Bagian XVIII

37 9 0
                                    

Arumi

Arumi melihat sepedanya sebentar. Ia jadi ingat momen bersepeda di sekeliling kompleks dengan ibunya. Ibu, Andai Ibu masih ada, batin Arumi sambil menghapus air mata di sudut matanya.

Ia mengayuh sepedanya dengan cepat tanpa peduli Lara memanggilnya. Perkampungan di rumah baru mereka memang ramai, tapi memiliki jalan yang agak lebar, sehingga Arumi dapat mengayuh sepedanya agak cepat. Ia berhenti sejenak ketika berada di persimpangan jalan. Lurus apa belok kiri ya? pikirnya ragu.

"Ah bodoh amat, nanti juga bisa tanya-tanya orang," ujarnya sambil berbelok ke sebelah kiri. Kini ia mengayuh lambat sepedanya ke tepi jalan agar dapat mengamati sekitar. Banyak pohon-pohon rindang dan tanaman-tanaman hias yang di setiap rumah penduduk. Selama perjalanan, pandangannya beredar ke sekitar dan menilai apapun yang di lihatnya.

Pantas saja mereka memilih daerah sini. Meski bukan kompleks, tapi rumah-rumah di sini tertata rapi dan asri, pikir Arumi.

Setelah mengayuh lumayan jauh, ia berhenti sesaat dan menoleh ke belakang. Arumi merasa sepertinya ia sudah terlalu jauh dari rumahnya.

"Kenapa Ayah enggak menyusulku? Lagian enggak khawatir banget Arumi tersesat. Arumi kan enggak tahu daerah sini," Arumi membalikkan sepeda. Ia mencoba mengingat-ingat jalan yang sudah ia lalui, tapi sayang, terlalu banyak belokan sehingga ia malah tersesat jauh ke kampung sebelah. Di tengah kebingungannya, Ia mencoba merogoh saku celananya, berharap menemukan ponsel untuk melihat di mana ia berada. Namun, ternyata ia tak membawa benda tersebut

"Ah, bodoh. Lagian aku kan belum tahu alamat rumah," ucapnya kesal. Langit sudah memerah, dan sebentar lagi akan masuk petang. Arumi melirik jam tangannya, dan menghela napas panjang. Ia bisa saja meminjam ponsel orang untuk menelepon ayahnya, tapi perasaan gengsi membuat Arumi enggan melakukan hal tersebut. Orang-orang sekitar mulai menatapnya heran ketika melihat gerak-gerik Arumi yang terlihat sekali menggambarkan bahwa ia sedang kebingungan. Arumi yang merasa risih, memutuskan untuk melanjutkan mengayuh sepedanya menuju minimarket berlogo huruf A, yang terlihat di ujung gang yang terhubung dengan jalan raya. Ia menyandarkan sepedanya begitu saja ke tembok, dan merogoh sakunya sekali lagi.

"Untung masih ada 25 ribu," ujarnya setelah menghitung lipatan uang dari dalam sakunya tersebut.

"Aku harus telepon Ayah, apa enggak ya?" gumamnya sambil meneguk sebotol air mineral dingin yang baru saja ia ambil di salah satu showcase yang berderet dalam toko tersebut. Namun, lagi-lagi ia menepis keinginannya itu karena tidak ingin malu dihadapan lainnya.

"Enggak, ah. Masa cemen gini," ujar Arumi menguatkan dirinya sendiri. Usai membayar minuman dan beberapa kudapan, Arumi memutuskan untuk duduk saja di kursi tunggu luar sambil memikirkan langkah yang harus ia ambil selanjutnya.

Beberapa menit telah berlalu, ia belum berani melanjutkan perjalanan lagi karena khawatir justru akan tersesat jauh, tapi ia merasa ngeri ketika melihat beberapa pengemis yang tidur di emperan toko.

Ya sudah lah, jalan dulu saja, pikirnya. Ia tak ingin menggelandang seperti pengemis tersebut. Arumi mulai melanjutkan perjalanannya lagi menuju jalan terakhir yang ia lalui. Orang-orang kampung yang memperhatikannya tadi, memandanginya lagi dan kali ini salah satu orang mencegatnya.

"Nduk, kamu nyasar apa gimana? Saya lihat kok dari tadi seperti kebingungan," tanya orang tersebut. Arumi diam sejenak, ia ragu harus mengatakan sebenarnya apa tidak.

"Saya baru pindah ke daerah sini, Bu. Jadi saya agak bingung jalan pulang," jawab Arumi.

"Ya ampun, tadi kenapa enggak tanya orang-orang sini saja, Nduk?" ujar perempuan setengah baya tersebut sambil mengelus rambut Arumi. Arumi hanya tersenyum meski sebenarnya ia merasa tidak nyaman karena belum mengenal orang tersebut.

"Wes, duduk di rumah budhe dulu saja, biar nanti anak bude yang antar kamu pulang.

"Mmm... masalahnya...,"

"Arumi!"

Belum selesai Arumi menjawab pertanyaan ibu tadi, terdengar seseorang memanggil namanya, dan tak lama kemudian seorang perempuan turun dari mobil, disusul oleh seorang pria yang sangat dikenalinya.

"Mama keliling nyariin Arumi, untung saja ketemu. Kamu enggak kenapa-napa kan, Sayang?" tanya Kirana sambil mengamati seluruh tubuh Arumi. Arumi memutar bola matanya keatas, berharap Kirana tak ikut mencarinya.

"Bu, bisakah kami titip sepeda putri kami dulu? Kami akan membawanya pulang dengan mobil," ujar Erza meminta tolong pada ibu-ibu tadi.

"Tapi benar kan ini orang tuamu, Nduk?" tanya si ibu memastikan. Arumi hanya mengangguk, lalu melihat ke arah mobil, mencari tahu apakah Lara ada di dalam atau tidak.

Baiklah, enggak ada Lara, pikirnya. Ia terpaksa ikut naik mobil agar tak terlihat sedang bertengkar dengan orang tuanya.

"Terima kasih, ya, Bu," ucap Kirana sambil menyalami ibu tadi.

"Iya, anaknya dijaga yang baik ya, apalagi ini anak perempuan. Bahaya,"

"Inggih, Bu," Kirana segera mengiyakan nasihat ibu tersebut, lalu perlahan mobil yang mereka tumpangi berjalan dengan pelan. Beberapa saat perjalanan terasa sangat sepi karena semua diam, sampai kemudian Kirana mulai berbicara.

"Arumi, Mama dan Lara minta maaf ya. Kami tidak bermaksud menyembunyikan soal Lara yang masih kelas sepuluh,"

Arumi hanya bergeming. Ia justru berpura-pura tidur, tak peduli dengan alasan apapun dari Kirana.

"Jadi, dulu itu papa Lara kecelakaan dan sakit parah sampai kemudian dirawat di rumah sakit dalam waktu beberapa bulan, selama itu lah Lara sering tidak masuk sekolah karena ikut menemani Mama merawatnya, hingga papa Lara meninggal" ujar Kirana yang mengetahui bahwa Arumi hanya berpura-pura tidur.

Arumi tiba-tiba hampir menangis mendengar ucapan Kirana. Ia jadi teringat saat merawat ibunya sakit. Ia kemudian bergeser sedikit, membetulkan letak duduknya agar mukanya tertutup rambut.

"Usai kepergian papa Lara, Mama dan Lara kembali ke rumah Eyang agar tak terus bersedih. Dan saat itulah Mama berpikir bahwa Lara lebih baik mengulang di kelas tujuh, karena banyak tertinggal pelajaran. Kalau Arumi enggak mau menganggap Lara sebagai Kakak, Arumi bisa menganggap Lara sebagai adik. Kami enggak masalah, kok," lanjut Kirana lagi. Arumi yang sudah terlanjur sakit hati, tetap bersikeras untuk menolak penjelasan apapun.

"Sudah dong, Sayang. Hal seperti itu tidak usah dipermasalahkan," ujar Erza yang membuat hati Arumi semakin teriris. Kirana cepat-cepat berdehem, mengisyaratkan agar Erza tidak usah berucap seperti itu.

Ayah memang enggak berperasaan, batin Arumi sambil terisak. Tak lama kemudian, mereka telah sampai rumah. Arumi yang masih sebal, segera turun dari mobil dan berjalan cepat menuju kamarnya. Ia melihat Lara sedang duduk di meja belajarnya. Namun, kini ia tetap masuk ke dalam kamar meski ada Lara. Ia tak peduli lagi, karena tidak ada kamar lagi yang bisa ditempati untuk menenangkan diri. Bahkan, ketika ia melihat Lara hendak mengatakan sesuatu, ia justru cepat-cepat menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

-Bersambung-

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang