Bagian VII

62 11 1
                                    

Lara

“Ma,” kata Lara memotong gerakan Mama.

“Ada apa, Lara?” jawab Mama lembut.

“Lara setuju Mama menikah dengan Om Erza,” ujar Lara mantap.

Mama memandang Lara penuh haru. Mama memeluk Lara dengan erat seakan berterima kasih atas izin yang diberikan putri semata wayangnya itu.

“Kita masuk, yuk! Hari sudah gelap,” ajak Mama. Lara yang masih dalam rangkulan Mama memasuki rumah bersama Mama.

“Lara langsung tidur, ya,” kata Lara dengan wajah sayu.

“Iya, sana! Mama beres-beres dulu,” sahut Mama mengusap kepala Lara yang terhuyung-huyung masuk kamar.

Tak lama kemudian, hanya dengkuran halus yang terdengar dari dalam kamar. Mama tersenyum melihat Lara yang masih seperti anak-anak walau usianya sudah tujuh belas tahun. Bagi Mama, Lara selamanya adalah bayi. Mama pun melanjutkan membereskan pakaian kotor sisa bermain di Jogja Bay Waterpark seharian ini.

***

Lara bangun agak siang hari ini. Mama sengaja tidak membangunkan Lara. Hari ini hari Minggu, Lara dibiarkan tidur lebih lama, terutama karena kemarin dia sudah menghabiskan banyak energi bermain di Jogja Bay Waterpark.

“Pagi, Ma,” sapa Lara.

“Pagi, sana mandi dulu!” suruh Mama. Lara beringsut menuju kamar mandi.

Lara mengguyur kepalanya dengan air dingin. Rasanya segar. Seperti semua lelah dari tubuhnya luntur mengikuti aliran air. Kemarin Lara memang bermain air seharian. Namun entah mengapa, air yang ia guyurkan sekarang terasa lebih segar. Mungkin karena air ini memang lebih bersih daripada air di wahana permainan.

Lara selesai mandi. Ia lalu berganti baju dengan setelan rumahan, celana pendek selutut dan kaus oblong longgar. Kemudian ia segera menuju ruang makan untuk sarapan bersama Eyang.

“Tidurmu nyenyak, Lara?” tanya Eyang Putri.

“Iya, Eyang. Kemarin Lara lelah,” jawab Lara sekaligus memberi pembenaran.

“Kemarin kamu ke mana?” tanya Eyang Kakung dari kursi kepala meja.

“Ke Jogja Bay, Eyang. Tempat permainan air gitu,” jawab Lara.

“Halah, main air saja kok jauh sekali. Di halaman rumah kan bisa,” sahut Eyang Kakung yang disambut gelak tawa Lara. Eyang Kakung memang lucu sekali menurut Lara. Karena itu, Lara senang berbincang dengan Eyang Kakung.

“Bukan, Eyang. Main airnya bukan cuma ciprat-ciprat air. Main seluncuran di air, terus naik ban lalu dijatuhin dari atas, seru!” cerita Lara antusias.

“Kamu senang, ya?” tanya Eyang Putri menyelidik.

“He-eh. Lara senang sekali. Kan terakhir Lara ke tempat seperti itu sama Papa, sudah lama sekali,” jawab Lara ringan. Seluruh anggota keluarga terdiam mendengar jawaban Lara. Sungguh, ini bukan reaksi yang Lara harapkan. Karenanya Lara langsung menunduk menyesal.

“Kemarin kamu akur, sama Om Erza?” tanya Eyang Putri mencoba mencairkan suasana.

“Iya, Eyang. Om Erza baik dan seru diajak main,” jawab Lara jujur.

“Syukurlah kalau kamu cocok sama Om Erza,” ujar Eyang Kakung.

“Eyang Kakung, gimana? Cocok sama Om Erza?” tanya Lara balik.

“Menurut Eyang, dia baik. Dia sayang sama mamamu, dan dia berusaha mendekati kamu. Berarti niatnya baik, nggak cuma menikahi mamamu tapi juga menerima kamu sebagai anaknya,” jawab Eyang Kakung.

“Jadi, kamu setuju mamamu menikah dengan Om Erza?” selidik Eyang Putri.

“Sampai saat ini, sih, Lara nggak punya alasan untuk keberatan, Eyang,” jawab Lara diplomatis yang kemudian diikuti helaan napas lega para orang tua.

Tak berapa lama, Eyang Kakung dan Eyang Putri selesai sarapan. Mereka beranjak dari meja makan untuk menuju ruang depan. Seperti biasa, mereka akan bercengkerama berdua di teras. Menghabiskan sisa waktu bersama.

Mama dan Lara duduk berhadapan di meja makan. Lara menghabiskan sisa sarapannya, sedang Mama memandangi Lara dengan penuh kasih sayang.

“Mama mau berterima kasih karena Lara mengizinkan Mama menikah dengan Om Erza?” kata Lara memecah keheningan.

Mama tersenyum pada Lara.

“Mama bangga punya anak seperti Lara. Terima kasih sudah mau membuka diri untuk mengenal Om Erza, Nak,” kata Mama.

“Lara juga bangga punya mama kayak Mama,” sahut Lara.

“Oh ya?” tanya Mama.

“Iya. Mama mendahulukan Lara. Mama memikirkan Lara saat akan membuat keputusan menikah dengan Om Erza. Mama tidak bertindak sendiri,” tutur Lara.

“Jelas, donk. Hidup Mama sudah bukan milik Mama sendiri sejak Lara ada di dalam perut Mama. Lara adalah bagian dari diri Mama, selamanya akan seperti itu,” terang Mama.

Lara memandangi mamanya. Ia tersenyum bahagia mendengar penuturan ibunya itu. Menjadi bagian dari hidup seseorang memang sangat menyenangkan rasanya.

“Ada hal lain yang ingin Lara tanyakan, Ma,” kata Lara.

“Apa, Sayang?” balas Mama.

“Setelah Mama menikah, Mama akan mengajak Lara ke rumah baru Mama nanti, kan?” tanya Lara.

“Tentu, donk. Kan Mama sudah bilang, Lara itu bagian dari diri Mama. Nggak mungkin dipisahkan dari Mama, deh,” jawab Mama.

“Apa kita akan tinggal di rumah Om Erza?” tanya Lara lagi.

“Kamu keberatan?” tanya Mama balik.

“Sejujurnya, iya. Di rumah Om Erza pasti ada banyak sekali kenangan almarhum istrinya. Semua peralatan dapur pasti dibeli oleh istrinya. Kita akan jadi orang asing di rumah itu. Mama nggak akan jadi nyonya rumah,” jelas Lara.

Mama memandang Lara dengan lembut. Kemudian ia tersenyum bahagia.

“Lara memikirkan Mama?” tanya Mama. Lara mengangguk perlahan. Raut kekhawatiran mulai muncul di wajah Lara. Dan tentu saja itu dapat dengan mudah dibaca oleh Mama.

“Lara nggak perlu khawatir,” kata Mama, “Om Erza berencana membeli rumah baru untuk kita. Hm, Mama ikut menyumbang juga walau sedikit. Jadi rumah itu nantinya akan jadi rumah Mama dan Om Erza. Kita semua, Mama, Lara, Om Erza, dan anak perempuan Om Erza, akan tinggal di rumah itu. Mama sudah melihat-lihat kemungkinan lokasinya, tinggal dieksekusi saja,” lanjut Mama.

“Lara nggak akan tidur sama Mama lagi, donk?” kata Lara memelas.

“Hahaha, waktu Papa masih hidup kan Lara sudah tidur di kamar sendiri. Kebetulan saja kamar di rumah ini tidak banyak, sehingga Lara tidur sekamar dengan Mama. Dulu Lara bisa, kenapa sekarang khawatir?” kata Mama tertawa.

“Lara sudah terbiasa tidur dengan teman,” jawab Lara jujur.

“Hm, bagaimana jika sekamar dengan anak Om Erza?” usul Mama. Raut kekhawatiran Lara mulai memudar. Namun ia masih khawatir.

“Apa dia mau?” tanya Lara kemudian.

“Mama yakin dia mau jika diberi pengertian oleh Om Erza. Malah bagus, kami jadi tidak usah mencari rumah yang terlalu besar,” jelas Mama.

“Baiklah kalau begitu. Tapi Lara boleh menghias kamar Lara sendiri, ya,” pinta Lara.

“Mama dan Om Erza akan menyewa orang yang ahli di bidang desain interior untuk menyiapkan kamar kalian. Mama akan mengusulkan hal itu pada Om Erza,” kata Mama meyakinkan Lara.

Lara tersenyum bahagia. Membayangkan punya kamar sendiri dan tak perlu khawatir barang-barangnya akan rusak akibat dijadikan mainan oleh adik-adik sepupunya cukup untuk melenyapkan raut khawatir di wajah Lara.

-Bersambung-

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang