Bagian III

94 14 2
                                    

Lara

“Apa pendapat Lara jika Mama menikah lagi?” tanya Mama.

Lara terkejut, ada apa ini? pikirnya. Mama memandang Lara sambil memiringkan kepalanya seakan bertanya “bagaimana?” pada Lara. Sedangkan Lara di hadapan Mama hanya diam, mencoba mencerna perkataan Mama. Lara benar-benar mencari tanda bahwa sekarang Mama hanya bercanda. Ia memandangi wajah mamanya.

“Kamu kaget?” tanya Mama lagi, suaranya lebih lembut.

“Tapi, tiba-tiba?” tanya Lara balik.

“Sebenarnya nggak tiba-tiba juga,” jelas Mama. “Mama sudah kenal dia sejak lama, sekitar enam atau tujuh bulan. Tetapi keputusan untuk serius memang baru saja kami ambil,” lanjut Mama.

“Siapa?” tanya Lara pendek.

“Editor Mama,” jawab Mama tak kalah pendek.

Lara terdiam. Ia berusaha mengingat-ingat siapa gerangan editor Mama ini. Lara merasa tak pernah bertemu dengannya.

“Nanti Mama kenalkan sama Lara,” kata Mama seakan tahu kegalauan Lara.

“Ma, Lara boleh berpikir dulu?” ujar Lara.

“Boleh,” jawab Mama.

“Kalau Lara tidak setuju, bagaimana?” tanya Lara lagi.

Kali ini Mama yang terdiam.

“Lara ke kamar dulu ya, Ma,” pamit Lara. Ia segera beranjak masuk ke kamar.

Lara duduk di tepi tempat tidur. Ia bahkan tidak tahu apa yang akan dilakukannya sekarang. Setelah beberapa waktu, Lara memutuskan untuk berbaring. Lara memiringkan tubuhnya, bertumpu pada pundak kirinya. Kakinya dimasukkan ke bawah selimut yang dilipat Mama di bagian kaki. Cuaca tidak dingin, namun Lara hanya ingin memasukkan kakinya ke dalam selimut, tanpa alasan.

Dari tempat ia berbaring sekarang, dengan jelas ia bisa melihat foto Papa di meja belajarnya. Papa yang sedang tersenyum seakan memberi semangat pada Lara. Papa yang sehat, yang sangat berbeda keadaannya dengan yang Lara ingat di hari perpisahan mereka. Papa yang sangat berat hati meninggalkan Mama dan Lara.

Setelah kepergian Papa lima tahun yang lalu, Mama memutuskan meninggalkan Jakarta. Mama hanya penulis lepas. Selama ini kehidupan mereka ditanggung oleh gaji Papa. Memang ada beberapa rupiah hasil perkebunan kopi, namun tanpa gaji bulanan Papa, Mama kesulitan membiayai hidup mereka berdua. Hal itu yang membuat Mama mengambil keputusan untuk pulang ke Yogyakarta, ke rumah Eyang.

Rumah di Jakarta dikontrakkan. Adik Papa yang mengurus semuanya. Adik Papa sebenarnya masih bertanggung jawab. Paman Lara itu masing mengirimkan uang bulanan untuk sekolah Lara, walau jumlahnya sangat kurang jika dibandingkan dengan kebutuhan bulanan Lara. Namun  kehidupan mereka juga pas-pasan. Mama tidak tega menuntut lebih dari yang bisa dikirimkan oleh Paman Lara itu.

Hasil perkebunan kopi juga tidak pasti dibayarnya. Kadang setahun dua kali, kadang setahun sekali. Tergantung seberapa besar omzet yang didapat oleh perkebunan. Ditambah honor dan royalti menulis Mama, sebenarnya Lara tidak hidup kekurangan, namun juga tak bisa dibilang berkecukupan.

Sering sekali Mama tak punya uang, misalnya saat hasil kebun dan honor menulis belum dibayar. Saat-saat itulah hati Lara teriris melihat Mama merendahkan diri meminjam uang pada adiknya. Mama tak pernah mengeluh soal uang pada Eyang. Mama juga melarang Lara meminta uang pada Eyang, walau Eyang Kakung sering memberi Lara uang jajan. Mama berkata, Eyang Kakung dan Eyang Putri sudah sangat baik hati memberi mereka berdua tempat tinggal, makanan, serta minuman. Karena itulah, biasanya Mama meminjam uang pada adik-adiknya.

Bukannya mereka tak bisa membayar utang mereka. Jika honor menulis cair, atau hasil perkebunan kopi sudah ditransfer, Mama akan mendahulukan membayar utang ketimbang hal lainnya. Lara pernah hampir tidak bisa membeli buku paket pendamping karena uang hsil kebun kopi yang baru ditransfer habis untuk membayar utang. Untung saja tak lama kemudian honor menulis Mama dibayar. Dengan uang itu, Lara bisa membeli buku paket pendamping seperti teman-temannya.

Lara menghela napas. Tubuhnya diajak untuk terlentang. Lara memandangi langit-langit kamar yang berwarna putih kusam. Langit-langit itu dicat ulang dua tahun lalu. Sekarang warnanya tak putih lagi. Kusamnya langit-langit itu memberi inspirasi bagi Lara. Seperti ada taman permainan di sana. Lara tertawa sendiri.

Lara tertawa kemudian sedih. Terakhir ia pergi ke tempat permainan itu sekitar enam tahun yang lalu, saat dirinya masih kelas VI sekolah dasar. Papa mengajak Lara ke Dufan. Saat itu tinggi Lara hanya 142 sentimeter, sehingga ada beberapa wahana yang tak bisa ia naiki. Papa berjanji jika tinggi Lara sudah 145 sentimeter, Papa akan mengajak Lara ke Dufan lagi, agar ia bisa menaiki seluruh wahana. Namun Papa pergi saat tinggi badan Lara 144 sentimeter. Sekarang tinggi Lara 163 sentimeter, dan dia belum pernah ke Dufan lagi sejak saat itu.

Kembali Lara memiringkan tubuhnya, menghadap potret Papa. Lara seakan ingin berbicara pada papanya, Papa, apa yang harus Lara lakukan? Namun potret Papa hanya tersenyum seperti biasa. Lara menghela napas lagi. Aku harus bagaimana? Tanya Lara pada dirinya sendiri.

Lara teringat Mama lagi. Mama adalah anak pertama dari empat bersaudara yang semuanya perempuan. Nama Mama adalah Kirana Anindya, adik pertama Mama bernama Lestari Saraswati, kemudian ada Tante Nestiti Paramita, dan Tante Dian Astayani. Tante Tari dan Tante Titi sudah menikah dengan laki-laki mapan, sedang Tante Dian sudah bekerja namun belum menikah. Kepada mereka Mama mengadu saat tak punya uang. Menundukkan pandangan dan merendahkan diri agar adik-adiknya mau membantu walau sedikit.

Memikirkan hal itu, hati Lara terasa sakit. Apa aku izinkan saja Mama menikah lagi? Paling tidak, calon papaku adalah editor, artinya dia punya gaji yang cukup untuk menghidupi kami berdua. Ah, bagaimana jika lebih melarat dari pada Mama? Apa itu artinyaa Mama yang harus membiayai keluarganya? Berapa anaknya? Apa mereka sudah bekerja dan tak jadi tanggungan orang tua? Berapa usia Om Editor ini? mengapa Om Editor mau menikahi Mama? Kemana istrinya yang lama? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul silih berganti di pikiran Lara. Ia gelisah. Lara membolak-balikkan badannya. Kadang menghadap ke kiri, kadang ke kanan. Namun hal itu tidak juga menjawab pertanyaan Lara. Ia tahu apa yang harus dilakukannya, bertanya pada Mama.

Lara bangkit. Ia duduk di tepi tempat tidurnya. Menimbang lagi, apakah ia benar-benar harus bertanya pada Mama. Namun, rasa ingin tahu yang sangat besar tak dapat di tahannya. Lara beranjak menuju meja belajar dan memegang foto Papa.

“Papa, Lara harus bertanya sama Mama, kan?” tanya Lara pada foto Papa.

Lara bukan tidak tahu bahwa usahanya itu sia-sia, ia hanya ingin melakukan sesuatu. Foto Papa tetap tersenyum. Lara menguatkan diri bertanya pada Mama.

“Mama,” panggil Lara segera setelah keluar dari kamar. Mama masih duduk di tempat tadi Lara meninggalkannya sendirian.

“Hm?” jawab Mama.

“Om Editor yang mau menikah sama Mama itu, dia seperti apa?” tanya Lara.

-bersambung-

----
Om Editor? Sepertinya pernah dengar, tapi siapa ya? Apa ada hubungannya sama Arumi?

Tunggu part selanjutnya ya Kak 🤗

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang