Lara
Lara yang merasa menjadi biang masalah, kemudian memutuskan untuk segera menyusul Arumi.
"Arumi…," panggil Lara pada Arumi yang tengah duduk di atas kasurnya. Arumi terlihat kelabakan dan berpura-pura menggeser-geser layar ponselnya setelah sebelumnya Lara mendapati Arumi mengusap-usap ujung matanya. Mungkin ia tak ingin terlihat sedih, batin Lara yang merasa iba pada Arumi.
"Arumi," Lara memanggilnya lagi setelah tak mendengar jawaban apapun dari Arumi. "Ini apelnya buat kamu saja," lanjutnya sambil menyodorkan tas kertas berisikan apel tadi pada Arumi, tapi bukannya menerima pemberian Lara dengan senang bati, Arumi justru menyentak Lara dan menyuruhnya agar menjauh darinya dengan alasan ia sedang bermain gim.
Lara terdiam, ia kemudian hanya meletakkan buah tangan dari Erza itu di sebelah Arumi, kemudian menuju meja belajarnya untuk melanjutkan membaca novel yang belum selesai ia baca. Namun, ia ingat bahwa masih ada permasalahan yang harus segera ia bicarakan dengan Arumi. Ia melirik Arumi, memastikan bahwa Arumi tidak terganggu saat diajaknya membahas hal tersebut.
"Arumi, aku ingin melanjutkan pembicaran tentang siapa yang sebenarnya lebih pantas disebut kakak di antara kita," ucap Lara sedikit ragu. Arumi langsung menatapnya dengan pandangan yang menakutkan. Lara sedikit gemetar. Ia sadar telah berbicara di waktu yang tak tepat, tapi ia kemudian merasa sedikit lega ketika melihat Arumi mulai menegakkan punggungnya pada sandaran tempat tidur.
"Menurutmu?" tanya Arumi padanya. Lara melipat ujung halaman novel yang dibacanya terlebih dahulu, kemudian menutup buku tebal tersebut agar dapat lebih serius berbicara pada Arumi
"Aku rasa tidak perlu ada yang menjadi kakak. Anggap saja kita lahir di bulan yang sama," ucap Lara langsung ke inti permasalahan. Ia melihat Arumi mengernyitkan dahinya, kemudian menolak saran Lara dan bersikukuh bahwa dia memang pantas dianggap kakak sebab Arumi berada di kelas sebelas, sedangkan ia masih di kelas sepuluh.
"Harusnya kamu berterima kasih padaku sebab aku tak meminta dirimu agar mau menganggapku sebagai kakak. Apa susahnya, sih, menganggap kita setara," ujar Lara lagi. Arumi terus saja menolak pendapat apapun yang diucapkan Lara, hingga membuat kesabaran Lara habis.
"Kalau enggak mau yaudah. Mulai sekarang kamu harus menganggapku sebagai kakak, dan memanggilku dengan sebutan kak Lara," tukas Lara sambil membelalakkan matanya.
"Percuma, di sekolah kamu tetap wajib memanggilku kakak," balas Arumi sambil tersenyum sinis. Hati Lara kian memanas. Ia berjalan mendekat ke Arumi agar Arumi sadar bahwa ia juga bisa marah.
"Enggak akan. Lebih baik aku enggak berurusan denganmu di sekolah daripada harus memanggilmu kakak," tukas Lara tak mau kalah.
***
"Bagaimana kalau besok kita bersepeda bersama ke Taman Merah?" ujar Mama usai menutup komputer jinjingnya. Mata Lara seketika berbinar mendengar ajakan Mama. Ia sangat suka bersepeda ke taman itu.
"Lara mauuuu!!!" seru Lara kegirangan. Mama tersenyum dengan respon Lara, tapi ia memandang heran pada Arumi yang hanya duduk diam menunduk di atas sofa.
"Bagaimana denganmu, Arumi?" tanya Mama kemudian. Tetap tak ada jawaban dari Arumi, bahkan ia tidak mendongakkan kepalanya sedikitpun, sehingga Ayah Erza hendak menegurnya, tapi Mama segera menahan dan mengatakan bahwa ia saja yang mendekati Arumi.
Lara memperhatikan Mama yang perlahan duduk mendekati Arumi. Arumi tampak setengah kaget dan segera meletakkan ponselnya ke atas meja, sekaligus melepas benda kecil serupa keong yang terpasang di telinganya.
Pantas saja dia enggak dengar. Telinganya disumbat sama headset, sih, omel Lara dalam hati.
"Bagaimana denganmu, Sayang?" Mama bertanya dengan nada yang begitu lembut pada Arumi sambil merangkul bahunya.
"Maksudnya?" Arumi malah balik bertanya. Ia tak mendengar apapun yang telah di ucapkan Mama tadi. Ayah Erza menghela napas panjang, ia paham dengan kebiasaan buruk Arumi yang sering mengabaikan sekitarnya.
"Bagaimana kalau besok pagi kita bersepeda bersama-sama ke Taman Merah?" tanya Mama sekali lagi. Arumi mengernyitkan dahinya dan mengingat-ingat dimana Taman Merah yang dimaksud Mama.
"Di mana, itu?" Arumi tampak bingung.
Ya ampun… apa ia enggak tahu Taman Merah? batin Lara gemas.
"Tidak jauh dari sini, kok. Taman di komplek perumahan sebelah utara sana," terang Mama sambil menunjuk ke arah luar.
"Ah ya, Arumi tahu. Taman yang penuh dengan bugenvil merah itu kan?"
"Iya," jawab Mama sambil tersenyum.
"Boleh-boleh, Arumi juga suka bersepeda di sana," jawab Arumi antusias. Lara memandang aneh pada Arumi. Tadi Arumi terlihat sangat tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan sehingga menyumbat telinganya dengan earphone, tapi sekarang Arumi justru kegirangan setelah diajak bersepeda bersama oleh Mama.
Waktu berputar sangat cepat seperti hari-hari sebelumnya. Ini akhir pekan ke dua belas semenjak mereka pindah ke rumah mereka saat ini, dan memulai kehidupan baru.
Lara bangun pagi-pagi setelah semalaman memperingatkan dirinya sendiri untuk bangun tepat waktu. Ia menoleh ke tempat tidur Arumi, dan ia takjub tatkala melihat Arumi telah rapi dan menata rambutnya di depan kaca.
Pagi sekali dia bangun. Padahal malamnya sering main gim hingga larut, pikir Lara heran. Melihat Arumi telah siap, Lara segera melompat dari tempat tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi. Hanya kurang dari sepuluh menit, ia telah kembali ke kamar dan menghanduki rambutnya. Arumi menatapnya heran. Berpikir bahwa Lara mandi seperti apa sehingga selesai dalam waktu yang sangat singkat.
"Arumi! Lara! Ayo kita berangkat," teriak Mama dari keluar kamar.
"Siap, Ma," jawab Lara sambil berjalan di belakang Arumi yang bergegas keluar kamar. Lara merasa sangat senang. Ia tak sabar bersepeda mengelilingi taman itu. Ia setengah berlari menuju garasi, tapi tak menemukan sepedanya sama sekali.
"Ma, sepeda Lara kok enggak ada?" tanya Lara kebingungan. Namun, tak hanya dirinya, ia juga melihat gelagat kebingungan pada Arumi.
"Apa sepedamu juga enggak ada?" tanya Lara memberanikan diri. Arumi tak menjawab Lara. Ia justru keluar dari garasi, dan berteriak setelahnya.
"What? Pakai sepeda ini?" Suara Arumi terdengar jelas oleh Lara. Lara segera berlari keluar melihat apa yang sedang terjadi pada Arumi, tapi kemudian dia juga dibuat terkejut, sama seperti Arumi.
"Kalian pakai sepeda ini, ya. Biar lebih kompak," ujar Mama lalu berangkat dengan Ayah terlebih dahulu. Lara curiga bahwa Mama dan Ayah Erza sengaja mengganti sepeda mereka dengan sepeda tandem agar mereka tak bertengkar lagi.
"Aku enggak mau naik sepeda bareng kamu," ucap Arumi sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Aku juga enggak mau," balas Lara yang juga menolak satu sepeda dengan Arumi.
"Ya sudah, kamu di rumah aja. Enggak usah ikut," ujar Arumi sambil menaiki sepeda tersebut.
"Enak aja. Kamu aja yang di rumah," Lara tak mau kalah dan menarik sepeda hingga Arumi hendak terjatuh.
"Ish, kamu ini!" bentak Arumi kesal.
"Ya sudah. Kita sama-sama naik, tapi kamu duduk di belakang," lanjut Arumi.
"Enggak bisa. Aku yang di depan. Aku kan lahir duluan," protes Lara sambil menarik Arumi dari sepeda, dan mendorongnya ke belakang.
"Lara! Kamu ini.." belum sempat Arumi melanjutkan ucapannya, mereka mendengar suara anjing menyalak-menyalak di belakang mereka.
"ANJING LEPAS!" teriak Lara dan Arumi bersamaan. Mereka panik bukan main. Apalagi rumah dan garasi sudah dikunci oleh Ayah Erza, sehingga tak ada tempat untuk mereka bersembunyi dari anjing tersebut.
"NAIK!" teriak mereka sekali lagi dan tanpa pikir panjang mereka melompat ke jok sepeda, dan mengayuhnya bersamaan secepat kilat.
-Bersambung-
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Kita adalah Keluarga (KKaK) - TAMAT
Teen FictionLara yang tinggal bersama ibunya dan Arumi yang tinggal bersama ayahnya nyaman dengan kehidupan masing-masing sampai ayah Arumi menikah dengan ibu Lara dan mereka harus menjadi saudara tiri. Berbagai perselisihan menghiasi keluarga baru mereka, hing...