setiap hari bahasin itu," Arumi yang tadinya cemberut, kini mulai membayangkan tentang keseruan mereka membicarakan K-pop, menghias kamar dengan foto-foto Hyuka yang tampan melejit. Mau tak mau, akhirnya ia mengalah dan menerima keputusan sekamar bersama Lara.

Tapi aku tak bisa menjamin kalau aku akan cocok dengannya. batin Arumi bersamaan dengan pandangan kosongnya.

-Bersambung-

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang