Bagian XXXVIII

34 6 0
                                    

Arumi

 “Arumi, sudah. Jangan menangis lagi. Kamu juga tidak bermaksud demikian, kan?” kata Ayah.

“Arumi, kalau kamu menangis terus, Mama jadi kesulitan berpikir jernih,” ujar Mama.

Tangis Arumi perlahan mereda. Sisa senggukannya yang terdengar. Tiba-tiba Mama yang tadinya berdiri, panik mencari kursi dan duduk.

“Mas, Mas, dadaku,” kata Mama sambil memegangi dada kirinya.

“Kirana!” Ayah bangkit dan menghampiri Mama.

“Mas, tolong,” rintih Mama.

Arumi benar-benar berhenti menangis dan panik melihat Mama merintih kesakitan. 

“Lara, Arumi, Ayah akan membawa Mama ke rumah sakit dulu.” kata Ayah. Ia segera mengambil dompet Mama dan kunci mobil.

Arumi mengangguk. Lara menghampiri Mama dengan wajah panik. Ia memapah Mama menuju mobil. Arumi segera membantu Lara memapah Mama dari sebelah kiri. Sesampainya di mobil, Ayah sigap membantu Mama masuk ke dalam mobil.

“Kalian di rumah dulu. Nanti Ayah kabari perkembangannya,” kata Ayah. Arumi mengangguk mengiyakan. Tak lama kemudian, Ayah menyalakan mobil dan berangkat.

Kini tinggal Arumi dan Lara berdua di rumah. Ketika Arumi ingin mengajak Lara masuk, Arumi melihat Lara merapatkan tubuhnya ke dinding dan terjatuh. Seperti kertas yang diposisikan berdiri, lemas.

“Lara!” pekik Arumi menghampiri Lara. “Ayo masuk dulu,” ajak Arumi.

Arumi memapah Lara masuk ke ruang tamu. Ia membantu Lara duduk di salah satu kursi di sana.

“Arumi, bagaimana dengan Mama?” tanya Lara khawatir. “Aku takut, Rum,” lanjutnya.

Arumi memandang Lara lekat-lakat. Apa yang bisa kulakukan untuk membantu Lara? pikir Arumi. Ia mencoba melakukan sesuatu. Arumi bangkit dan berjalan menuju dapur. Segelas air putih mungkin dapat membantu, pikirnya. Kemudian ia mengambil segelas air putih untuk Lara dan membawanya ke ruang tamu.

“Lara, minum dulu,” kata Arumi seraya menyodorkan air itu.

Arumi memosisikan diri di sebelah Lara dan membantu Lara minum air putih. Perlahan, Lara meneguk air putih itu. Setelah kira-kira tiga tegukan, Lara menjauhkan air putih itu dari dirinya. Arumi pun meletakkan gelas berisi air putih itu di atas meja.

“Arumi, aku tidak mau kehilangan Mama,” kata Lara. Tubuhnya sedang bersandar di sandaran kursi dan terlihat masih gemetar ketakutan.

“Tidak, kita tidak akan kehilangan Mama. Mama akan baik-baik saja,” balas Arumi. Ia juga khawatir akan kehilangan Mama. Ia sudah kehilangan Ibu, ia tak ingin kehilangan orang tua perempuan sekali lagi.

“Lara, menangislah! Jangan ditahan, ayo menangis,” kata Arumi lembut sambil mengusap-usap punggung Lara yang membenamkan wajahnya pada bantal kursi di ruang tamu.

Tak lama kemudian Lara mengangkat wajahnya dan berteriak kencang.

“Bagus! Bagus begitu,” kata Arumi masih mengusap punggung Lara. Tak lama kemudian, Arumi melihat bulir-bulir air mata jatuh di pipi Lara. Ah, akhirnya dia bisa menangis, benak Arumi.

Arumi merasa heran pada Lara. ia seperti tak dapat mengungkapkan perasaannya. Saat Arumi memarahinya habis-habisan karena mereka menyembunyikan fakta bahwa Lara masih kelas sepuluh, Lara tidak menunjukkan perasaan marahnya pada Arumi. Padahal Arumi tahu, Lara pasti marah besar padanya.

Lara juga pasti cemburu melihat kedekatan Arumi dengan Mama. Namun, sepertinya Lara memilih pergi dan menghindar, tak ingin menyaksikan hal yang membuatnya sakit hati. Saat ini juga demikian, seharusnya Lara menangis saat Mama jatuh sakit, tetapi tadi dia hanya diam. Karena itu Arumi senang sekali melihat Lara menanngis. Artinya Lara mulai dapat mengungkapkan perasaannya.

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang