Bagian XXXIX

34 7 0
                                    

Ponsel pintar Arumi berdering. Ayah menelepon Arumi lagi.

“Iya Ayah?” kata Arumi saat mengangkat telepon.

“Kalian sudah bersiap?” tanya Ayah. Arumi menyalakan pengeras suara pada ponselnya agar Lara juga dapat mendengar suara Ayah.

“Tinggal masukin baju-baju Mama,” jawab Arumi.

“Nggak usah dulu, nanti saja. Kalian ke sini saja dulu naik taksi,” kata Ayah.

Lara dan Arumi saling berpandangan mendengar perintah Ayah. Sesuatu telah terjadi jika mereka disuruh ke rumah sakit tanpa perlengkapan Mama. Tetapi mereka tak tahu “sesuatu” apa kah itu.

“Oke, Ayah. Kami berangkat sekarang,” jawab Arumi. Kemudian ia matikan ponselnya.

Lara bangkit dan duduk di sisi tempat tidurnya.

“Kamu mau ganti baju dulu?” tanya Arumi.

“Mungkin cuci muka,” jawab Lara. Arumi mengangguk.

“Bisa sendiri atau perlu aku bantu?” tanya Arumi sigap. Dia bersiap memapah Lara lagi.

“Aku sudah nggak apa-apa. Tolong ambilkan botol air itu saja,” pinta Lara sambil menunjuk ke arah meja belajarnya. Ada botol air minum yang setengah penuh di sana.

“Ini,” ujar Arumi sembari menyodorkan botol air minum itu. Lara menerima botol itu dan meneguk isinya. Tidak sepahit tadi, pikir Lara.

“Aku cuci muka dulu,” kata Lara yang kemudian berdiri dan berjalan ke kamar mandi.

“Bisa sendiri?” tanya Arumi khawatir.

“Aman,” jawab Lara sambil lalu.

Arumi pun bingung apa yang harus ia lakukan setelah Lara ke kamar mandi. Ia pun berinisiatif mengisi botol air minum Lara hingga penuh, serta mengisi botol airnya sendiri. Arumi mengambil tas ranselnya, memasukkan botol air itu, sekantong tisu, dompet, ponsel, dan power bank. Jaga-jaga takut ponsel mereka kehabisan baterai.

Tak lama Lara selesai dari kamar mandi. Arumi keluar kamar untuk memberi Lara privasi berganti pakaian. Tak butuh waktu lama, Lara sudah siap dan membuka pintu kamar, tanda Arumi boleh masuk.

“Terima kasih sudah ngisi botol aku, ya,” kata Lara sambil memasukkan botol itu ke dalam ranselnya. Lara pun memasukkan ponsel dan dompet.

“Ayo kita berangkat,” ajak Arumi. Lara mengangguk setuju.

Taksi daring yang dipesan Arumi telah tiba di depan rumah Lara dan Arumi. Pengemudinya menelepon Arumi untuk mengabarkan keberadaannya. Lara dan Arumi pun bergegas keluar dari rumah.

“Arumi, jangan lupa kunci pintunya,” kata Lara.

“Oh iya,” ujar Arumi berbalik ke pintu rumah. Ia pun mengunci pintu rumah dan menyerahkan kuncinya pada Lara.

“Kamu aja yang pegang, ya,” kata Arumi.

“Oke,” balas Lara yang kemudian memasukkan kunci rumah ke saku samping ranselnya. Lara pun menutup resleting saku itu.

“Rumah sakit, ya, Kak?” tanya pengemudi itu ramah.

“Iya, Pak,” balas Arumi.

Mobil itu pun mulai bergerak. Di sepanjang perjalanan, Lara dan Arumi lebih banyak diam dengan pikiran masing-masing. Tetapi, hal yang mereka pikiran sama. Mereka berdua sama-sama khawatir akan kondisi Mama. Perjalanan ke rumah sakit kali ini, bukan perjalanan yang menyenangkan.

Mobil yang mereka tumpangi tiba di pintu masuk rumah sakit.

“Di sini atau di IGD, Kak?” tanya sang pengemudi.

“Di sini saja, Pak,” jawab Lara. Ia mulai bersiap turun. Tak lama kemudian, mobil itu benar-benar berhenti di depan pintu lobi rumah sakit.

Satpam yang berjaga di pintu lobi dengan sigap membantu Lara membuka pintu. Lara dan Arumi pun turun.

“Terima kasih, Pak,” ujar Arumi pada pengemudi taksi daring yang mengantar mereka ke rumah sakit.

“Terima kasih, Pak,” susul Lara.

“Iya, Kak, sama-sama,” balas sang pengemudi.

“Terima kasih, Pak” kata Lara pada Pak Satpam yang berjaga di pintu lobi. Satpam tersebut tersenyum sembari menganggukkan kepalanya pada Lara dan Arumi. Menyapa mereka dengan sapaan hangat, seakan tahu bahwa Lara dan Arumi tengah dilanda kagalauan tentang kondisi Mama.

“Pak, ICU di sebelah mana?” tanya Arumi.

“Di sayap timur, Mbak. Tapi sekarang bukan jam berkunjung,” jelas Pak Satpam.

“Kami mau bergantian menjaga Mama kami, Pak. Ayah kami yang memanggil kami ke mari,” ujar Lara khawatir.

“Oh, baik kalau begitu. Mbak berdua jalan saja lurus, kemudian belok kanan. Perhatikan papan petunjuk, di sana ada papan petunjuk ke ICU,” jelas Pak Satpam.

“Terima kasih, ya, Pak,” ujar Arumi. Lara dan Arumi pun menyusuri koridor yang ditunjuk Satpam itu.

Jalan di rumah sakit ini berliku-liku. Sebenarnya, akan lebih cepat menuju ruang ICU jika mereka masuk melalui pintu IGD. Tetapi, Lara dan Arumi terlambat mengetahui hal itu. Mungkin karena mereka memang jarang ke rumah sakit ini. Hal yang patut disyukuri oleh mereka berdua.

Setelah beberapa kelokan dan papan petunjuk, Lara dan Arumi sampai juga di ruang ICU. Di ruang tunggu ICU, Ayah sedang duduk sendiri dan termenung.

“Ayah,” sapa Arumi.

“Arumi, Lara, kalian baik-baik saja saat ke sini?” tanya Ayah khawatir. Ayah segera berdiri melihat dua anak gadisnya tiba.

“Aman, Ayah. Tadi ada satpam yang membantu kami menunjukkan jala menuju ICU,” jelas Arumi.

“Mama gimana, Ayah?” tanya Lara khawatir.

“Kalian duduk dulu!” suruh Ayah. Lara dan Arumi pun duduk di ruang tunggu ICU berpendingin udara itu. Ruang tunggu ICU berbeda dengan ruang tunggu lainnya. Di ruang tunggu itu tersedia beberapa sofa agar pendamping pasien bisa berbaring di sana. Pasien ICU harus selalu didampingi, mungkin karena itulah ruang tunggu ICU dirancang untuk nyaman ditinggali pendamping pasien.

“Mama dalam keadaan kritis sekarang. Mama pingsan dalam perjalanan ke sini. Tetapi setelah Mama diperiksa, tim dokter berkata Mama tidak terlambat dibawa ke rumah sakit, sehingga sangat besar kemungkinan Mama melewati masa kritis dengan selamat. Kita harus berdoa semoga Mama kuat, ya!” jelas Ayah.

“MAMA!” teriak Lara. Ia langsung menangis tersedu-sedu. Arumi di sebelahnya tak mampu berbuat banyak selain memeluk Lara dan mengusap punggungnya.

Lara sangat takut kehilangan Mama. Ia sudah kehilangan papanya, ia tak mau jadi anak yatim piatu. Bayangan kehilangan Mama mulai menghantui Lara. Ia begitu ketakutan dan gemetar.

Arumi pun demikian. Ia mulai menangis ketakutan. Ia sudah pernah mengalami kehilangan seorang ibu. Arumi tak mau kehilangan ibu untuk yang kedua kalinya. Arumi sangat khawatir akan keadaan Mama.

“Ra, doa bareng, yuk!” ajak Arumi. Lara mengangguk masih dengan air mata yang tak berhenti.

“Mama tidak akan apa-apa. Mama akan selamat,” ujar Ayah menenangkan kedua putrinya.

Lara dan Arumi memejamkan mata mereka. Tangan mereka memohon dengan kesungguhan hati untuk selamatan Mama.

“Kalian mau melihat Mama?” tanya Ayah setelah Lara dan Arumi selesai berdoa. Lara dan Arumi langsung mengangguk antusias.

“Ayo!” ajak Ayah.

Lara dan Arumi berdiri dan mengikuti Ayah. Mereka menuju ruang ICU yang tak jauh dari ruang tunggu. Mama ada di dalam ruangan kaca dengan segala macam alat medis menempel di tubuhnya. Lara, Arumi, dan Ayah hanya dapat melihat Mama dari kaca ruang itu.

Lara dan Arumi kembali menangis, berharap Mama segera sadar dan melewati masa kritis dengan selamat, serta pulang ke rumah mereka. 

bersambung

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang