Bagian II

103 12 2
                                    

Arumi

Kamar kecil berwarna hijau muda itu dalam sekejap berubah serupa angkasa yang dipenuhi ratusan  bintang berwarna warni. Tidak ada suara apapun kecuali suara lampu tidur proyektor berbentuk kura-kura yang diletakkan kembali ke atas meja. Beberapa menit kemudian ruangan menjadi semakin menjadi sunyi, hingga terdengar bunyi "klek" yang berasal dari suara pintu yang ditutup pelan dari luar.

 Sepasang mata perlahan kembali terbuka dan memperhatikan ke arah celah di bawah pintu. Kakinya berjinjit pelan menuju ke sana, lalu mengintip dari lubang kunci untuk memastikan bahwa ayahnya sudah tidak terlihat di sekitaran kerajaan angkasanya.

"Yes! aman!" seru remaja 17 tahun itu sambil berbalik dan melompat kembali ke tempat tidurnya. Ia segera meraba bawah bantal, mencari benda berbentuk persegi panjang pipih yang tadi disembunyikannya di sana. Ayahnya sama sekali tak menyadari bahwa gadis berambut lurus sebahu itu sebelumnya hanya berpura-pura tidur saja. Ia sangat cerdik dan awas seperti kancil kecil. Indera pendengarannya juga begitu tajam, sehingga ia dapat dengan jelas mendengar langkah seseorang meski masih berjarak beberapa meter dari pintu kamarnya.

Gadis cantik berwajah bulat dan berponi melengkung yang membuatnya tampak imut-imut itu kini bernyanyi-nyanyi kecil sambil sibuk menggeser-geser tablet berwarna merah muda yang ia letakkan di atas tumpukan dua bantal. Pokoknya aku enggak akan tidur kalau belum naik level! gumamnya dengan mata menyala-nyala seolah hendak menghabisi sesuatu.

Setengah menit kemudian, telunjuknya begitu lincah memindahkan gambar segitiga ungu dengan dua segitiga ungu lainnya, kotak kuning dengan deretan kotak kuning lainnya, dan gambar berbentuk hati merah dengan hati merah lainnya sehingga menjadi satu baris kecil berisi tiga hingga lima gambar dengan bentuk dan warna yang sama. 

“Aduh, padahal kurang satu lagi!” Kini ia memekik sambil mengacak-acak rambut, kemudian mendengus panjang karena kesal. Diliriknya bagian kanan atas layar benda berukuran tujuh inci tersebut. Di sana tertera angka 22:48. Angka yang dirasanya tak begitu ekstrem untuk batas jam tidur bagi anak seusianya.

"Sekali lagi deh!" ucapnya dengan gemas. Sudah sekian kali kalimat tersebut terucap dari bibirnya, dan sekian kali juga ia lupa dengan apa yang telah diucapkannya. Ia sama sekali tak menyerah menyelesaikan level demi level dalam gim Crazy Move yang akhir-akhir ini dimainkanya. Ketika berhasil menyelesaikan hard level, tak jarang ia melompat-lompat di atas tempat tidur dan berteriak kegirangan, dan tak jarang pula ia melempar benda kesayangannya tersebut saat kesal karena gagal menjalankan misi. Dia adalah Arumi Armavina Faisal, siswi SMA kelas 11 yang tetap bangun pagi dan tak pernah terlambat pergi ke sekolah meski kerap main gim sampai dini hari.

****

"Pasti semalam kamu main gim lagi sampai pagi?" kata Ayah pagi itu.

Arumi memandang ayahnya sebentar, kemudian kembali fokus dengan sepiring nasi goreng dan telur ceplok setengah matang dihadapannya.

"Nanti malam jangan diulangi lagi, ya," ucap ayahnya selembut mungkin, berharap putrinya segera menurut.

"Kenapa? Yang penting Arumi tetap bangun pagi," jawab Arumi sambil menyingkirkan sawi hijau pada nasi goreng. "Lagian Ayah tahu darimana? Kan kemarin Ayah lihat sendiri kalau Arumi sudah tidur," lanjutnya.

"Tuh, kamu tahu kalau semalam Ayah menengok kamarmu. Itu berarti kamu tidak benar-benar tidur, kan? Lagi pula kantung mata kamu itu enggak bisa bohong." Jawaban Ayahnya tiba-tiba membuat Arumi tersedak. Ia segera meneguk air putih di sebelahnya, lalu mengambil ponsel dari saku seragam sekolah yang ia kenakan. Benar saja, pada layar ponsel, ia melihat sedikit cekung di kelopak mata bagian bawah, dan sedikit bengkak di kelopak mata bagian atas.

"Benar, kan?" tanya ayahnya lagi. Arumi sudah tak dapat menyangkal ucapan ayahnya, tapi ia tetap tak peduli. Ia tetap lanjut mengunyah sarapan paginya tanpa rasa bersalah. Ayahnya menghela nafas panjang. Ia berjalan mendekati putri semata wayangnya tersebut, kemudian menepuk-nepuk bahunya.

"Sayang, kurang tidur itu bisa membuat susah konsentrasi saat pelajaran sekolah. Dua semester ini, hampir semua nilai mata pelajaran sekolahmu turun, loh. Ayah juga sering melihat kalau kamu sekarang lebih banyak main gim daripada membaca buku," sahut Ayah.

Arumi tak menjawab apapun lagi. Ia memang terlihat diam, tapi ternyata pikirannya melayang jauh kemana-mana. Bukannya mendengar nasihat, ia malah berpikir akan mencari tahu soal krim yang bisa menghilangkan kantung mata. Saat berbagai pertanyaan seputar krim kantung mata melayang-layang di otaknya, serta ayahnya yang tetap mengeluarkan petuah-petuah tanpa menyadari bahwa putrinya tidak benar-benar mendengarkan, tiba-tiba sebuah jam dinding tua di pojokan ruangan mengeluarkan bunyi yang lumayan keras sehingga mengagetkan keduanya. Kebetulan nih! pikir Arumi yang seolah mendapat kesempatan bagus.

"Bisakah jam itu ditukar saja dengan jam lain yang tak mengagetkan?" ucap Arumi sengaja mengalihkan pembicaraan. Ayahnya mengerutkan keningnya sejenak.

"Terkadang suara itu terdengar menakutkan ketika berbunyi di atas jam 12 malam," ujar Arumi.

"Apa kamu takut?" tanya Ayah.

"Kadang-kadang," jawab Arumi sambil beranjak dari tempat duduk.

"Baiklah, Ayah akan mengganti jam itu dengan jam dinding model terbaru, asal kamu tidak main gim lagi sampai larut malam," tukas ayahnya sambil menaikturunkan alis mata.

"Kenapa Ayah selalu menyalahkan gim yang Arumi mainkan? Pokoknya Arumi enggak mau," jawab Arumi kesal, kemudian meninggalkan ayahnya yang dirasanya terlalu banyak memberi aturan, tapi tidak memberi solusi. Arumi bergegas menuju garasi, lalu menuntun keluar sepeda putih berkeranjang miliknya. Kemudian ia dengan cepat menghilang di tikungan perumahan.

****

Langit Yogyakarta Sabtu sore tampak indah kemerahan. Di atas balkon rumah, Erza Faisal terlihat begitu sibuk dengan laptop ultrportabelnya. Pekerjaannya sebagai editor membuatnya hampir seharian bersama benda elektronik tersebut meski berada dalam akhir pekan. Ia sesekali menyesap kopi panas, lalu sedikit-sedikit ikut menyanyikan lagu-lagu almarhum Didi Kempot yang diputarnya. Ketika sampai pada lagu berjudul Banyu Langit, ia menghela nafas panjang, mengingat kebersamaan bersama mendiang istrinya yang telah meninggal setahun silam.

Andaikan kamu masih di sini, Sarah. Pasti Arumi tidak menjadi anak yang emosional seperti sekarang, Erza membatin dan menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan. Ia seakan malu dengan dirinya sendiri yang tak mampu mendidik Arumi dengan baik.

Sering kali ia merasa bingung harus bersikap bagaimana terhadap putrinya tersebut. Memang semenjak istrinya wafat setahun silam, sikap Arumi telah banyak berubah. Arumi yang dulunya lembut dan penurut, kini sering marah-marah dan membantah ucapannya. Hingga terkadang Erza berpikir bahwa perubahan sikap yang terjadi pada Arumi adalah karena hilangnya sosok seorang ibu yang mampu mengarahkannya. 

Drrrtttt…

Drrrtttt…

Erza sedikit terperanjat oleh getaran ponsel yang entah sejak kapan ia memegangnya. Terdapat satu pesan Whatsapp dari kontak telepon bernama Kirana.

-bersambung-

------
kira-kira siapakah Kirana?

Besok part 3 ditulis oleh Kak penawarnaungu.

Simak terus kelanjutannya ya, Kak...
Kasih ⭐ bila Kakak suka dengan cerita kami.
Terima kasih... 🤗

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang