Bagian XVII

41 11 0
                                    

Lara

“Lara, kamu anak kelas sepuluh?” kata Arumi setengah berteriak.

“Iya,” jawab Lara dengan heran.

Arumi mengambil buku pelajaran Lara dari atas meja belajarnya.

“Astaga, ini beneran kelas sepuluh?” tanya Arumi dengan mata membulat dan pupil membesar. Wajah Arumi memerah, seperti sedang marah. Lara terdiam memandang wajah Arumi yang tiba-tiba pergi ke luar kamar dengan membanting pintu.

“Ternyata kita telah dibohongi oleh mereka, Ayah.” Lara mendengar teriakan Arumi di ruang tamu. Setengah berlari, Lara menuju ke pintu tanpa sekat antara ruang keluarga dan ruang tamu. Ia bersembunyi di balik tembok pemisah dua ruang itu.

“Lara dan mamanya telah membohongi kita, Ayah. Ternyata Lara masih kelas sepuluh. Ia tak lebih tua dari Arumi.” Arumi berteriak lagi.

Lara masih terdiam dan bingung. Bukankah hal ini bukan rahasia lagi, hal mengapa Lara masih kelas sepuluh sementara teman seusianya sudah kelas sebelas. Lara masih mendengarkan gerutuan Arumi dari balik dinding.

“Ayah sudah tahu hal ini, Arumi. Hanya saja, Ayah tidak memberi tahu Arumi karena Ayah pikir, hal ini tidak penting,” jawab Ayah Erza.

“Hal yang tidak penting kata Ayah?” sahut Arumi masih dengan marah. Suaranya melengking di setiap suku kata yang ia ucapkan. Lara merasa bersalah akan hal ini. Ia merasa kemarahan Arumi adalah karena ulahnya. Namun ia juga tak tahu, apa yang sebenarnya membuat Arumi marah.

“Ayah sudah tahu kalau Lara masih kelas sepuluh, KELAS SEPULUH, dan masih memaksa Arumi memanggilnya ‘Kakak’? Yang benar saja, Ayah!” teriak Arumi.

Lara mulai memahami sebab kemarahan Arumi. Rupanya Ayah  menyuruh Arumi memanggil dirinya dengan kata “Kakak” karena ia lebih tua dari Arumi. Sementara ketika Arumi mengetahui bahwa Lara masih kelas sepuluh sementara Arumi sudah kelas sebelas, harga diri Arumi rusak dan ia pun marah.

Tapi Arumi lebai banget! Batin Lara.

 “Memangnya kenapa kalau Arumi memanggil Lara dengan ‘Kakak’, kan memang benar Lara lebih tua dari Arumi,” kata Ayah Erza menenangkan Arumi.

“Arumi kelas sebelas, Lara masih kelas sepuluh. Seharusnya Arumi yang jadi kakak, donk!” sahut Arumi ketus.

Lara menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar gerutuan Arumi. Anak kecil nggak cocok jadi kakak, pikir Lara.

“Menurut Ayah, yang lebih tua yang cocok jadi Kakak,” kata Ayah Erza.

Lara terkesiap mendengar jawaban Ayah Erza. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ayah Erza sedang membelaku di depan putri kesayangannya? Pikir Lara.

“Memang sejak ada Lara, Arumi sudah merasa kalau ayah akan lebih membela Lara dibandingkan Arumi,” ucap Arumi dengan mata berkaca-kaca.

Kali ini Lara terkejut akan ucapan Arumi. Lara tak menyadari hal ini. Sejak kapan Ayah Erza lebih membela dirinya ketimbang Arumi, Lara tak menyadarinya. 

“Itu tidak benar, Sayang. Arumi dan Lara sama-sama putri Ayah. Tidak ada yang namanya lebih membela satu atau lainnya. Ayah menyayangi kalian berdua,” jawab Ayah Erza. Nada cemas mulai terdengar di suaranya.

Tak lama kemudian, terdengar suara deru mesin mobil berhenti di depan rumah. Mama Kirana telah kembali dari berbelanja kebutuhan dapur.

“Mama pulang. Halo Arumi, apa kamu mau coklat?” sapa Mama Kirana cerita di pintu masuk.

Ayah segera menyambut Mama, membawakan barang belanjaan yang dipegang Mama dan mengajak Mama ke dapur. Lara segera berlari ke kamar agar tak berpapasan dengan Mama dan Ayah.

“Ada apa?” tanya Mama Kirana berbisik.

“Arumi baru menemukan fakta bahwa Lara masih kelas sepuluh dan marah,” kata Ayah Erza sembari menghela napas.

“Oh Tuhan, kenapa?” tanya Mama Kirana lagi. Mama sama herannya dengan Lara. Tak mengerti mengapa hal ini dapat membuat seseorang menjadi marah.

“Arumi tidak terima disuruh mengganggap Lara sebagai kakak,” jelas Ayah Erza.

“Oh, begitu,” kata Mama Kirana.

Lara akan keluar kamar ketika berpapasan dengan Arumi. Ia terkejut. Arumi berbalik sambil marah-marah lalu keluar rumah dan mengambil sepedanya. Ia pergi.

“Arumi?” tanya Lara dengan suara tercekat.

“Maafkan Arumi, ya, Lara. Nanti Ayah akan bicara dengannya,” kata Ayah Erza meminta maaf pada Lara.

“Tidak, kita harus bicara dengannya. Aku dan kamu, Mas,” kata Mama Kirana.

“Iya, kita akan bicara dengannya. Tunggu dia kembali, kita akan mengajaknya bicara,” jawab Ayah Erza.

“Tapi, apa tidak apa-apa, dia pergi?” tanya Lara khawatir.

“Terima kasih, Lara. Kamu sudah mengkhawatirkan Arumi padahal dia membentak kamu, tadi,” ujar Ayah Erza tak menjawab pertanyaan Lara.

“Ma, Arumi nggak kenapa-kenapa?” tanya Lara lagi. Jika bertanya pada Ayah Erza tak memberi jawaban, maka ia harus bertanya pada Mama.

“Mas, Arumi nggak kenapa-kenapa?” tanya Mama pada Ayah.

“Nggak apa-apa. Arumi sering begitu jika kesal. Paling-paling dia keliling komplek sini lalu segera pulang jika lelah,” jawab Ayah. Sepertinya memang kebiasaan Arumi saat marah adalah menyalurkan kemarahannya di atas roda sepeda.

“Mama?” panggil Lara tertahan.

“Ada apa, Sayang?” jawab Mama lembut.

Lara duduk di meja makan. Kemudian disusul oleh Mama dan Ayah yang duduk di dekatnya.

“Arumi tidak usah memanggil Lara dengan sebutan ‘kakak’ tidak apa-apa,” kata Lara. “Lara nggak suka bertengkar sama saudara sendiri, apalagi karena urusan sepele begini. Kita berteman dari awal, nggak usah jadi kakak adik kan tidak apa-apa,” lanjut Lara.

“Kirana, kamu diberkahi anak yang sangat lembut dan baik budi,” kata Ayah.

Mama tersenyum manis pada Lara.

“Terima kasih, Lara. Hanya saja, hal ini bukan jadi inti masalah di sini. Arumi harus tahu kisah di balik kenyataan bahwa kamu sekarang masih kelas sepuluh. Dan Mama rasa, jika dia mengetahuinya, perasaannya akan membaik,” kata Mama.

Lara terdiam. Alasan dia masih kelas sepuluh sekarang sementara teman-teman seusianya sudah kelas sebelas sebenarnya bukan alasan yang menyenangkan. Lima tahun yang lalu, papa kandung Lara mengalami kecelakaan lalu lintas saat akan berangkat ke kantor. Sejak itu Papa dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan.

Lara masih ingat, Papa akan segera sembuh dan pulang, waktu itu. Kondisi Papa membaik dan terlihat sangat sehat. Lara dan Mama optimis dan bersiap menyambut kepulangan Papa ke rumah. Namun beberapa hari setelah itu, kondisi Papa kembali drop, dan akhirnya koma, kemudian Papa berpulang ke sisi Tuhan. 

Selama Papa dirawat di rumah sakit, Lara sering tidak masuk sekolah. Saat itu Lara duduk di kelas tujuh. Lara tertinggal banyak sekali pelajaran. Bahkan dia tidak bisa ikut Penilaian Tengah Semester karena merawat Papa. Karena itu, ketika Papa meninggal dan Mama memutuskan untuk pulang ke Yogyakarta, Lara menyetujui usul Mama untuk mengulang kelas tujuh di sekolah yang baru. Dan sekarang ia sudah kelas sepuluh, sementara teman-temannya seharusnya berada si kelas sebelas.

“Nanti kalau ngasih tahu Arumi, jangan pas ada Lara, ya,” pesan Lara pada Mama dan Ayah sebelum beranjak dan masuk kamar. Ia tak ingin mengingat kembali perasaan campur aduknya lima tahun yang lalu.

-bersambung

Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang