Bagian XXI

32 9 0
                                    

Lara

Lara terbangun dengan terkejut. Jam weker di nakas sebelah tempat tidurnya sudah menunjukkan pukul enam pagi. Astaga, aku terlambat bangun! pikir Lara. Ia segera bangkit dan duduk di tepi tempat tidurnya.

Kepala Lara masih pusing dan berusaha mengenali lingkungan sekitarnya. Ah, kamar baru, rumah baru, kata Lara dalam hati setelah otaknya berhasil memuat informasi-informasi baru yang direkam saat itu juga. Lara meraih botol air yang ada di atas nakas dan meminum airnya. Lara selalu membutuhkan air putih untuk menyingkirkan kantuk dan gejala yang menyertainya. Itu karena sejak kecil, Mama selalu menyodorkan segelas air putih pada Lara sesaat setelah Lara bangun tidur.

“Biar pusingnya lekas hilang,” kata Mama waktu itu. Dan kebiasaan itu masih menjadi bagian dari diri Lara hingga saat ini.

“Mama kok nggak bangunin Lara?” Lara hampir bertabrakan dengan Mama yang berniat membangunkan Lara.

“Mama minta maaf, ya. Karena Mama pikir tadi Lara sudah bangun,” kata Mama.

Lara segera berlari ke kamar mandi. Dalam perjalanannya, ia bertemu pandangan mata dengan Arumi yang kemudian segera menghindari tatapan Lara. Ish, anak itu nggak membangunkan aku, benak Lara kesal. Lara segera membasuh badannya, sekenanya karena waktu sudah tak cukup lagi.

Bel sekolah akan berbunyi pada pukul enam lewat tiga puluh menit. Sekarang pukul enam. Lara hanya punya waktu lima belas menit untuk bersiap ke sekolah, karena perjalanan menuju sekolah memakan waktu lima belas menit jika tidak ada hambatan. 

Proses mandi yang hanya lima menit sebenarnya tak cukup membuat tubuh Lara segar dan mengembalikan seluruh kesadarannya. Tetapi ia tak punya waktu lagi. Lara berlari ke kamarnya untuk berganti pakaian dengan seragam hari Senin. Ia mengingat kembali, ah, untung hari ini tidak ada upacara, batinnya. Upacara di sekolah Lara diadakan bergantian dengan anak SMP dan SD karena mereka berbagi lapangan.

Lara berusaha secepat mungkin memakai seragam sekolahnya. Waktu terus berjalan. lara sangat ingin menghentikan jarum merah yang tak berhenti berputar itu. Dasi yang seharusnya sangat mudah dipasang, kali ini berulah. Ingin rasanya minta Mama menelepon sekolah dan berkata Lara sedang sakit. Tapi Lara tahu, Mama tidak akan pernah melakukannya.

Lara menarik napas panjang, mencoba tenang. Ia kembali memasang dasinya perlahan. Namun dengan kecepatan yang lebih. Akhirnya setelah dua menit, Lara berhasil memasang dasinya meski agak sedikit miring.

Lara segera menyambar tas sekolahnya. Ia bersyukur Mama selalu cerewet menyuruh Lara menyiapkan seluruh perlengkapan sekolah pada malam hari sebelum tidur. Awalnya, Lara malas sekali melakukannya. Apalagi jika dia belajar hingga larut malam dan sangat mengantuk. Ingin rasanya segera tidur. Namun, Mama selalu cerewet, meminta Lara untuk membereskan seluruh bukunya ke dalam tas sehingga esok pagi bisa langsung dibawa. Dan sekarang Lara dapat mengambil hikmah dari kecerewetan Mama. Ia terbiasa menyiapkan seluruh perlengkapan sekolahnya di malam hari sebelum tidur. Tak peduli seberapa mengantuknya ia.

Lara segera ke luar dari kamarnya dengan menenteng ransel, membawa sebuah buku yang hampir tertinggal, dan juga menggigit topinya sebab kedua tangannya sudah penuh membawa benda-benda. Mama dan Arumi tak kalah sibuknya di ruang keluarga. Arumi memaksa Mama untuk segera menyelesaikan bekal untuk mereka karena ia terburu-buru. Napas Lara masih ngos-ngosan. Sepertinya ia tak akan sempat sarapan.

Lara melihat ke arah meja makan. Hidangan sarapan tersedia lengkap di sana. Lara mengutuk dirinya dalam hati, kenapa dia bisa bangun terlambat.

Arumi kembali bersungut-sungut. Sungguh, di saat seperti ini Arumi seharusnya diam saja. Keluhannya membuat suasana menajdi semakin runyam. Lara mendekati Mama untuk mengambil bekal.

Lara bersyukur mama tak berubah. Mama memang setiap hari selalu membawakan bekal untuk Lara. Entah hanya nasi goreng atau nasi naget, yang penting Lara tak mengalami kesulitan makan siang di sekolah. Lokasi kantin agak jauh dari kelas Lara. Suasananya pun panas dan pengap akibat ada banyak kompor menyala di sana. Gerah sekali rasanya makan siang di kantin. Belum lagi bila harus mengantre untuk memesan makanan dan membayar makanannya. Kantin sekolah Lara adalah hal pertama yang harus diperbaiki bila sekolah ingin memperbaiki sesuatu.

Mama menyerahkan kotak makan berwarna merah muda pada Lara yang kemudian memasukkannya ke dalam tas ransel sekolahnya. Lara melirik jam tangannya, pukul enam lewat sepuluh menit. Masih ada waktu lima menit untuk sekadar memasukkan roti. Lara pun duduk di meja makan dan menyantap sarapannya.

“Aduh, Arumi ke sekolah nggak bawa bekal,” teriak Arumi sembari ke luar rumah. Rupanya ia sudah memesan ojek daring untuk mengantarkannya ke sekolah. Apa-apaan ini? pikir Lara. Namun hal itu membuat Lara menyadari bahwa ia harus segera berangkat.

Lara segera berdiri dan mencium tangan Mama. Ia menuju tempat sepatu untuk memakai sepatunya. Sementara Ayah Erza mengajar Arumi ke luar rumah.

“Arumi! Tunggu!” teriak Erza agar Arumi mendengar panggilannya.

Lara memilih diam dan segera masuk ke dalam mobil Ayah Erza. Ia menungu Arumi di dalam mobil. Lara tahu ia akan terlambat. Tapi ia merasa pasrah, toh tidak setiap hari ia terlambat. Lagipula, kemungkinan hari ini semua guru ikut upacara, jadi tak ada guru piket.

Sembari menunggu Ayah Erza berdebat dengan Arumi, Lara menggigit kembali roti meses yang jadi sarapannya tadi. Menurut Lara, Arumi adalah anak yang keras kepala. Dari dalam mobil, Lara melihat adegan Arumi, Ayah Erza, dan tukang ojek yang ternyata perempuan, padahal dari tadi dipanggil dengan panggilan “Bapak” oleh Ayah Erza. Akhirnya Arumi mau turun dari ojek dan masuk ke dalam mobil serta duduk di sebelah Lara.

“Besok Arumi berangkat sekolah sendiri saja,” kata Arumi ketus seraya melirik Lara.

Lara merasa kesal. Arumi bisa saja membangunkan Lara tadi pagi saat ia bangun, tapi Arumi tidak melakukannya. Sekarang ia malah marah-marah dan seakan-akan hanya Lara penyebab keterlambatan Arumi. Lara memilih memandang jendela saat Arumi masuk ke dalam mobil.

Ayah Erza segera menyalakan mesin mobil. Ia segera mengendarai mobil menuju sekolah Lara dan Arumi. Lara mulai cemas, ia mulai takut jika benar-benar terlambat. Apalagi jalan menuju sekolahnya ternyata cukup padat. Aduh, seharusnya aku naik sepeda saja, pikir Lara.

Waktu masih tinggal di rumah Eyang, Lara selalu berangkat sekolah pukul enam lewat dua puluh menit, dan tiba di sekolah menjelang bel masuk berbunyi. Ia naik sepeda. Memang sedekat itu jarak rumah Eyang ke sekolah Lara. Kini, dengan berangkat dari rumah baru, Lara menyadari bahwa ia harus siap dan berangkat lebih pagi jika tak ingin terlambat.

Mobil Ayah Erza tiba di gerbang sekolah yang mulai ditutup. Arumi segera menarik tangan Lara untuk turun dari mobil.

“Ayo!” kata Arumi tiba-tiba. Lara segera mengikuti Arumi walau masih ingin berpamitan pada Ayah Erza.

Arumi mengajak Lara menyelinap lewat celah pagar yang tak terdeteksi satpam sekolah. Di sana kawan Arumi sudah menunggunya. Lara segera melepaskan tangan dari genggaman Arumi dan berlari ke kelasnya. Ia tak ingin berbincang dulu dengan kawan Arumi. Lara mengenal kawan Arumi itu, dia senior Lara di ekskur Pencak Silat, Kak Nadine.

-Bersambung-

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang