Bagian XVI

36 9 1
                                    

Arumi.

Mata Arumi membulat. Ia mengambil beberapa kitab pelajaran Lara yang telah ditata rapi. 

"Ya ampun, ini beneran kelas sepuluh," ujar Arumi sambil meneliti halaman demi halaman kitab dengan cepat, kemudian meletakkan kembali kitab itu dengan kasar. 

"Berarti kalian berdua telah membohongi kami," Imbuhnya kesal. Ia menatap Lara tajam. Wajahnya memanas karena merasa dibodohi oleh  Lara dan Mama. 

"Membohongi bagaimana?" tanya Lara setengah gugup.

"Kamu enggak usah berlagak bingung gitu, deh." Arumi membalikkan tubuhnya, lalu berjalan cepat keluar kamar meninggalkan Lara yang tengah terperangah. Ia menutup pintu kamarnya dengan keras hingga Lara terperanjat. Suara bantingan pintu itu ternyata tak hanya mengagetkan Lara, tapi juga mengagetkan Erza yang sedang melepas lelah di ruang tamu. Beruntung om dan tante Lara telah pulang, sehingga tak ada orang lain yang melihat kegaduhan yang sedang terjadi.

"Suara apa tadi itu, Sayang? Dan apa yang terjadi padamu? " tanya Erza pada Arumi yang terlihat berjalan menuju ke arahnya dengan muka masam. 

"Ternyata kita telah dibohongi oleh mereka, Ayah," jawab Arumi dengan napas memburu. Erza mengernyitkan dahinya dan mencoba mencerna apa yang sebenarnya dimaksud putrinya itu.

"Siapa yang Arumi maksud?" tanya Erza sekali lagi.

"Siapa lagi kalau bukan Lara dan Tante Kirana," ujar Arumi kesal. Saking kesalnya sampai ia tak mau lagi menyebut Kirana dengan sebutan "Mama". Erza masih tak begitu paham dengan apa yang disampaikan Arumi sehingga memintanya menjelaskan sekali lagi dengan lebih tenang.

"Coba Arumi duduk sini dulu, dan ceritakan pelan-pelan, ya"

Napas Arumi memang begitu terengah-engah karena marah, bahkan suara detak jantungnya yang begitu cepat, seolah memenuhi seisi ruang tamu. Arumi kemudian menuruti ayahnya. Ia berhenti berbicara sejenak dan menghembuskan napas dalam-dalam, kemudian memulai untuk berbicara lagi.

"Lara dan mamanya telah membohongi kita, Ayah. Ternyata Lara masih kelas sepuluh. Ia tak lebih tua dari Arumi," terang Arumi sambil menghempaskan punggungnya ke sofa. 

Hanya gara-gara itu? batin Erza setelah mendengar penjelasan Arumi. Ia menggigit sedikit bibirnya, ia sama sekali tak menduga hal seperti ini bisa menjadi masalah bagi putrinya. Ia memang sama sekali belum menceritakan hal tersebut pada Arumi sebab ia pikir hal itu tak begitu penting sehingga wajib disampaikan padanya.

"Mmm… maaf ya kalau sebelumya ayah tak memberi tahu Arumi, tapi ayah sudah mengetahui hal itu dari dulu," ujar Erza sangat berhati-hati dengan apa yang diucapkan, karena ia tahu bahwa Arumi akan cepat meledak ketika mendengar sesuatu yang tak sesuai dengan keinginannya. Mata Arumi membulat, ia menegakkan punggungnya dan menatap ayahnya dengan heran, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari ayahnya.

"Jadi, Ayah mengetahuinya sejak lama?" tanya Arumi setengah terkejut.

"Iya, dong" jawab Erza santai.

"Tapi kenapa Ayah tak mengatakannya pada Arumi dan justru ayah meminta Arumi menganggapnya sebagai kakak, padahal jelas-jelas ia adik kelas Arumi," protes Arumi pada Erza.

"Ya karena menurut ayah, hal itu tidak begitu penting,"jawab Erza sekenanya.

"Tak begitu penting kata ayah?"tanya Arumi sekali lagi.

"Memang kenapa sih, kalau Arumi yang jadi adik? Lagipula memang benar Lara itu kakak Arumi karena usia Lara lahir lebih cepat dibandingkan Arumi, kan?" ujar Erza sambil menyesap kopinya.

"Tapi Arumi kelas sebelas, dan Lara kelas sepuluh, jadi harusnya Arumi yang jadi kakak, dong, bukan Lara," Arumi masih tak terima. Erza melirik putrinya itu, kemudian berusaha mencari jawaban sesederhana mungkin agar Arumi tidak marah lagi.

"Menurut Ayah, tetap yang lahir duluan yang disebut kakak," kata Erza berusaha tenang. Bukannya menerima penjelasan ayahnya, Arumi malah semakin kesal dengan jawaban ayahnya.

"Memang sejak ada Lara, Arumi sudah merasa kalau ayah akan lebih membela Lara dibandingkan Arumi," ucap Arumi dengan mata berkaca-kaca. Erza terkejut dengan ucapan Arumi. Ia tak menyangka Arumi begitu terbawa perasaan dengan jawaban-jawabannya tadi. Ini hanya kesalahpahaman, tapi parahnya lagi, ia justru belum siap dan merasa kebingungan menghadapi situasi yang seperti ini.

Aduh… kenapa malah jadi begini? Baperan banget sih, nih anak. Erza melipat kacamatanya, kepalanya menjadi semakin pusing karena kecemburuan Arumi pada Lara.

"Itu tidak benar, Sayang. Kalian berdua sekarang sama-sama putri ayah. Ayah sama sekali tak membedakan ataupun pilih kasih pada kalian berdua," jelas Erza sambil memegang kedua bahu Arumi. Arumi memandang ke ayahnya dan menatap wajah ayahnya sesaat. Ia tak rela kasih sayang yang ada dalam sinar mata ayahnya itu terbagi dengan orang lain.

"Enak sekali Lara. Ia baru beberapa saat masuk dalam keluarga kita, tapi ia sudah mendapatkan cinta ayah, sebesar cinta ayah pada putrinya yang telah tinggal bersamanya selama 17 tahun," Arumi kian pandai menjawab ucapan ayahnya. Erza semakin cemas. Ia khawatir akan berkata salah lagi pada Arumi bila terus-terusan menanggapinya. Ia mulai merasa sedikit panik dan berharap cepat keluar dari perdebatan ini. Ia melirik jam tangannya. Berharap Kirana segera datang. 

"Mmm… enggak gitu, Sayang," kata Erza yang mulai tak menemukan jawaban. Beruntung di tengah kecemasannya, tiba-tiba terdengar deru mobil dari luar, dan tak lama kemudian, Kirana datang dengan menenteng beberapa tas belanjaan supermarket.

Syukurlah… batin Erza sambil menghela napas panjang.

"Mama pulang… Hai, Sayang. Apa kamu mau coklat?" Sapa Kirana pada Arumi sambil meletakkan barang belanjaannya di atas meja. Arumi tak menjawab. Ia bahkan menatap Kirana dengan sinis.

"Mmm… ada apa denganmu, Sayang?" tanya Kirana kemudian.

"Enggak ada apa-apa, Kok," Erza cepat-cepat menjawab pertanyaan Kirana, dan memberi isyarat pada Kirana agar tidak bertanya lagi pada Arumi.

"Eh, mama mau masukin belanjaan ke kulkas dulu, ya," ucap Kirana mencari alasan agar dapat pergi dari ruangan itu. Arumi masih bergeming, namun ia kemudian beranjak dari sofa.

"Arumi enggak mau Lara yang jadi kakak," ujar Arumi kemudian dan melangkah cepat meninggalkan ayahnya. Ia hendak menuju kamar. Namun, di depan kamar, ia justru berpapasan dengan Lara, sehingga ia urungkan niatnya ke kamar, dan memilih ke luar rumah saja.

"Menyusahkan, kan. Mau ke kamar aja enggak bisa. Enak punya kamar sendiri seperti dulu" gerutu Arumi sambil menarik sepeda keranjangnya dengan kasar.

_Bersambung_

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang