Bagian XX

34 10 0
                                    

Arumi

Arumi menggeliat setelah merasa ponselnya bergetar. Dengan mata yang masih berat, ia berusaha mematikan alarm yang telah membangunkan tidurnya.

"Dah pagi aja," ujanya, lalu melempar ponsel sembarangan. Ia masih belum sadar betul, jika ia telah berada di kamar yang berbeda. 

"Duh, ini mata berat amat, sih," omel Arumi sambil jarinya berusaha membuka matanya lebar-lebar. Perlahan matanya terbuka meski sangat berat. Usai ia dapat melihat seluruh ruangan, ia baru menyadari bahwa dirinya telah tinggal di rumah baru.

"Ah, pakai lupa lagi," gerutunya sambil menepuk-nepuk kening. Arumi kemudian melihat ke arah kasur di seberangnya, ia melihat Lara masih tertidur pulas dengan tubuh hampir seluruhnya tertutup selimut. Arumi tiba-tiba memiliki sebuah ide.

Ia memilih berjinjit keluar kamar, karena hendak menuju kamar mandi. Ia sengaja tak ingin membuat kegaduhan agar Lara tak segera bangun.

"Tidur aja terus. Nanti nyampe sekolah telat," gumam Arumi sambil melirik Lara yang tak bergerak sama sekali. Ia lalu menutup pintu kamar dengan sangat pelan, hingga nyaris tak terdengar suara apapun. Namun, ketika Arumi hendak berbalik, ia hampir saja melompat kaget karena Kirana berada di belakangnya.

"Eh, Arumi dah bangun duluan. Padahal Mama mau bangunin kalian. Apa Lara sudah bangun juga?"

Arumi diam sejenak, lalu mengangguk agar Kirana tak jadi masuk ke dalam kamar untuk membangunkan Lara.

"Ya sudah kalau gitu Mama mau lanjutin masak. Arumi mandi dulu saja ya," ujar Kirana kemudian berlalu.

Arumi memutar bola matanya ke atas dan sedikit mengerucutkan bibirnya. Memang aku mau mandi, pikir Arumi yang lalu beringsut ke kamar mandi.

"Sayang, Lara sudah pergi mandi, kan?" tanya Kirana yang masih sibuk menyelesaikan masakannya ketika Arumi keluar dari kamar dan telah berseragam lengkap, sambil menenteng ranselnya.

"Enggak tahu," Arumi menaikkan kedua bahunya. "Masih tidur mungkin," lanjutnya. Kirana sedikit kaget dan mengernyitkan dahi. Ia masih ingat kalau Arumi tadi mengiyakan saat ia bertanya tentang Lara.

"Tapi tadi kan Arumi bilang…, Ah, sudahlah. Mama lihat Lara dulu, ya," Kirana memilih tidak melanjutkan ucapannya, dan segera mematikan kompornya sementara. Ia memilih untuk langsung melihat Lara ke kamar daripada berdebat panjang dengan Arumi.

"Tunggu ya, Arumi. Mama cek Lara sebentar,"ujar Kirana dengan tersenyum.

Arumi terkikih. Ia membayangkan betapa sialnya Lara yang mendapati awal harinya dengan omelan mamanya sendiri. Beberapa detik berlalu, dan Arumi tak mendengar keributan apapun, sehingga ia menjadi penasaran apa yang sedang terjadi di dalam.

Arumi mengendap pelan menyusuri tembok ruang makan hingga ke kamar. Setibanya hampir berada di sisi pintu, Arumi menajamkan telinganya agar dapat mendengar sesuatu. Ia tak memilih untuk mengintip, karena baginya mengintip mempunyai tingkat resiko ketahuan yang amat tinggi.

"Lagian kenapa Mama tadi enggak bangunin Lara? Kalau begini, kan, nanti sampai ke sekolahnya telat gimana?" Sayup-sayup terdengar suara Lara mengeluh.

"Mama minta maaf, ya. Karena Mama pikir tadi Lara sudah bangun," kata Kirana. Jantung Arumi tiba-tiba berdegup kencang sebab pikir Arumi, setelah ini Kirana pasti akan menyalahkannya.

"Sudah, ayo segera mandi. Nanti malah telat beneran. Tiga menit saja, ya, kasihan Arumi kalau terlambat," kata Kirana. Arumi terkejut. Ternyata mama tirinya itu sama sekali tak menyalahkannya, justru masih memiliki perhatian karena khawatir bila ia ikut terlambat berangkat ke sekolah.

Aku harus segera pergi dari sini, batin Arumi, kemudian segera berlari menuju ruang makan lagi. Napas Arumi begitu terengah-engah, sehingga ia meneguk cepat air putih di sebelahnya. Usai merasa ritme napasnya kembali normal, ia melirik jam tangannya. Matanya hampir terbelalak, dan ia mulai gusar.

"Kalau masaknya enggak segera dilanjutkan, nanti makannya telat, dan semua terlambat," keluhnya sambil menengok ke arah pintu kamarnya, berharap Mama barunya segera datang. Tiga menit berlalu, dan Arumi mulai tak sabar. Ia menengok ke dalam wajan penggorengan untuk mencari tahu apa yang sedang dimasak oleh Mama Lara.

"Yah, kalau hanya masak ayam goreng, Arumi juga bisa lanjutin. Kenapa tadi enggak nyuruh Arumi yang lanjutin aja, sih," ujarnya dan hendak menyalakan kompor. Belum sempat ia memutar (putaran kompor?) tersebut, ternyata Kirana telah berada di belakangnya.

"Kenapa dengan kompornya, Sayang?" tanya Kirana.

"Enggak ada apa-apa," jawab Arumi dan segera kembali duduk menghadap meja makan. Arumi menghela napas panjang. Ia mulai merasa bosan menunggu makanan, dan memutuskan untuk memainkan gim saja.

Tak lama kemudian Erza datang, dan menarik kursi yang berada agak jauh di depan Arumi. Ia sengaja tak duduk di kursi sebelah putrinya itu, karena tak ingin membuat Arumi kehilangan selera makan karena sedang marah dengannya. Mereka berdua tak saling menyapa. Erza memang sedang mendidik Arumi agar ia mau meminta maaf terlebih dahulu.

"Maaf ya, Arumi. Lara memang agak susah dibangunkan. Terkadang juga sering tidur lagi kalau orang yang membangunkan sudah pergi," ujar Kirana sambil menata berbagai menu masakan. Arumi segera mematikan gimnya, lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas sekolah yang sudah sejak tadi dibawanya. Mendengar ucapan Kirana, ia jadi merasa tak enak karena lagi-lagi mama tirinya itu tak menyalahkannya.

"Wah nasi pecel!" sorak Arumi spontan karena sudah sangat lama ia tak memakan menu tersebut, padahal ia sangat menyukainya. Seisi ruangan terdiam beberapa detik. Mereka tidak menyangka kalau Arumi sudah mau bicara dengan mereka. 

"Mama memang sengaja menghidangkannya spesial buat Arumi. Ayah Erza yang bilang pada Mama kalau Arumi suka sekali sama nasi pecel," kata Kirana. Erza melihat ke arah Kirana. Dalam hati ia bertanya-tanya sejak kapan ia mengatakan itu padanya. Namun, Erza salut dengan istrinya tersebut, ia memang sangat pandai membaca gerak-gerik seseorang.

Arumi jadi salah tingkah. Ia sadar bahwa ia  tak sengaja telah melakukan hal konyol di tengah kemarahannya.

"Enggak juga," jawab Arumi gengsi. Ia kemudian mengambil nasi uduk dan ayam goreng saja, meskipun sebenarnya ia sangat ingin makan pecel.

"Arumi sedikit banyak harus makan sayur, ya. Makan nasi uduk sama sayur dan bumbu pecel enak juga, kok. Cobain, deh," ujar Kirana sambil meletakkan sepiring kecil makanan kesukaan Arumi itu. Arumi hanya memandang Kirana sebentar, lalu mencoba memasukkan sayuran matang tersebut ke dalam mulut. Tak ada perubahan ekspresi apapun pada wajahnya, walau sebenarnya ia sangat menyukai rasa masakan Kirana.

Kenapa rasanya sangat mirip dengan buatan ibu. Tante Kirana juga membuatnya dengan rasa yang tidak pedas sama sekali. Benarkah ayah yang memberitahukan hal itu pada tante Kirana? Mana mungkin? Kalau ayah tahu, pasti selama ini ia tak hanya membuatkanku menu nasi goreng, pikir Arumi.

Di tengah kebingungannya, Lara datang tergopoh-gopoh dengan dasi sekolah yang masih miring, tangan sebelah kanan menenteng ransel, sebelah kiri menenteng buku, dan gigi menggigit topi.

Ribet amat, sih. Kenapa topinya enggak dipakai dulu saja? Dasar murid tertinggal, umpat Arumi dalam benaknya.

_Bersambung_

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang