BAGIAN I

142 12 1
                                    

(Ditulis oleh Kak penawarnaungu)
-----

Lara

Cuaca sedikit mendung ketika Lara sampai di pagar rumahnya, rumah eyangnya. Lara dan ibunya tinggal di rumah orang tua ibu Lara. Kejadian yang menimpa ayah Lara lima tahun lalu, membuat mereka pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, kampung halaman Mama, ibu Lara.

Lara Putri Hakiem, atau dipanggil dengan Lara, lahir di Jakarta tujuh belas tahun yang lalu. Mama memberi nama Lara padanya karena Mama sangat kagum pada sosok Lara Croft di film terkenal "Lara Croft: Tomb Raider" yang dibintangi oleh Angelina Jolie. Sepertinya Mama ingin Lara menjadi anak yang aktif, berani, dan cerdas seperti Lara Croft.

Saat Lara berusia dua belas tahun, ayahnya mengalami kecelakaan lalu lintas kemudian meninggal dunia. Papa, ayah Lara, bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Ibu Lara adalah seorang penulis yang bekerja dari rumah. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana di daerah Jakarta Selatan. Di awal pernikahan, ayah dan ibu Lara menyisihkan sebagian uang mereka dan menginvestasikannya ke perkebunan kopi di Bandung. Hasil investasi itulah yang membuat mereka bertahan hingga saat ini.

Kecelakaan yang menimpa Papa lima tahun yang lalu membuat Papa harus dirawat di rumah sakit selama empat bulan sebelum meninggal. Kejadian ini membuat Mama dan Lara terguncang. Selama Papa dirawat di rumah sakit, Lara sering tidak masuk sekolah. Saat itu Lara sedang duduk di bangku kelas VII.

Setelah Papa meninggal, Mama mengajak Lara untuk tinggal di Yogyakarta bersama keluarga Mama. Lara pun mengikuti Mama. Lara mengulang kembali kelas VII-nya di SMP di dekat rumah Eyang. Saat ini Lara duduk di kelas X, setahun terlambat dibandingkan dengan teman-teman seusianya.

Lara memarkir sepeda mininya di garasi terbuka di samping rumah. Ia juga mengunci sepeda itu. Rumah eyang Lara adalah rumah tua. Pagarnya dari kayu yang setiap orang dapat dengan mudah membukanya. Halaman depan rumah sangat luas. Adik sepupu Lara akan bermain di sana jika mereka berkunjung ke rumah Eyang. Mereka akan bermain bola atau kejar-kejaran. Mereka juga pernah bermain kasti dan memecahkan kaca jendela depan. Eyang Kakung dan Eyang Putri tidak marah, mereka malah khawatir pecahan kaca melukai cucu mereka. Tetapi, paman dan bibi Lara yang memarahi adik-adik sepupunya. Lara akan tertawa sendiri bila mengingat kejadian itu.

Lara memang cucu paling tua. Jarak terdekat dengan adik sepupunya adalah lima tahun. Karena itu, Lara jarang sekali bermain dengan adik-adik sepupunya. Ketika mereka datang, Lara hanya memandangi mereka dari jauh, atau bermain dengan adik sepupunya yang masih bayi. Rumah Eyang selalu ramai di akhir pekan. Namun di hari sekolah seperti ini, hanya ada Eyang Kakung, Eyang Putri, Mama, dan Lara.

Lara mengucapkan salam dengan lirih, lalu membuka pintu depan. Pintu itu terbuat dari kayu jati, ukurannya sangat besar. Lara menaksir tinggi pintu itu adalah empat meter. Di daun pintunya terdapat ukiran semacam tumbuhan dan dedaunan. Waktu Lara kecil dan masih tinggal di Jakarta, Lara berkunjung ke Yogyakarta saat liburan. Saat itu, Eyang Kakung pernah bercerita tentang filosofi di balik ukiran pada daun pintu itu. Sepertinya ada hubungannya dengan kisah Mahabarata atau Ramayana, Lara tidak bisa mengingatnya. Karena saat Eyang Kakung bercerita, Lara sibuk bermain sendiri.

Lara menutup pintu depan yang berat itu. Saking beratnya, adik-adik sepupu Lara tidak ada yang bisa bermain ayunan di pintu. Lara bersyukur akan hal itu. Paling tidak, Eyang Putri tak perlu berteriak-teriak melarang adik-adik sepupu Lara berayun-ayun di daun pintu.

Perlahan Lara masuk ke dalam rumah. Hari sudah menjelang sore. Biasanya, Eyang Kakung dan Eyang Putri sedang beristirahat di kamar. Benar saja, rumah ini sunyi. Hanya suara ketikan komputer Mama yang terdengar, dan menjadi satu-satunya suara dari dalam rumah.

"Mama," sapa Lara. Ia menyapa Mama dengan sangat pelan, tak berharap jawaban. Lara tahu Mama akan terganggu konsentrasinya bila Lara mengejutkan Mama. Dan ini tidak baik karena pekerjaan Mama membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Mama adalah seorang penulis aktif yang sering dikejar tenggat waktu oleh pihak penerbit.

"Lara sudah pulang?" tanya Mama retoris sembari melepaskan kacamatanya.

"Sedang nulis apa, Ma?" tanya Lara.

"Bab delapan belas," jawab Mama, "tapi nanti lagi dilanjutkan. Mama lelah," lanjutnya.

"Lara ganti baju dulu," kata Lara.

"Kamu sudah makan?" tanya Mama.

"Sudah, tapi lapar lagi. Nanti habis ganti baju Lara mau cari makanan," jawab Lara.

"Ya sudah, ada tempe mendoan di atas meja. Tadi Mama beli di depan kantor," kata Mama. Kantor yang Mama maksud adalah kantor penerbitan di mana buku Mama sering diterbitkan. Kadang Mama berkunjung ke kantor itu untuk berkonsultasi secara langsung dengan editornya.

Lara mengangguk menjawab kata-kata Mama dan masuk ke kamarnya. Sebenarnya, ini bukan kamar Lara sendiri. Ini kamar Lara berdua dengan Mama. Ada satu tempat tidur besar di sana. Seprai yang Mama pasang kali ini berwarna biru muda dengan bunga kuning. Lara tak terlalu peduli akan motif seprai di kasur itu. Semua terserah Mama.

Lara meletakkan tas sekolahnya di atas meja belajar. Kamar Lara dan Mama terletak di sebelah belakang rumah Eyang. Jendela kamar menghadap ke arah halaman belakang rumah. Lara senang dengan rumah ini karena halamannya yang sangat luas. Jauh berbeda dengan rumahnya di Jakarta yang tak berhalaman. Namun ketika adik-adik Mama datang, Lara jadi tak punya privasi di rumah ini. Itu yang tidak Lara sukai.

Lara membuka lemari pakaian. Ia memilih secara asal kaus oblong di rak bajunya, kaus bermotif garis-garis horisontal berwarna kuning dan putih. Lara juga mengambil sebuah celana pendek selutut berwarna biru tua untuk dipakai sebagai bawahan. Setelah berganti pakaian, Lara duduk di kursi meja belajarnya. Di sana ada cermin kecil tempat Lara biasa berdandan. Ia menyisir rambut lurus sebahunya. Rambunya agak kusut, karena Lara jarang mengurusnya dengan baik. Rambut yang aslinya berwarna hitam itu sekarang berwarna sedikit kemerahan. Lara tak peduli, saat ini ia tak punya laki-laki yang ia sukai, karena itu ia jarang berdandan berlebihan.

Di sebelah cermin, ada sebuah foto dalam bingkai. Foto Papa. Banyak orang berkata bahwa Lara sangat mirip dengan Papa. Kata orang, jika Mama rindu Papa, Mama bisa melihat Lara saja. Mama mengiyakan perkataan orang, namun Lara belum menyetujuinya. Ia merasa tak mirip Papa, juga tak mirip Mama. Lara bingung akan perkataan orang-orang itu. Bukan berarti Lara tak suka Papa, Lara sayang Papa, sekarang pun Lara sedang merindukan Papa. Namun, Lara benar-benar bingung, di mana miripnya dia dengan ayahnya itu.

"Lara," panggil Mama.

"Iya, Ma," jawab Lara sembari beranjak dari duduknya.

"Ini katanya mau makan kudapan," ajak Mama.

Lara keluar dari kamarnya dan duduk di kursi makan. Letak ruang makan berhadapan dengan kamar Lara dan Mama. Di sana sudah ada Mama yang duduk di seberang kursi yang akan diduduki Lara.

"Lara, Mama ingin mengajak Lara berdiskusi," kata Mama segera setelah Lara duduk.

"Apa, Ma?" tanya Lara.

"Apa pendapat Lara jika Mama menikah lagi?" tanya Mama.

Lara terkejut, ada apa ini? pikirnya.

-Bersambung-

......

Alhamdulillah...
Akhirnya sudah mulai publish part 1.

Menurut Akak, kira-kira Lara mau apa tidak ya kalau mamanya menikah lagi?

Simak part 2 besok gantian saya yang menulis. Kira-kira jadi bagaimana ya ceritanya kalau yang menulis bergantian?

Pasti seru. (Saya positif thinking aja nih. Gak tau pas giliran saya yang lanjutin nulis, cerita jadi makin seru atau makin aneh 🤣🙈)

Terima kasih banyak buat Akak semua yang sudah membaca.
Klik ⭐ bila Akak suka 🤗🤗🤗

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang